Mohon tunggu...
Irene Maria Nisiho
Irene Maria Nisiho Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu rumah tangga

Nenek 6 cucu, hobby berkebun, membaca, menulis dan bercerita.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Ketika Tahun Baru Imlek Tinggal Hitungan Hari

5 Februari 2016   18:01 Diperbarui: 7 Februari 2016   17:05 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber Gambar: Dok. Pribadi"][/caption]Bunyi gelegar guntur membangunkan saya dari tidurku yang pulas. Hujan turun dengan sangat derasnya, membuat saya sulit untuk kembali tidur.

Daripada melamun sia-sia, mending saya ketik apa yang terlintas di pikiranku.

Seperti sudah saya katakan, hujan selalu mengingatkan saya akan suasana sekitar Tahun Baru Imlek di rumahku di Makassar. Nah, malam ini rupanya ceritera saya yang terputus, bisa saya lanjutkan. ( Baca Kenangan Masa Kecil Menjelang Tahun Baru Imlek ).

Bila tahun baru tinggal beberapa hari, biasa nya kami kedatangan seorang tamu, yaitu  bekas karyawan Baba’ (sebutan untuk ayah kami) Baco’ Lompo panggilannya. Bila dia datang selalu membawa oleh-oleh, terutama lemo Silayara’ (jeruk Selayar). Ini dia jeruk yang paling enak yang pernah saya rasakan pada masa itu. Setelah membongkar oleh-olehnya, dia langsung mencari kain lap dan asam Jawa.

Lho...untuk apa, ya?!

Oh, dia mau membersihkan gerendel-gerendel pintu rumah kami yang terbuat dari kuningan. Begitu pun dengan lampu-lampu gantung kami. Setelah mendapat sentuhan tangannya, maka gerendel-gerendel itu pasti akan terlihat kuning berkilat. “Terima kasih, bapak Baco’ Lompo.” Saya sudah nggak ingat sampai tahun berapa “ritual” membersihkan gerendel itu berlangsung. Pokoknya berlangsung bertahun-tahun. Mungkin sekarang dia sudah almarhum, sebagaimana dengan kedua orangtua saya.

Gordijn pun akan diganti. Saya lupa, apakah selalu diganti dengan yang baru.

Hehe…pasti barulah ya. Tidak masalah ganti baru, karena model gordijn kami adalah yang nempel di daun pintu dan daun jendela sesuai model rumah pada zaman itu. Tidak ada jendela tinggi dan lebar seperti rumah-rumah sekarang pada umumnya.

Oh, iya hampir lupa, rumah kami pasti harus dicat, lebih tepatnya dikapur, karena cat temboknya memang pakai kapur yang dicampur dengan sedikit kondo-kondo (blau) supaya dinding terlihat semakin putih.

Hari terakhir menjelang tahun baru, adalah hari yang paling repot, namun sekaligus hari yang sangat menyenangkan. Mengenai hal ini kayaknya kami bersaudara sangat sepakat.

Dari pagi orang dapur, maaf saya bilang begitu karena banyak orang yang terlibat, yang jelas Djie( baca Ji) yang menjadi komandan, sudah mulai repot memasak makanan untuk pakaddo’ Tambaru (sembahyang Tahun Baru). Disamping itu, Amma’ mulai membuat kue, Bludere’, Kue Lapis Le’leng Kebo’ (mungkin ini khusus sebutan kami sekeluarga) atau Spekku Songkolo’, Kek Sikola’ (Cake Coklat) untuk suguhan tamu-tamu esok hari, maupun untuk kudapan kami sekeluarga. Selang tiga hari kemudian, Amma’ akan kembali membuat kue, karena persediaan pasti sudah habis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun