Style Slow living Monggo Nang Njago aja
(Seri Berwisata ke Desa Aja #14)
Ditulis oleh Eko Irawan
Dalam beberapa kajian, daerah Malang Raya termasuk wilayah ideal untuk dipilih bagi mereka yang membutuhkan suasana slow living. Tidak hanya mereka yang pensiun atau hendak pensiun, mereka yang masih dalam usia produktif pun membutuhkan suasana yang mendukung efektifitas kinerjanya dalam style Slow living.
Malang Raya itu terdiri dari Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu. Sejak tahun 1970an, banyak pensiunan memilih tinggal di daerah ini. Pembangunan komplek perumahan semakin pesat di era tahun 1990an. Udara malang yang cenderung sejuk dan banyak lokasi destinasi wisata, membuat banyak investor memiliki Asset properti di seputar malang raya. Pertumbuhan kampus, baik negeri atau Swasta juga semakin meningkat di wilayah malang raya sehingga jumlah penduduk juga semakin meningkat. Hal ini mendorong munculnya usaha rumah kost hingga apartemen mulai tumbuh di malang raya. Belum lagi pertumbuhan spot pariwisata terbaru yang terus bermunculan di banyak lokasi. Di kota malang saja sekarang jalanan mulai macet di jam jam tertentu.
Dengan kondisi terkini seperti tersebut, apakah malang raya masih layak disebut disebut sebagai wilayah slow living ? Dalam kajian berformat Berwisata ke Desa Aja, pilihan lokasi malang raya masih bisa dimasukkan sebagai zona style Slow living. Apa alasannya ? Mari kita bahas bersama, semoga menginspirasi.
Melirik Potensi desa dan Kelurahan di malang raya
Di kota Malang, sejak 2016 mulai digagas munculnya konsep Kampung tematik. Potensi berbasis masyarakat ini, mendorong kampung kampung di kota malang semakin giat mengangkat potensinya. Tujuannya adalah menciptakan destinasi wisata baru di kampung kampung yang menarik untuk dikunjungi para wisatawan lokal maupun manca negara. Dengan jadi lokasi wisata, diharapkan muncul ekonomi kreatif yang akan mampu meningkatkan kesejahteraan warga sekitar dan mampu menumbuhkan UMKM ditingkat masyarakat kampung.
Hadirnya kampung Warna Warni, Kampung Biru, kampung Heritage Kajoetangan, kampung Budaya Polowijen, Kampoeng Sedjarah dengan Museum Reenactor Ngalam nya, kampung Nila Slilir dan kampung kampung lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, merupakan gebrakan baru di kampung kampung untuk mewujudkan destinasi Berwisata ke Desa Aja. Jika malang raya sudah sangat menarik minat tak sekedar berkunjung sebagai wisatawan namun sudah memilih tinggal sebagai kawasan Slow living, maka saatnya Konsep Berwisata ke Desa Aja jadi pilihan terbaru sebagai zona slow living. Jadi tiba saatnya melirik potensi desa dan kelurahan di malang raya untuk terus dikemas dan digagas dari masyarakat, oleh masyarakat dan hasilnya untuk masyarakat itu sendiri.
Potensi ini telah ada, tinggal bagaimana masyarakat itu sendiri mau atau tidak jadi pegiat dan pejuang di kampungnya sendiri. Â Tentu dibutuhkan sinergi antar masyarakat dan pemerintahan desa/kelurahan setempat selaku pemangku wilayah. Jika berpikirnya hanya menunggu anggaran dari pemerintah, tentu hanya akan jadi angan angan belaka. Proses support dari instansi terkait ini butuh proses panjang dari usulan, masuk Musrenbang hingga berbagai upaya administratif yang Harus terus dikawal dan membutuhkan waktu bertahun tahun hingga jadi realisasi anggaran yang didukung pemerintah setempat.
 Andai masyarakat tidak respon dan tidak kreatif, hal itu akan jadi sesuatu yang hanya bersifat menjalankan project dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Bantuan ini juga tidak akan terus menerus, namun bersifat pemantik dan stimulan agar kemandirian masyarakat bangkit sehingga munculah pertumbuhan ekonomi kreatif yang mandiri mengangkat potensi kampungnya masing masing.
Dalam hal ini, Masyarakat sendiri harus jadi penggerak di garda terdepan. Contoh realistis bisa di tengok di Monggo Nang Njago, kreatifitas warga RW.X di Jalan Kertanegara sisi Timur Tumpang kabupaten Malang. Slow living ? Â Monggo Nang Njago Aja.
Mengenal Style Slow living di Monggo Nang Njago
Style hidup ala Slow living tidak hanya khusus bagi pensiunan atau persiapan mau pensiun. Mereka yang muda banyak memilih berdomisili di desa dan hidup ala Slow living di dalamnya, meskipun mereka tiap hari harus bekerja keluar kampung. Di era modern banyak orang orang muda yang terkena sakit stroke hingga berbagai bentuk penyakit lainnya dikarenakan pola kerja dalam tekanan namun meninggalkan konsep style Slow living.
Mesin saja bisa rusak jika dipaksa kerja tanpa mengenal konsep istirahat, apalagi tubuh manusia. Slow living bukan hidup santai melulu yang menolak kerja keras. Slow living adalah kondisi yang nyaman sesuai tingkat kemampuan yang bersangkutan. Artinya dengan kemampuan dompet masing masing, mampukah hidup layak dan sehat ? Di tengah kota dengan cafenya, harga makan sudah berapa ? Dengan gaji kita apa mampu ? Di Monggo Nang Njago ada menu makan seharga 3000 perak. Bisa kenyang tak lebih dari 20.000 perak. Tak Hanya di wilayah Njago, di wilayah desa diseputar kecamatan Tumpang, untuk memenuhi standar hidup slow living sesuai dompet, insya Allah masih mampu dijangkau. Inilah daya tarik hidup di desa.
Menikmati Guyub Rukun Bumi Nusantara masih lestari di desa.
Indonesia, sebenarnya sangat menarik minat wisatawan asing untuk melihat seni budaya tradisi yang mereka sendiri tidak memilikinya di negeri asalnya. Jadi aneh rasanya jika generasi Indonesia sendiri ternyata malah bergaya hidup ala barat, jepang atau Korea.
Hidup dalam konsep Guyub Rukun ala Bumi Nusantara ini masih tumbuh lestari di desa. Inilah konsep slow living yang riil. Ada gotong royong. Ada musyawarah mufakat. Saling sapa dalam guyub rukun antar tetangga. Hal hal yang digagas Presiden Soekarno ini masih lestari dan dapat kita jumpai kembali di Monggo Nang Njago.
Dusun Njago dan Desa Tumpang adalah sebuah wilayah yang sudah didiami masyarakat asli Nusantara, minimal sejak masa Kerajaan Singhasari. Keberadaan candi Jago di dusun Tumpang merupakan buktinya. Candi tersebut merupakan situs cagar budaya bertaraf nasional yang patut dijaga dan membanggakan bagi warga jago dan sekitarnya. Kenapa ? Jaman kerajaan Singhasari saja Njago ini sudah istimewa sehingga jadi tempat terpilih untuk peristirahatan terakhir bagi Raja Wishnu Wardhana. Tak semua tempat dijadikan lokasi sebagai candi dan jago ternyata terpilih. Tentu sejak masa itu daerah jago sudah sangat layak dijadikan tempat dengan standar suasana slow living. Pembangunan Candi Jago sendiri berlangsung sejak tahun 1268 sampai dengan tahun 1280.
Dan Dalam catatan mpu Prapanca, Â Selama tahun 1359, Candi Jago merupakan salah satu tempat yang sering dikunjungi Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Berarti posisi candi jago ini sangat istimewa pada masa Majapahit. Seorang Maharaja Masa Majapahit tercatat paling sering mengunjungi Njago, berarti di masa kejayaan Majapahit, Njago telah jadi daerah pilihan slow living yang keren.
Bagaimana tidak keren, seorang Maharaja saja berkenan hadir ke daerah Njago.
Jadi warga Njago dan tumpang patut berbangga dengan fakta sejarah yang jika dihitung dari awal peletakan batu pertama candi jago maka Njago ini sudah berumur 756 tahun. Keren bukan ?
Slow living ala Monggo Nang Njago
Gagasan yang dikawal kumpul para Jagoan ini mewujudkan destinasi wisata UMKM milik warga RW.X dusun Jago Tumpang. Dengan digagas dari warga dan untuk warga ini, Monggo Nang Njago sangat menginspirasi sebuah konsep slow living yang khas Indonesia.
Di era kekinian, pola hidup masyarakat telah berubah. Monggo Nang Njago memberikan potret kehidupan guyub rukun asli Nusantara yang masih lestari. Sebuah gagasan seperti Monggo Nang Njago ini harus mempererat hubungan guyub rukun antar warga setempat, memberi peningkatan kesejahteraan warga setempat dan menyajikan pilihan belanja yang terjangkau. Slow living dengan pola harga kuliner yang terjangkau, masyarakat sekitar yang hidup guyub rukun dan ramah serta pola hidup masyarakat yang sederhana akan jadi lingkungan nyaman yang layak dikunjungi.
Slow living di desa yang masih melestarikan budaya Nusantara ini akan turut merasakan guyub rukun dan komunikasi ramah yang membuat nyaman dan krasan siapapun yang pernah dan tinggal diseputar daerah tersebut. Di Indonesia sekarang tak semua daerah masih melestarikan budaya asli Nusantara.
Jadi jika ditanya style Slow living recommended bisa jadikan malang raya  dan pilih daerah desa desa yang masih menyediakan ruang nyaman untuk pola hidup yang diidam idamkan. Beberapa daerah seperti kecamatan tumpang, pakis, jabung dan Poncokusumo menyajikan pola hidup yang lebih bersahabat dengan kantong dan ukuran penghasilan yang dimiliki. Untuk daerah yang lain saya pribadi belum bisa menilai karena saya pribadi sejak 1998 sudah menjadikan Tumpang sebagai pilihan tempat tinggal yang memberi saya ruang dan suasana sesuai pilihan.
Jarak ke pusat kota, harga kuliner, cuaca, suasana hubungan guyub rukun masyarakat dan lingkungan yang nyaman adalah beberapa alasan kenapa memilih style Slow living yang terjangkau di kantong. Rekreasi pun murah meriah dan terjangkau sesuai kemampuan.
Penasaran dengan style Slow living di desa aja, Mari Jelajah Rasa Berbagi Makna pada Minggu, 22 Desember 2024 di Monggo Nang Njago. Acara ini dimulai pukul 07.00. Mari temukan slow living ala Monggo Nang Njago. Selamat mengeksplore Style Slow living Monggo Nang Njago Aja.
Jinalayapura Jajaghu, 20 Desember 2024
Ditulis untuk Seri Berwisata ke Desa Aja 14
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H