Mohon tunggu...
Anggi Irawan
Anggi Irawan Mohon Tunggu... peneliti -

Saya penikmat fotografi-travelling-dan dunia etnografi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Nyantri Harus Kudisan (Studi Scabies di Pesantren)

5 Januari 2016   16:02 Diperbarui: 5 Januari 2016   16:08 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang santri santri khusyuk bersembahyang dalam keadaan badannya gatal, Bisakah konsentrasi belajar dan mengaji?. Dan tentu saja apakah si kudis bisa menahan diri untuk tidak menularkan dirinya ke orang lain. Artinya bisakah kita selalu melindungi orang lain dari hal-hal negatif pada diri kita? Itu semua adalah pelajaran kekuatan mental dan ilmu bersosial yang harus mumpuni.

Kalau sampai seorang santri kena kudis, itu bukan karena temannya sengaja menularkan, melainkan karena terpaksa kena. Benar-benar terpaksa, karena tidak ada orang belajar nyantri dengan cita-cita mendapatkan sakit kudis. maka muncul ungkapan “Kalau belum kena kudis, berarti belum lulus sebagai santri!”

Maksudnya tentu bukan kudis itu sendiri yang penting, melainkan ‘manfaatnya’ terhadap pembinaan mental, ketahanan diri, peningkatan daya konsentrasi, kesetiakawanan untuk melindungi orang lain, dan seterusnya. Oleh karena itu, secara tak sengaja semakin lama masalah kudis ini semakin menjadi mitos di kalangan santri.

Kaum intelek yang dikenal sebagai kaum bersarung ini memang dipandang negatif kadang mereka dikenal sebagai orang yang udik, tidak sedap dipandang karena memakai pakaian begitu-begitu saja, dan terkesan jorok. Namun, itu hanyalah pandangan kasat mata. Dari sisi intelektualitas mereka memiliki poin lebih pada sisi ruhaniah yang terisi ajaran tarekat hidup dengan penuh keprihatinan lebih dibanding intelektual di luar kaum bersarung.

Nyantri di Pesantren

Di sebuah pondok pesantren yang saya kunjungi di Pulau Jawa ini masih terbilang kecil bila disandingkan dengan Pondok Gontor yang sudah melegenda di kalangan ponpes di Indonesia. Pondok pesantren ini termasuk pondok pesantren Khalafiyah atau ponpes modern, yang mengajarkan sudah memakai kurikulum baku, dan memiliki sekolah formal.

Pondok pesantren yang belum memiiki siswa terlalu banyak, yang kesemuanya santri mukim bukanlah santri kalong, namun aura keagamaan begitu kental. Lokasi pesantren menyatu pada lingkungan masyarakat, namun terlihat jelas batasan mana santri dan mana masyarakat pada umumnya di lingkungan ini.

Clifford Geertz pernah membagi golongan masyarakat Jawa menjadi Santri, Abangan, Priyayi. Muslim santri bagi pandangan yang lain-lain  merupakan golonan Muslim yang secara keagamaan dan politik agresif, dan kadang-kadang fanatik, atau  bahkan bersikap keras di dalam masyarakat Islam Indonesia. Baik sebagai golongan keagamaan maupun politik, bahkan dewasa ini kaum Muslim santri relatif merupakan golongan minoritas, tetapi tetap sebagai orang-orang yang dengan rasa anti-kolonialism  serta anti peradaban Barat yang kuat.

Kaum ortodoks atau Muslim santri ini juga disebut ahlu sunnah wa’l-jama’ah, yang berarti, mereka yang tergolong pada sesuatu umat yang memandang hukum Tuhan sebagai yang dipercotohkan di dalam sunnah (kebiasaan-kebiasaan pribadi atau “jalan sehari-hari”) Nabi. Karena Sunnah Nabi itu dicatat di dalam Hadits, atau tradisi, maka mereka juga dinamakan kaum tradisionalis. Hal inilah yang sekilas walaupun para santri ini tinggal di tengah-tengah masyarakat, namun identitas sosial mereka sangat kentara dan menjadi pembatas yang jelas.

Hal yang terlihat lumer di kalangan santri di pesantren ini, tidak terlihat patronase, atau sebuah simbolisme bahwa terdapat seorang kiai  yang menjadi patron utama mereka. Bahkan, yang terjadi para santri ini sebagian waktunya dihabiskan di sekolah formal yang memang masih satu yayasan dengan pesantren, dan di waktu yang lain terdapat ustad “kalong” yang mengajar silih berganti. Hal ini berdampak pada kepatuhan dan simbolisme kesakralan sebuah pesantren. Terkadang sebuah pesantren besar dan dikenal karena seorang kiai yang memimpinnya. Kepatuhan yang lemah membuat santri yang seharusnya baru tiga bulan baru diijinkan pulang, terkadang malah seminggu sekali mereka keluar pesantren untuk pulang.

Hal ini akhirnya berdampak pada merebaknya kasus scabies, para santri ini yang telah mengidap scabies saat pulang ke rumah akhirnya si kutu scabies ini berpindah ke rumah masing-masing asal mereka.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun