Ada seekor pesut mungil bernama Puput. Dia hidup di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Â Puput tinggal bersama ayah dan ibunya. Meskipun keluarga Puput tinggal di Sungai Mahakam, mereka sesekali pergi mengunjungi Pipit, sepupu Puput yang tinggal di dekat pantai Pulau Padang Tikar.
Suatu ketika, dalam perjalanan ke rumah Pipit, sepupunya, Puput melihat arak-arakan meriah sekali di sepanjang sungai.
Caca cacing memakai rok panjang berenda putih. Bangi bangau memakai topi hitam tinggi bagus sekali. Cika ayam terlihat anggun dengan baju merah menyala. Mereka semua terlihat riang gembira berjalan beriringan sambil menari diiringi grup pemusik terkenal pimpinan Wawa simpanse.
Rupanya, hari itu teman-teman darat, begitu Puput menyebut mereka semua, sedang merayakan berakhirnya musim hujan. Sehingga mereka gembira dapat bermain sepanjang hari di bawah hangatnya sinar matahari yang cerah.
Melihat kemeriahan itu, Puput tergiur sekali ingin ikut main bersama di daratan. Padahal, dia sedang dalam perjalanan mengunjungi Pipit.
"Hmm ... sepertinya menarik, nih ikut merayakan berakhirnya musin hujan di daratan bersama Caca cacing, Bangi bangau, dan Cika ayam ..." ujar Puput dalam hati.
Tanpa pikir panjang, Puput lompat menghampiri teman-teman daratnya di daratan.Â
"Hai, Put, apakah kamu sudah minta ijin kepada ibumu untuk bermain bersama kami di sini?" tanya Caca cacing sambil membetulkan rok putih panjangnya yang tersangkut semak berduri.
"Hihihi... belum, sih ... Tapi aku tidak akan lama, kok ... lagipula Pipit mungkin masih sibuk membantu ibunya mengurus adik bayi yang baru lahir." jawab Puput dengan senyum lebar.
Teman-teman darat tahu, Puput tidak boleh lebih dari sepuluh menit berada di darat. Karena, setelah itu ada saja masalah yang akan dihadapi Puput. Namun demikian, mereka sangat senang Puput bisa ikut bergembira bersama mereka.
"Parampampam ... parampampam ... tekdung-tekdung ... komprang-kompyaaaaang ...!" "Hahahaha ...!" mereka bernyanyi dan tertawa bersuka ria.
Bersama mereka menikmati jus jeruk, aneka kue, sambil bercerita ini dan itu seru sekali. Â Puput memang sudah lama ingin merasakan bagaimana hidup di darat. Bukan hanya sekedar bermain yang kurang dari lima belas menit. Â Puput ingin bisa berlama-lama di darat.
Menurut Puput, di darat kehidupan begitu meriah.
Setelah bersenda gurau, mereka sepakat pergi mengunjungi kebun bunga Labi Lebah. Â Di sana Labi lebah sedang sibuk menempatkan aneka madu dari berbagai bunga di kebunnya. Labi lebah sangat berpengalaman mengurus bunga-bunga di kebunnya.
"Apakah aku boleh mencicipi madu kembang sepatu ini?" tanya Caca cacing penasaran.
"Tentu saja!" sahut Labi lebah sambil memberikan sesendok madu kembang sepatu merah kepada Caca cacing dan yang lainnya. Sambil duduk di taman bunga mereka menikmati madu dan mereka bercakap-cakap.
Labi lebah terkenal sangat murah hati, dia senang berbagi madu dengan teman-temannya. Tak heran, mereka menjuluki Labi lebah manis seperti madu, karena kebaikan hatinya.
Puput sangat menikmati pemandangan indah di kebun bunga Labi lebah yang penuh warna. Dia ikut membantu Labi lebah menempatkan madu-madu ke dalam botol untuk dibagikan kepada teman-teman baiknya.
Hati Puput girang bukan kepalang melihat begitu banyak warna bunga, daun, merasakan embusan angin yang lembut di pipinya, juga mencicipi aneka makanan darat dari teman-temannya. Selama ini Puput merasa jenuh dengan pemandangan keruh berlumpur dalam sungai. Maklum, tempatnya tinggal memang keruh, sepanjang musim hujan, karena lumpur. Â
Tiba-tiba, Puput merasakan gatal di ekornya. Dia pikir, ini hanya terkena duri tanaman. Tapi, kemudian rasa gatal itu menjalar ke sekujur tubuhnya. Kulitnya mulai memerah, matanya perih, napasnya sesak, dan kepalanya pusing tujuh keliling. Seketika dunia nampak gelap gulita, dan  .... BRUK!! Puput ambruk ke tanah.  Cuaca daratan tidak cocok buat Puput.
Caca cacing menjerit  sampai rok panjangnya terlilit ranting pohon. Bangi bangau melompat kaget sampai topi hitam tingginya jatuh ke tanah. Wawa simpanse kaget sampai senar gitarnya putus. Labi lebah mendengung panik sampai madu di tangannya tumpah ruah ke tanah.
"Astaga! Puput sudah terlalu lama di darat!" pekik Caca. Â Mereka lupa, kalau Puput tidak boleh lebih dari sepuluh menit.
...
Sementara itu, Pipit sepupu Puput mulai gelisah menunggu Puput yang tak kunjung sampai di pantai Pulau Padang Tikar.
Akhirnya, setelah pamit kepada ibu, Pipit pergi mencari Puput. Sepanjang perjalanannya, Pipit memancarkan bunyi rahasia yang hanya bisa diterima oleh Puput. Sonar, begitu orang menyebutnya. Para pesut memiliki kemampuan ekolokasi atau mendeteksi keberadaan kerabatnya.
Tapi anehnya, Pipit merasakan Puput tidak berada di Sungai Mahakam. Tapi entah jauh di mana.
Pipit mulai cemas, dia terus memancarkan bunyi rahasia memanggil Puput. Tapi tak kunjung ada jawaban. Was-was dan bingung hati Pipit sambil mecari Puput sepupunya.
Sampai tiba-tiba ...
"Pupuuuut ... ayo, bangun, Put! Sadarlah, Put!" seru sebuah suara.
"Puput, tahan, Puput!" seru suara lainnya.
"Puput, kami antarkan kamu ke rumah mu ... bertahanlah!" sambung suara yang lain lagi.
"Puput ... ayo buka matamu, Put!" suara lirih memohon.
Ternyata itu adalah teman-teman darat. Pipit melihat Caca cacing dengan rok putih panjangnya yang telah rusak karena harus berjalan cepat-cepat. Bangi bangau yang sudah tidak memakai topi hitam tingginya, Wawa simpanse yang menopang Puput di punggungnya, karena badannya yang paling besar di antara teman-teman darat. Labi lebah mendengung memandu mereka menuju Sungai Mahakam, dan Cika ayam yang berlari di belakang mereka mengejar dengan gaun merah yang sudah compang-camping karena lari secepat yang dia bisa, supaya tidak ketinggalan rombongan mengantar Puput pulang ke sungai.
Begitu mereka sampai di tepi Sungai Mahakam, mereka langsung menceburkan Puput ke sungai.
Byuuurrrr ... !!
Pipit langsung menghampiri Puput sepupunya yang malang.
Semenit, dua menit, tiga menit, mereka berharap Puput pulih kembali. Dengan hati cemas mereka menunggu Puput sadarkan diri.
"Mmmmhh ... " Puput lirih bergumam sambil mencoba membuka matanya. Samar-samar dia melihat bayangan seperti Pipit sepupunya di depan dan warna lumpur sekelilingnya yang begitu dikenalnya. Perlahan, gata di sekujur tubuhnya menghilang dan dia berangsur mendapatkan kekuatan tubuhnya.
"Puput!" panggil semua teman darat dan Pipit berbarengan. Mereka lega sekali melihat Puput yang telah sadar dari pingsannya.
Puput sangat berterima kasih atas pertolongan teman-teman daratnya yang telah bersusah-payah menggotong dirinya yang sudah jauh meninggalkan Sungai Mahakam. Pipit pun demikian. Ia bersyukur Puput banyak dikelilingi teman baik di darat yang dengan rela hati membantu sepupunya.
Puput pesut ingin sekali tinggal di daratan yang penuh warna, karena ia jenuh dengan kehidupan di sungai yang keruh. Namun kini, Puput pesut menyadari, bahwa tempat terbaik adalah rumahnya, di sungai Mahakam, Â bersama dengan keluarganya.
Dalam hati Puput berujar kepada dirinya sendiri, "Apalah artinya warna-warni di daratan, apabila kemudian berganti menjadi gelap-gulita, karena memang tempat terbaikku adalah di Sungai Mahakam, toh aku masih bisa sesekali melihat daratan ketika melompat muncul ke permukaan air, untuk bernapas"
Sejak saat itu, Puput tidak pernah punya keinginan meninggalkan tempat tinggalnya, namun demikian persahabatannya dengan Caca cacing, Cika ayam, Bangi bangau, dan Wawa simpanse tetap terjalin selamanya. Â Puput masih mengunjungi mereka sesekali tidak lebih dari sepuluh menit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H