Untung Aku Jadi Penyair
Jika ditelusuri, jenis tulisan di-tag Kompasiana untuk Puisi Eko Irawan kurang lebih sudah ada 1000 judul puisi. Teman teman yang semeja waktu diskusi Mblarah ini saja tidak tahu jika teman nongkrong mereka itu seorang penyair. Lha saya sendiri saja surprise dengan jumlah puisi yang pernah saya tayangkan di Kompasiana ini. Berikut buktinya :
Disitu sistem tag Kompasiana telah menghitung puisi Eko Irawan berjumlah 1K. sebuah jumlah yang tidak sedikit, dan dengan jumlah puisi mencapai 1 K Itu apakah memberi banyak pengaruh ?
Untung aku jadi penyair. Itu saja jawabanku. Jujur tak banyak orang yang tahu aku adalah penyair. Kenapa mereka tak tahu ? Saya sadar, puisi di era kekinian memang kurang populer. Kurang memiliki greget. Saya juga tidak share link karya karya puisi tersebut melalui medsos. Jadinya publik tidak tahu dan tidak tertarik menemukan karya karya puisi tulisan saya tersebut. Saya juga bergabung nulis buku antologi Balaikota Menulis, dimana didalamnya saya juga menyajikan puisi. Mungkin suatu hari saya perlu membuat buku kumpulan Karya puisi Eko Irawan. Semoga saja terwujud.
Jika dibanding waktu waktu yang lalu, saya masih merasa beruntung sekarang. Di tahun 80an hingga 90an, dahulu saya sering berkirim karya, namun tak satupun pernah terbit. Padahal sebagai pelajar waktu itu, saya kirim karya pakai nyelengi uang saku buat beli perangko, ongkos kirim ke media, beli kertas hingga sampai saat itu beli mesin ketik manual. Itu tidak gratis dan tak satupun pernah terbit di media.
Salah saya apa, kurang apa, juga tidak ada jawaban detailnya. Andai pihak media memberi jawaban, kan jadi tahu kekurangannya apa. Menyedihkan memang, tapi jika bertanya pada yang lebih pengalaman, justru saya yang dipersalahkan karena tidak ikut standar menulis populer. Ujung ujungnya waktu itu diajak gabung pelatihan menulis berbayar. Sayapun harus Membayar mahal untuk dapat panduan. Jaman itu belum ada zoom meeting, jadi dikirim via surat menyurat saja. Dan bisa ditebak, kepolosan saya waktu itu dimanfaatkan pihak lain yang mengaku ekspert. Usai pelatihan, ya tetap saja karya karya saya tak satupun ada yang terbit.
Di tahun 1992, menjelang lulusan SMA waktu itu saya pernah putus asa hingga semua buku tulisan tangan karya saya hingga modul pelatihan, saya Larung di sungai Brantas. Waktu itu sudah ada 600 judul beraneka tema semua saya hanyutkan disungai Brantas, agar siapa yang berbuat durjana pada saya akan diberantas oleh yang Maha Kuasa.
Dan walau saya merasa konyol dengan keputusasaan yang bodoh waktu itu, namun saya tetap berkarya hingga hari ini. Pengalaman berharga bahwa sesuatu harus dikerjakan secara konsisten.
KesimpulanÂ
Untung Saya jadi Penyair, dan terima kasih Kompasiana sudah menampung karya karya saya. Hingga artikel Mblarah seperti inipun ternyata punya tempat dan bisa bermakna. Andai saya penulis terkenal, awal mula kisah saya menulis ini bisa jadi film dokumenter yang menginspirasi. Dan Untung Saya Jadi Penyair, tidak termasuk dalam profesi yang tidak dipercaya publik.