Mohon tunggu...
Irene Monikha
Irene Monikha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student

I live in Earth because this Earth have an Oxygen for me to breath.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejarah Monumen Nasional: Cita-cita Sang Proklamator

19 Juli 2021   10:10 Diperbarui: 19 Juli 2021   10:44 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latar Belakang

Sebelum membahas bagaimana perjalanan Presiden pertama Ir. Soekarno mewujudkan cita-citanya dalam membangun sebuah monumen nasional untuk negara Indonesia. Perlu kita ketahui dari mana ide atau gagasan itu muncul, karena masyarakat selama ini hanya mengetahui bahwa monumen nasional dibangun demi terwujudnya cita-cita sang proklamator agar Indonesia memiliki ikon dan bangunan yang melambangkan identitas bangsanya.

Dalam hal ini, Soekarno tidak secara langsung memiliki ide tersebut melainkan mendapat usulan dari seorang adik Mr. Sartono (orang yang membela Bung Karno ketika diadili di Pengadilan Bandung) yakni Sarwoko Martokoe-Soemo. Sarwoko adalah warga biasa yang peka terhadap sejarah perjuangan bangsa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Ia memiliki impian kepada Ibu kota Indonesia yaitu Jakarta agar memiliki simbol dari perjuangan bangsanya layaknya negara-negara lain. Dalam hal ini pewujudan impian tersebut dapat diwujudkan melalui sebuah bangunan yakni “tugu”, tugu ini akan sangat memakau bila diletakkan di lapangan Merdeka dimana lapangan tersebut juga sebagai saksi sejarah Indonesia. Tidak hanya berangan-angan semata, Sarwoko menyampaikan gagasannya kepada Walikota Jakarta masa itu yakni Raden Sudiro. Sudiro yang mendengar gagasan tersebut merasa sangat terkesan sehingga menyarankan Sarwoko untuk membentuk sebuah panitia dan menemui beberapa tokoh. Sudiro juga menyampaikan gagasan Sarwoko kepada Ir. Soekarno, Ir. Soekarno menanggapi gagasan tersebut dengan sangat mendukung.

Perlu diketahui gagasan awal dari simbol negara ini diberi nama Tugu Nasional (TUNAS) oleh sang penggagas awal yaitu Sarwoko. Namun Ir. Soekarno merubahnya menjadi Monumen Nasional (MONAS), yang dimana MONAS adalah tugu nasional itu sendiri dengan disertai taman yang akan mengelilinginya.

Dalam menyiapkan rancangan pembangunan, Ir. Soekarno memiliki peran yang sangat besar mulai dari menggagas tujuan, arti, bentuk bangunan, bahan dan komponen yang digunakan hingga berbagai hal penting lainnya. Ir. Soedarno sebagai arsitektur, mengembangkan seluruh arahan dari Ir. Soekarno terutama dalam mewujudkan permintaan Ir. Soekarno agar tugu tersebut benar-benar bersifat dan berkepribadian nasional. Nama Ir. Soekarno tidak dapat dipisahkan dari MONAS, ia telah berjasa dalam perencanaan Tugu Nasional yang menjadi lambang dari kemerdekaan negara Indonesia serta mengandung makna sosok kepribadian Ir, Soekarno. Rancangan inipun dinilai sebagai salah satu karya arsitektur yang berhasil mengekspresikan romantisme kepada bangsa Indonesia.

Maka dapat diambil simpulan yakni penggagas awal dari Tugu Nasional ialah Sarwoko, kemudian Ir. Soekarno sebagai pembawa ide pembangunan Monumen Nasional, lalu Ir. Soedarno sebagai arsitektur yang mewujudkan ide-ide dan gagasan dari Ir, Soekarno.

Mewujudkan Monumen Nasional

Langkah awal dalam mewujudkan gagasan pendirian Monumen Nasional yaitu membentuk sebuah panitia, dalam hal ini kepanitiaan tersebut diberi nama “Panitia Tugu Nasional”. Pada tahun 1954 panitia ini dibentuk, dengan sang penggagas awal yakni Sarwoko sebagai ketuanya. Walikota Jakarta Raden Sudiro juga ikut serta membantu dalam kepanitiaan dengan menjadi Pembantu Umum, dalam hal ini terdapat pula Pelindung Panitia yang dijabat oleh Ir. Soekarno.

Demi mendapatkan rancangan yang sesuai dengan misi dari pembangunan tugu ini, pada 17 februari 1955 panitia mengadakan sayembara. Sayembara tersebut diikuti oleh 51 peserta dan hanya mendapat satu kandidat yang sesuai dengan kriteria yaitu karya dari Ir. Frederich Silaban. Setelah 5 tahun panitia Tugu Nasional bekerja, hasil yang mereka dapat dinilai kurang memuaskan. Sehingga pada tanggal 30 agustus 1959 dibentuk panitia dengan nama yang baru yakni “Panitian Monumen Nasional”. Penggantian nama tersebut berkaitan dengan perubahan konsep Tugu Nasional. Penggantian tersebut berdasarkan dari pertimbangan diantaranya Tugu Nasional mencerminkan jiwa penegak perjuangan semangat patriotik serta meninggikan megahnya Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Selain itu, di dalam tugu tersebut harus tersedia ruangan untuk menyimpan Bendera Pusaka serta Naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Kemudian, pertimbangan tentang luas serta pentingnya tugas panitia dalam membangun Monumen Nasional sebagai milik nasional. Dan yang terakhir, mengenai pengosongan lapangan Merdeka dimana penguasaannya terletak di banyak Lembaga sehingga tidak memungkinkan untuk panitia sebelumnya dapat mengatasi hal tersebut.

