Mohon tunggu...
Ira Wulandari
Ira Wulandari Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

Karena sudah muak memendam pikiran-pikiran ini, jadi saya putuskan menyebarkannya di sini. Selamat membaca.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Stoisisme, Hidup Tanpa Beban Pikiran

17 September 2024   10:24 Diperbarui: 17 September 2024   17:14 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Nandhu Kumar: https://www.pexels.com

Stoisisme

Beberapa waktu terakhir saya menemukan sebuah kalimat di internet. Seperti ini kira-kira.

Di dunia ini ada hal-hal yang di dalam kendali kita dan yang di luar kendali kita.

Setelah membaca kalimat tersebut, pikiran saya sedikit terbuka. "Benar juga, ya, kita (manusia) tidak bisa mengendalikan semua yang ada di dunia ini." Bisa dibilang kata-kata itu cukup mengubah pandangan saya terhadap bagaimana saya menjalani hidup. 

Kemudian, sekitar dua minggu lalu saya mengikuti Bandung Book Party di Taman Film dan ada beberapa peserta yang membawa buku Filosofi Teras. Saya memang sudah sering lihat dan mendengar buuk tersebut, tetapi tidak pernah tertarik untuk membacanya. Di Taman Film saat itu, seseorang menjelaskanlah isi buku tersebut, dan ada kalimat yang saya termui di internet beberapa waktu sebelumnya.

Baru saya tahu bahwa kalimat itu merupakan salah satu nilai dari Filosofi Teras atau Stoa atau Stoisisme. Stoisisme merupakan pandangan atau cara hidup untuk mencapai kesejahteraan atau kebahagiaan sejati dengan terbebas dari pikiran negatif dengan cara memfokuskan diri pada hal-hal yang bisa kita kendalikan. Filosofi stoa ini telah ada sekitar 2000 tahun yang lalu di Yunani-Romawi kuno.

Tidak lama, saya membeli buku tersebut dan membacanya. Buku tersebut dikemas dengan sederhana dan relevan dengan kehidupan saat ini yang dihubungkan dengan nilai-nilai stoisisme itu sendiri.

Ada cukup banyak konsep atau nilai yang dijelaskan dalam buku tersebut, tetapi yang paling utama adalah "dikotomi dan trikotomi kendali". Itu merupakan pemisahan kendali dari apa yang bisa kita kendalikan dan tidak bisa kita kendalikan.

Hal-hal yang di dalam kendali kita misalnya adalah pikiran, tujuan, keinginan, perpektif, pandangan, emosi, respons, tindakan kita sendiri. Sementara itu, hal-hal di luar kendali kita misalnya, pikiran dan tindakan orang lain, peristiwa yang terjadi dengan kita, harta benda, kesehatan, kecantikan, popularitas, dan lain sebagainya.

Dalam Stoisisme dijelaskan bahwa kita perlu tahu dan sadar apa-apa saja yang dalam kendali kita dan yang tidak dalam kendali kita karena itu akan berpengaruh pada ketentraman, kesejahteraan, atau kebahagiaan sejati.

Kebanyakan orang menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang di luar kendalinya sehingga tentu saja tidak akan ada habisnya dan tidak akan pernah mencapai puncak kebahagiaan. Seharusnya, manusia fokus pada tujuan internal atau pada hal-hal yang bisa ia kendalikan. 

Saya mengambil contoh dari buku Filosofi Teras. Saat berada dalam kemacetan, sebagian besar orang akan menggerutu dan tidak terima dengan keadaan itu, padahal kita sebenarnya tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kemacetan tersebut. Itu sudah ada di luar kendali kita. Yang bisa kita kendalikan adalah emosi dan perpektif kita terhadap keadaan tersebut. Tentu keadaan seperti itu sangat menyebalkan, tapi menjadi berapi-api bukan pilihan yang bagus juga. Kita bisa mengendalikannya agar hidup lebih tenteram. Bukankah ketentraman yang paling diidam-idamkan manusia? Pikirkanlah bahwa kemacetan itu tidak bisa kita kendalikan. Kita bisa mengendalikan pikiran kita dengan berpikir bahwa kemacetan ini tidak seburuk itu.

Para filsuf Stoa ataupun penulis Filosofi Teras yaitu Henry Manampiring tidak mengatatakan bahwa Stoisisme ini sama dengan positif thinking karena tidak berfokus pada ekspektasi-ekspektasi positif, tetapi lebih menekankan pada kendali kita.

Bukan Artinya Pasrah

Banyak yang salah persepsi terhadap Stoisime. Katanya, Stoisisme membuat kita menjadi orang yang pasrahan. Padahal bukan seperti itu.

Baiklah saya akan memberikan sebuah contoh. Sebagian orang mungkin pernah dirundung, anggaplah kita pada akhirnya dirundung oleh seseorang. Dalam Stoisisme, perlakuan perundungan itu ada di luar kendali kita. Pikiran dan perbuatan si perundung terhadap kita ada dalam kendalinya.

Kalau pasrah, artinya kita menerima perlakukan perundungan tersebut seolah kita tidak mempunyai kendali atas apa pun. Namun, kenyataannya kita mempunyai kendali dalam beberapa hal. Kita punya kendali dengan perspektif dan tindakan kita. 

Sebagai orang yang dirundung tentu ada pikiran dan perasaan rendah diri. Itu adalah sesuatu yang bisa diubah karena dalam kendali kita. Ubahlah perpektif kita bahwa perundungan yang terjadi terhadap kita bukan karena kita lebih buruk dibanding si perundung karena jika meskipun pada faktanya kita lebih baik berkali-kali lipat sekalipun, jika si perundung berpikir bahwa kita lebih rendah dan memiliki sifat perundung, dia akan tetap merundung kita. Dan kita tidak bisa mengendalikan pemikiran di perundung tersebut.

Kedua, ingat, bahwa kita masih punya kendali atas tindakan kita. Apakah saat kita dirundung akan diam saja, melaporkannya, melawan dengan cara yang sama? Itu sepenuhnya ada di dalam kendali kita. Pilihlah mana yang paling rasional.

Antara rasional dan irasional seharusnya sebagai manusia dewasa kita sudah tahu mana batasannya. Dalam Stoisisme sendiri ada satu tujuan lagi yaitu mencapai suatu kebajikan, jangan sampai pada akhirnya kita menjadi orang yang tidak bajik karena pilihan tindakan kita yang irasional.

Dari contoh tadi kita bisa simpulkan bahwa Stoisisme bukan berarti pasrah karena kita masih punya kendali terhadap beberapa hal.

Kesejahteraan Universal

Jika dilihat lebih dalam, nilai-nilai dalam Stoisisme ini ada dalam hampir setiap peradaban dan kebudayaan. Penulis buku Filosofi Teras, Henry Manampiring pun mengatakan demikian. 

Bagi umat Islam kita pasti sangat mengenal istilah sabar, ikhlas, takdir, dan husnuzon. Nilai-nilai tersebut juga sebenarnya mirip dengan yang ada dalam Stoisisme. Tentu ada juga istilah-istilah lain di berbagai peradaban dan kebudayan yang maknanya hampir sama, hanya saja narasinya mungkin berbeda.

Yang ingin saya katakan adalah bahwa artinya kita sebagai manusia memiliki pandangan yang mirip tentang bagaimana kesejahteraan itu bisa dicapai. 

Sepertinya tidak ada suatu kebudayaan dan peradaban yang menjelaskan bahwa untuk mencapai ketentraman dan kesejahteraan itu kita harus menjadi orang yang memiliki pemikiran negatif, tidak terima terhadap apa pun yang tidak sesuai keinginannya, dan lain sebagainya. Rasanya tidak ada yang seperti itu.

Sebaliknya, banyak nilai-nilai dari kebudayaan dan peradaban mana pun yang mengatakan bahwa jika kita ingin mencapai suatu kesejahteraan dalam hidup, kita harus memiliki hati yang bersih yang dilalui dengan nilai-nilai tadi.

Juga, ada banyak orang di dunia ini yang mempraktekan Stoisisme tanpa tahu Stoisisme itu apa. Artinya, orang-orang tersebut telah menjalankan cara hidup yang sifatnya "universal" untuk mencapai kesejahteraan. Stoisisme hanyalah istilah untuk cara hidup dan nilai-nilai tersebut.

Kekurangan Stoisisme

Sebagai sebuah nilai yang diciptakan oleh manusia tentu tidak semuanya sempurna. Ada baiknya juga sebagai orang yang memperlajarinya kritis terhadap materi-materi yang dipelajarinya. 

Menurut saya sendiri kekurangan dalam Stoisisme adalah rawannya seseorang menjadi antikritik. Mentang-mentang seseorang sudah sadar apa yang bisa dikendalikannya (pikirannya), ia akhirnya tidak menghiraukan masukan-masukan yang datang untuknya.

Rasanya itu yang perlu diperhatikan bagi orang-orang yang sudah sadar dengan dikotomi dan trikotomi kendali tadi. Karena pada dasarnya setelah kita sadar dengan dikotomi dan trikotomi kendali, kita juga harus sadar dengan apa itu rasional. 

Satu lagi, dalam Stoisisme terdapat istilah Premeditario Malorum yaitu teknik memperkuat mental dengan membayangkan semua kejadian buruk yang mungkin terjadi di hidup kita hari ini dan ke depannya (Manampiring, 2024).

Poin utama dari Stoisime, kan, terbebas dari pikiran negatif, mengapa pada akhirnya kita memikirkan sesuatu yang buruk secara eksrem terjadi? Rasanya itu bertentangan dengan narasi sebelumnya. 

Meskipun demikian sang penulis bilang bahwa itu tidak bertentangan. Hal itu bertujuan untuk membentuk suaut antisipasi dari diri kita. Lalu ketika pada akhirnya pikiran (ekstrem) itu tidak terjadi, kita tidak akan merasa kaget dengan yang terjadi yang kadar keburukannya kurang dari ekspektasi kita. 

Menurut saya itu hal yang tidak perlu dilakukan, cukup fokus pada hal yang bisa kita kendalikan dan apa yang terjadi di masa sekarang. Berpikir seperti itu sama saja dengan memuntahkan kembali makanan yang baru saja dimakan.

Sekiranya itu yang bisa saya sampaikan tentang Stoisisme yang baru-baru ini saya ketahui. Saya berharap tulisan ini membawa manfaat bagi para pembaca. Mari berusaha untuk mencapai kesejahteraan atau kebahagiaan sejati dan kebajikan dalam hidup dengan menerapkan nilai-nilai seperti Stoisisme ini. 

Tidak perlu menggunakan istilah Stoisisme pun tidak masalah karena seperti yang saya bilang tadi bahwa nilai-nilai dan cara hidup Stoisisme ini sebenarnya ada dalam banyak kebudayaan dan peradaban, bahkan dalam diri setiap manusia. Yang penting adalah kita tetap menjadi manusia yang rasional, yang menggunakana nalar kita dalam bertindak dan merespons segala sesuatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun