Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Sejarawan - Pegiat Sejarah, Sastra, Budaya dan Literasi

Ayo Nulis untuk Abadikan Kisah, Berbagi Inspirasi dan Menembus Batas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Untung Aku Jadi Penyair (Seri Diskusi Mblarah #17)

2 Januari 2025   19:33 Diperbarui: 2 Januari 2025   19:33 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Untung aku jadi Penyair Foto dokpri Eko irawan Januari 2025

Untung Aku Jadi Penyair (Seri Diskusi Mblarah #17)
Ditulis oleh : eko irawan 

Apa yang lagi banyak dicari di awal tahun 2025 ini ? Iseng iseng browsing google dan menemukan jawaban untuk pertanyaan, Profesi Apa yang paling tidak dipercaya. Salah satunya yang dilakukan oleh Tirto.id ini. Berikut gambaran hasil survey tsb :

Dokpri Tirto.id Januari 2025
Dokpri Tirto.id Januari 2025

Melihat dan membaca hasil survey tersebut, Monggo ditanggapi oleh masing masing pribadi. Artikel ini menjadikan survey tersebut sebagai pemantik diskusi, sekaligus andai kisah saya ini dijadikan film dokumenter berdasar curhat ini, berjudul : "Untung aku jadi Penyair". Selamat membaca Artikel diskusi Mblarah kali ini, semoga menginspirasi.

Tentang Profesi Kita

Sambil menikmati suguhan kopi, kepul asap rokok memenuhi ruangan jagongan Mblarah malam itu. Bicara ngalor ngidul sambil introspeksi diri tentang apa yang sudah dilakukan setahun lalu, dan apa yang akan dilakukan setahun ke depan.

Ya, ini adalah diskusi Mblarah awal tahun 2025 jadi walau Mblarah tetap punya urgensi. Minimal menghibur para pembaca sekalian. Ada banyak tema diskusi kali ini. Mulai jagung bakar, kembang api, korupsi 300 T, perubahan cuaca hingga profesi apa yang paling tidak disukai. Mari introspeksi sendiri sendiri apakah profesi kita ini termasuk yang tidak dipercaya oleh publik. Kalau termasuk yang tidak dipercaya berarti harus segera berubah, minimal dari diri sendiri.

Sebuah Cap memang tak bisa dirubah sendirian. Harus bergerak bersama. Satu orang tentu tak akan mampu merubah persepsi publik. Apalagi kita bukan siapa siapa. Tentu di ranah publik kita tak akan punya pengaruh besar. Jika direnungkan, buat apa capek capek diskusi dan berdebat jika tidak memberi pengaruh signifikan pada nasib kita pribadi di masa depan. Seperti pepatah orang Jawa,            "Nguyahi Segoro", yaitu kurang lebih maknanya memberi garam di lautan. Air laut sudah asin. Tindakan kita menabur garam di lautan jadi perbuatan sia sia.

Disinilah seni diskusi Mblarah ini. Coba peka dan memberikan usulan walau mungkin akan hilang ditelan jaman. Walau dianggap karya tak bermutu, tapi inilah bukti kita itu perduli, walau nasib kita sendiri sejatinya juga tidak dipedulikan siapapun. Lucu juga, ternyata.

Dan tentang profesi kita itu, walau katanya sebagai profesi yang paling tidak dipercaya kita wajib introspeksi diri. Anggap saja beruntung, karena masih ada yang menegur dengan memberi cap kurang baik. Dengan teguran itu membuat kita sadar. Ternyata masih ada yang kurang dengan diri kita. Yang penting spirit tetap berupaya jadi baik adalah pilihan kita. Bukan pura pura baik. Tetap bermanfaat dan bukan pandai memanfaatkan pihak lain untuk tujuan pribadi. Itu saja spirit dari awal tahun baru 2025 ini.

Untung Aku Jadi Penyair

Jika ditelusuri, jenis tulisan di-tag Kompasiana untuk Puisi Eko Irawan kurang lebih sudah ada 1000 judul puisi. Teman teman yang semeja waktu diskusi Mblarah ini saja tidak tahu jika teman nongkrong mereka itu seorang penyair. Lha saya sendiri saja surprise dengan jumlah puisi yang pernah saya tayangkan di Kompasiana ini. Berikut buktinya :

Screen shot laman tag Kompasiana Eko Irawan Januari 2025
Screen shot laman tag Kompasiana Eko Irawan Januari 2025

Disitu sistem tag Kompasiana telah menghitung puisi Eko Irawan berjumlah 1K. sebuah jumlah yang tidak sedikit, dan dengan jumlah puisi mencapai 1 K Itu apakah memberi banyak pengaruh ?

Untung aku jadi penyair. Itu saja jawabanku. Jujur tak banyak orang yang tahu aku adalah penyair. Kenapa mereka tak tahu ? Saya sadar, puisi di era kekinian memang kurang populer. Kurang memiliki greget. Saya juga tidak share link karya karya puisi tersebut melalui medsos. Jadinya publik tidak tahu dan tidak tertarik menemukan karya karya puisi tulisan saya tersebut. Saya juga bergabung nulis buku antologi Balaikota Menulis, dimana didalamnya saya juga menyajikan puisi. Mungkin suatu hari saya perlu membuat buku kumpulan Karya puisi Eko Irawan. Semoga saja terwujud.

Jika dibanding waktu waktu yang lalu, saya masih merasa beruntung sekarang. Di tahun 80an hingga 90an, dahulu saya sering berkirim karya, namun tak satupun pernah terbit. Padahal sebagai pelajar waktu itu, saya kirim karya pakai nyelengi uang saku buat beli perangko, ongkos kirim ke media, beli kertas hingga sampai saat itu beli mesin ketik manual. Itu tidak gratis dan tak satupun pernah terbit di media.

Salah saya apa, kurang apa, juga tidak ada jawaban detailnya. Andai pihak media memberi jawaban, kan jadi tahu kekurangannya apa. Menyedihkan memang, tapi jika bertanya pada yang lebih pengalaman, justru saya yang dipersalahkan karena tidak ikut standar menulis populer. Ujung ujungnya waktu itu diajak gabung pelatihan menulis berbayar. Sayapun harus Membayar mahal untuk dapat panduan. Jaman itu belum ada zoom meeting, jadi dikirim via surat menyurat saja. Dan bisa ditebak, kepolosan saya waktu itu dimanfaatkan pihak lain yang mengaku ekspert. Usai pelatihan, ya tetap saja karya karya saya tak satupun ada yang terbit.

Di tahun 1992, menjelang lulusan SMA waktu itu saya pernah putus asa hingga semua buku tulisan tangan karya saya hingga modul pelatihan, saya Larung di sungai Brantas. Waktu itu sudah ada 600 judul beraneka tema semua saya hanyutkan disungai Brantas, agar siapa yang berbuat durjana pada saya akan diberantas oleh yang Maha Kuasa.

Dan walau saya merasa konyol dengan keputusasaan yang bodoh waktu itu, namun saya tetap berkarya hingga hari ini. Pengalaman berharga bahwa sesuatu harus dikerjakan secara konsisten.

Kesimpulan 

Untung Saya jadi Penyair, dan terima kasih Kompasiana sudah menampung karya karya saya. Hingga artikel Mblarah seperti inipun ternyata punya tempat dan bisa bermakna. Andai saya penulis terkenal, awal mula kisah saya menulis ini bisa jadi film dokumenter yang menginspirasi. Dan Untung Saya Jadi Penyair, tidak termasuk dalam profesi yang tidak dipercaya publik.

Sayapun jadi tertawa sendiri. Lucu juga yang saya lakukan ini. Sampai hari ini pekerjaan menulis, khususnya puisi belum pernah ada apresiasi berupa pemberian sejumlah uang sebagai bayaran. Yang ada adalah ajakan tampil amal. Bahkan yang giat amal pun, ada pihak tertentu yang sebenarnya paham saya ini penyair, malah tidak mengajak saya gabung.

Saya tidak mabuk terkenal dan atau pasang tarif agar dihargai. Saya memang kurang totalitas di dunia sastra. Maklum, jika saya kelewat idealis, anak saya dikasih makan apa ? Jadi saya realistis saja. Saya punya keluarga yang harus dihidupi. Jadi saya harus bekerja dibidang lain yang tak ada hubungannya dengan sastra. Dan dalam forum diskusi Mblarah dengan berbagai elemen ini, akhirnya saya bertemu dengan banyak orang dengan berbagai profesi. Penyair dan seniman ternyata punya nasib yang sama. Yaitu sama sama Mblarah, ndendeng, nekad, Ndablek, memel dan idealis. Didunia seniman, ada fenomena nekad saja menggelar event. Habis acara, untuk sewa panggung, sewa sound, dan aneka macam kewajiban bayar, ternyata belum bisa terbayarkan. Jadinya punya hutang. Saya tidak bermaksud menyinggung pihak tertentu, dari inovasi yang sudah saya buat dibelakang hari, saya juga mengalami sendiri. Inilah pengalaman unik. Dan ternyata bukan saya sendiri yang Mblarah. Bahkan banyak artis terkenal di TV, saat surut mereka juga hidup memprihatinkan.

Kesimpulannya, tetap semangat saudara saudaraku seniman, budayawan dan Penyair. Mari terus berjuang karena yakin Rejeki tidak akan salah alamat. Dan siapa menanam, akan memetik buahnya. Siapa akan menolong dirimu, jika engkau tidak mau memperjuangkannya sendiri ?

Anda percaya ?

De Huize Mblarah, 2 Januari 2025
Ditulis untuk Seri Diskusi Mblarah 17.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun