Yang ingin saya katakan adalah bahwa artinya kita sebagai manusia memiliki pandangan yang mirip tentang bagaimana kesejahteraan itu bisa dicapai.Â
Sepertinya tidak ada suatu kebudayaan dan peradaban yang menjelaskan bahwa untuk mencapai ketentraman dan kesejahteraan itu kita harus menjadi orang yang memiliki pemikiran negatif, tidak terima terhadap apa pun yang tidak sesuai keinginannya, dan lain sebagainya. Rasanya tidak ada yang seperti itu.
Sebaliknya, banyak nilai-nilai dari kebudayaan dan peradaban mana pun yang mengatakan bahwa jika kita ingin mencapai suatu kesejahteraan dalam hidup, kita harus memiliki hati yang bersih yang dilalui dengan nilai-nilai tadi.
Juga, ada banyak orang di dunia ini yang mempraktekan Stoisisme tanpa tahu Stoisisme itu apa. Artinya, orang-orang tersebut telah menjalankan cara hidup yang sifatnya "universal" untuk mencapai kesejahteraan. Stoisisme hanyalah istilah untuk cara hidup dan nilai-nilai tersebut.
Kekurangan Stoisisme
Sebagai sebuah nilai yang diciptakan oleh manusia tentu tidak semuanya sempurna. Ada baiknya juga sebagai orang yang memperlajarinya kritis terhadap materi-materi yang dipelajarinya.Â
Menurut saya sendiri kekurangan dalam Stoisisme adalah rawannya seseorang menjadi antikritik. Mentang-mentang seseorang sudah sadar apa yang bisa dikendalikannya (pikirannya), ia akhirnya tidak menghiraukan masukan-masukan yang datang untuknya.
Rasanya itu yang perlu diperhatikan bagi orang-orang yang sudah sadar dengan dikotomi dan trikotomi kendali tadi. Karena pada dasarnya setelah kita sadar dengan dikotomi dan trikotomi kendali, kita juga harus sadar dengan apa itu rasional.Â
Satu lagi, dalam Stoisisme terdapat istilah Premeditario Malorum yaitu teknik memperkuat mental dengan membayangkan semua kejadian buruk yang mungkin terjadi di hidup kita hari ini dan ke depannya (Manampiring, 2024).
Poin utama dari Stoisime, kan, terbebas dari pikiran negatif, mengapa pada akhirnya kita memikirkan sesuatu yang buruk secara eksrem terjadi? Rasanya itu bertentangan dengan narasi sebelumnya.Â
Meskipun demikian sang penulis bilang bahwa itu tidak bertentangan. Hal itu bertujuan untuk membentuk suaut antisipasi dari diri kita. Lalu ketika pada akhirnya pikiran (ekstrem) itu tidak terjadi, kita tidak akan merasa kaget dengan yang terjadi yang kadar keburukannya kurang dari ekspektasi kita.Â
Menurut saya itu hal yang tidak perlu dilakukan, cukup fokus pada hal yang bisa kita kendalikan dan apa yang terjadi di masa sekarang. Berpikir seperti itu sama saja dengan memuntahkan kembali makanan yang baru saja dimakan.