Berdasarkan dari pertimbangan tersebut maka kepanitiaan yang baru ditambahkan jumlah anggotanya, dalam hal ini Komandan KMKB Jakarta Raya Letjen. (Purn) Umar Wirahadikusumah ditunjuk sebagai Ketua Ex Officio serta Henk Ngantung sebagai anggota. Sementara itu, hanya Sarwoko saja yang masih menjadi anggota dari panitia yang sebelumnya. Setelah bekerja kurang lebih selama 2 tahun, Panitia Monumen Nasional disempurnakan kembali dengan Keputusan Presiden No. 16 pada tanggal 18 oktober 1961. Jumlah anggotanya menjadi 19 orang, sebelumnya hanya 8 orang saja.

Rintangan Dalam Mewujudkan Impian

Cita-cita sang Proklamator bangsa untuk mendirikan sebuah Monumen Nasional tidaklah berjalan dengan tanpa rintangan, ketika ide gagasan tersebut hendak direleasisakan Ir. Soekarno mendapat banyak kritik dari surat kabar. Salah satunya tertulis “Masih banyak gang becek di Jakarta, mengapa kita memikirkan tugu-tuguan? Akan lebih baik kalau kita punya uang, gang becek itu yang lebih dahulu diperbaiki.” Menanggapi kritikan tersebut Ir. Soekarno menjawab bahwa masalah gang-gang becek tetap menjadi sebuah kewajiban kita untuk memperbaiki, namun Indonesia tetap harus memiliki suatu tanda kebesaran yaitu melalui Monumen Nasional.

Tidak hanya dari dalam negeri, kritikan juga datang melalui Nikita Chrushchov yakni Perdana Menteri Uni Soviet. Ketika mereka bertemu di Tampak Siring, Bali pada 1960, Ir. Soekarno menceritakan rencananya untuk mendirikan sebuah Monumen Nasional. Mengetahui bagaimana kondisi Indonesia kala itu, Chrushcov berkomentar “Kalau orang sedang telanjang maka yang harus didahulukan adalah membeli celana, dan bukan sedang telanjang yang didahulukan membeli dasi". Tak hanya diam, Ir. Soekarno menangkis komentar tersebut “Lha pada waktu rakyat Uni Soviet sedang telanjang, sedang menderita, para rakyat kelaparan, mengapa Uni Soviet mendirikan lambang-lambang dan monumen-monumen?”. Setelah mendengar tangkisan Ir. Soekarno yang jitu, sang Perdana Menteri akhirnya membenarkan bahwa bagi Indonesia Monumen Nasional adalah “celana” juga.

Dari beberapa tanggapan Ir. Soekarno dalam menghadapi sindiran dan kritik tersebut, kita dapat mengetahui konsep pemikirin Ir. Soekarno dalam membangun sebuah media untuk memajukan bangsanya. Dalam upayanya memenuhi kebutuhan “celana” itu Ir. Soekarno terjun langsung untuk menyampaikan ide dan konsep bentuk detail arsitektur bangunan MONAS serta makna yang terkandung dalam simbol-simbol yang melekat pada bangunan Tugu Nasional tersebut. Tidak hanya sampai disitu, Ir. Soekarno juga turun tangan langsung dalam mengawasi proses pembangunan MONAS. Beliau mencurahkan hampir dari seluruh perhatiannya kepada pembangunan MONAS, melebihi perhatiannya kepada pembangunan Masjid Istiqlal yang bersamaan waktu dikala itu. Tugu menjadi pilihan yang tepat sebagai bentuk dasar bangunan untuk memvisualisasikan berbagai simbol kenegaraan Indonesia.

Ir. Soekarno menguraikan secara detail bahwa “MONAS harus melambangkan revolusi kita, mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia, menggambarkan dinamika negara Indonesia, mencerminkan cita-cita bangsa Indonesia, melambangkan api yang berkobar dari dalam dada kita, dan bangunannya harus bertahan selama 1000 tahun.” MONAS harus menjadi kebanggaan untuk seluruh rakyat Indonesia “Jiwa, hati, roh, serta kalbunya harus menjulang tinggi ke langit laksana Tugu Nasional sekarang ini. Bahkan lebih seribu kali tingginya agar kita mempunyai kehendak, mempunyai cita-cita, dan mempunyai tekad untuk meneruskan Revolusi ini. Pada bagian lain, Ir. Soekarno menegaskan bahwa Tugu Nasional ini akan menggambarkan kepada kita sendiri dan juga kepada dunia umum bahwa bangsa Indonesia benar-benar bangsa yang besar.

Dengan bermodalkan uang sumbangan dari masyarakat sebesar Rp. 5.884.162.000,00,13 pada tanggal 17 Agustus 1961 Ir. Soekarno menancapkan tiang pertama. Pada tahun 1965 terjadi pemberontakan G30S/PKI terhadap pemerintah. Pada akhirnya rakyat menuntut Presiden Ir. Soekarno untuk membubarkan partai PKI. Karena Ir. Soekarno telah dinilai cenderung melindungi PKI, timbullah desakan agar Ir. Soekarno meletakkan jabatannya. Dalam rangka mendesak Ir. Soekarno untuk mundur, pembangunan MONAS dijadikan sebagai salah satu isu negatif. Pembangunan MONAS dinilai menyengsarakan rakyat dan dilabeli sebagai salah satu "proyek mercusuar" dalam artian negatif. Bahkan hingga sempat terdengar "yel-yel" dari para demonstran untuk membongkar MONAS. Proyek Monumen Nasional itu telah "memakan" perancangnya sendiri. Pembangunan MONAS akhirnya sempat tersendat, namun kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan yang baru dibawah kepemimpinan Presiden Suharto.

Penutup

Cita-cita sang Proklamator untuk membangun sebuah Monumen Nasional tersebut memiliki pengaruh besar terhadap Negara dan rakyat Indonesia. Bila disimpulkan dari sekian gagasan tentang latar belakang untuk pembangunan MONAS, maka dapat dikatakan tujuan utamanya ialah Monumen tersebut dijadikan media untuk merubah pola pikir dari rakyat Indonesia yang terjajah dengan mental “kuli”, “jongos”, dan “inlander” berubah menjadi bangsa yang bermartabat serta berkarakter Indonesia. Bangunan tersebut menjadi media dalam proses “Menjadi Indonesia” (Nation and Character Building). MONAS memiliki simbol-simbol dan multimisi dari lahirnya sebuah bangsa yang diidam-idamkan oleh Ir. Soekarno. MONAS menggambarkan revolusi dan kepribadian bangsa Indonesia, sifat dinamis dari bangsa Indonesia, cita-cita bangsa Indonesia, menyalanya api semangat patriotic bangsa, tingginya karya dan cipta bangsa, kejayaan serta kebesaran bangsa yang mampu untuk menumbuhkan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, yangakan mampu berumur 1000 tahun, sehingga pada tahun 2960 MONAS akan menggambarkan Indonesia zaman sekarang.

Namun, amat disayangkan perancang serta pewujud bangunan simbol perjuangan negara tersebut tidak dapat meresmikan bahkan menyaksikan cita-cita dan tujuannya untuk bangsa Indonesia selesai didirikan. Ir. Soekarno wafat pada 21 juni 1970, sementara pada tanggal 12 juli 1975 MONAS baru selesai dibangun dan diresmikan oleh Presiden selanjutnya yakni Soeharto. Ir. Soekarno memang memiliki jiwa patriotik yang amat luar biasa, jiwanya selalu terasa bergelora demi masa depan Indonesia, MONAS adalah salah satu bukti cintanya untuk bangsa Indonesia. Meski tidak cukup usia untuk menyaksikan impiannya terwujud, berkat Ir. Soekarno bangsa Indonesia memiliki sebuah bangunan megah yang dapat menjadi kebanggaan dan simbol perjuangan dari seluruh masyarakat Indonesia.

Daftar Pustaka

Makalah Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta pada seminar Pengembangan Museum Prasasti, 2005

Mieke Susanto (ed), Edhi Sunarso. (2010) ‘Seniman Pejuang’. Yogyakarta: PT Hasta Kreatifa Manunggal

Nunus Supardi (dkk). (2004) ‘Sejarah Kelembagaan Kebudayaan di Pemerintahan dan Dinamikanya’. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata

Nunus Supardi. (2011) ‘50 Tahun Monumen Nasional: Peran, Posisi, dan Pengelolaannya’ Available at: https://asosiasimuseumindonesia.org/gagasan/382-50-tahun-monumen-nasional-peran-posisi-dan-pengelolaannya.html (Accessed: 12 June 2021)

Pemda DKI Jakarta. (1996) ‘Monumen Nasional (National Monument): Monumen Keagungan Perjuangan Bangsa Indonesia’

Pemda DKI Jakarta. (1997) ‘Tugu Nasional’

Solichin Salam. (1989) ‘Tugu Nasional dan Soedarsono’. Jakarta: Kuning Mas, pp. 31

Transkripsi Pidato Peresmian Jalan-Silang Monas 16/8/1964/Arsip Nasional: No. 634

Transkripsi Pidato Pelantikan Panitia Sejarah, 3 Januari 1964/Arsip Nasional

Transkripsi Pidato Penyerahan Penghargaan Pemenang Sayembara, 17/11/1960

Yuke Ardhiati. (2005) ‘Bung Karno Sang Arsitek’. Komunitas Bambu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun