Sebuah bangunan tidak terlalu besar, beratapkan seng dan tembok masih terlihat bata merah ditata, selangkah masuk ke dalam cukup banyak orang yang berdiam di dalamnya. Semua yang berdiam di dalamnya berpakaian sama memakai peci hitam dan bersarung, beberapa memakai baju koko putih dan yang lain memakai baju beragam. Mereka semua menenteng Al-Quran di tangannya dan berjalan menuju satu tempat. Rata-rata remaja yang nyantri ini masih seusia sekolah menengah pertama, mereka nyantri di salah satu pondok pesantren sederhana dan baru dibuka beberapa tahun terakhir. Pesantren ini nantinya menelurkan beberapa hafidz Al-Quran, sebutan untuk orang yang hafal Al-Quran.
Di sisi yang lain tampak bangunan dua lantai dan sebuah bangunan joglo tua, ditempat inilah remaja putri nyantri, terpisah dengan bangunan milik santri pria. Terlihat jelas bangunan milik santri perempuan tinggal terlihat lebih manusiawi dibanding untuk santri pria. Sedikit banyak ini terpengaruh teori maskulinitas, bahwa laki-laki bisa lebih bertahan hidup di lokasi terburuk dibanding perempuan.
Itulah ponpes dengan berbagai keunikan yang dimiliki. Pada era kekinian pesantren masih eksis sebagai pilihan orang tua untuk mendidik anak. Walaupun terkadang banyak juga santri yang putus di tengah jalan, karena dipengaruhi kadar berani hidup nelangsa yang dimilikinya. Begitulah pesantren dengan kondisi keterbatasan yang sengaja dibuat untuk menggembleng mental para santri.
Banyak jebolan hebat yang lahir dari lingkungan pesantren sebut saja Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Presiden RI yang ke-4 pada periode tahun 1999 sampai 2001. Berikutnya adalah mantan Ketua MPR periode 2004 hingga 2009 yaitu Hidayat Nur Wahid yang pernah mengenyam pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor pada tahun 1973. Ketika di Gontor beliau merupakan salah satu staff Koordinator Gerakan Pramuka. Beliau juga merupakan salah satu deklarator dan Presiden kedua Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Tidak dapat dipungkiri pendidikan pesantren tidak kalah hebat dari pendidikan sekolah formal yang menempatkan berbagai modifikasi kurikulum yang ada. Namun, ada hal menarik dan identik yang pasti pernah dialami para santri dan santriwati selama tinggal dan menggali ilmu di lingkungan pondok pesantren yakni terkena kudisan.
Kudisan atau bahasa ilmiahnya disebut sebagai penyakit scabies merupakan penyakit yang disebabkan oleh kutu Sarcoptes scabiei. Penyakit khas pondokan ini sangat erat hubungannya dengan budaya dan nilai-nilai yang ada di lingkungan pesantren. Muncul stereotip dimana seseorang yang pernah mengalami kudisan berarti sudah sah pernah menjadi bagian dari pesantren dan mampu menyerap ilmu lebih dalam lagi ke tingkat selanjutnya.
Kudis Bermakna Lebih Dari Sekedar Penyakit
Sebuah mitos berkembang dibalik penyakit kudisan ini yang lekat dengan kehidupan rata-rata orang yang nyantri. Baik laki-laki maupun perempuan, kudisan tidak pandang bulu menyerang. Kata seorang santri, awalnya di pesantren ini tidak pernah ada yang kudisan, baru ketika datang santriwati pindahan dari pesantren lain yang ternyata kudisan jadi menulari yang lain dan mewabah beberapa tahun terakhir di pesantren ini, yang terhitung masih pesantren baru.
Mungkin kudisan muncul sebagai mitos dari sebuah inisiasi bahwa pesantren ini memiliki santri yang lebih benar lagi nyantrik ke kiainya. Terus terang saja ada sesuatu yang sifatnya lebih misterius dari penyakit ini. Tapi penjelasan juga bukan untuk memitoskan kudis. Ini sekedar realita yang harus dihadapi atau dipahami secara santai, tanpa perlu didramatisir atau membuat kita panik.
Pada mulanya penyakit ini dinilai biasa saja dan masih dianggap normal sebagai keluhan penyakit kulit biasa. Dulu, mungkin ada satu dua orang yang membawa tungau mikroba ini ke lingkungan pesantren. Lalu dikarenakan kehidupan para santri saling berinteraksi satu sama lain setiap harinya, beraktivitas secara komunal dari mulai makan bersama tidur bersama dan menggunai berbagai fasilitas seperti kamar mandi secara bersama, maka memungkinkan proses penularan penyakit ini menjadi lebih cepat.
Sehingga mewabah dan tidak mudah ditanggulangi dalam waktu singkat karena siklus penularan berputar secara terus menerus. Apalagi urusan pesantren memang banyak, dan tidak ada juzz atau fakultas atau departemen khusus yang memperhatikan hanya soal kudis. Maka akhirnya kudis justru didayagunakan. Kita tahu salah satu pelajaran dan etos mental yang dibangun dalam pendidikan pesantren adalah kesanggupan untuk berprihatin, kemampuan untuk menderita, atau kekuatan menghadapi segala siksaan. Dalam hal itu, kehadiran penyakit kudis bisa didayagunakan untuk bahan penguji mental yang efektif bagi kaum santri.
Seorang santri santri khusyuk bersembahyang dalam keadaan badannya gatal, Bisakah konsentrasi belajar dan mengaji?. Dan tentu saja apakah si kudis bisa menahan diri untuk tidak menularkan dirinya ke orang lain. Artinya bisakah kita selalu melindungi orang lain dari hal-hal negatif pada diri kita? Itu semua adalah pelajaran kekuatan mental dan ilmu bersosial yang harus mumpuni.
Kalau sampai seorang santri kena kudis, itu bukan karena temannya sengaja menularkan, melainkan karena terpaksa kena. Benar-benar terpaksa, karena tidak ada orang belajar nyantri dengan cita-cita mendapatkan sakit kudis. maka muncul ungkapan “Kalau belum kena kudis, berarti belum lulus sebagai santri!”
Maksudnya tentu bukan kudis itu sendiri yang penting, melainkan ‘manfaatnya’ terhadap pembinaan mental, ketahanan diri, peningkatan daya konsentrasi, kesetiakawanan untuk melindungi orang lain, dan seterusnya. Oleh karena itu, secara tak sengaja semakin lama masalah kudis ini semakin menjadi mitos di kalangan santri.
Kaum intelek yang dikenal sebagai kaum bersarung ini memang dipandang negatif kadang mereka dikenal sebagai orang yang udik, tidak sedap dipandang karena memakai pakaian begitu-begitu saja, dan terkesan jorok. Namun, itu hanyalah pandangan kasat mata. Dari sisi intelektualitas mereka memiliki poin lebih pada sisi ruhaniah yang terisi ajaran tarekat hidup dengan penuh keprihatinan lebih dibanding intelektual di luar kaum bersarung.
Nyantri di Pesantren
Di sebuah pondok pesantren yang saya kunjungi di Pulau Jawa ini masih terbilang kecil bila disandingkan dengan Pondok Gontor yang sudah melegenda di kalangan ponpes di Indonesia. Pondok pesantren ini termasuk pondok pesantren Khalafiyah atau ponpes modern, yang mengajarkan sudah memakai kurikulum baku, dan memiliki sekolah formal.
Pondok pesantren yang belum memiiki siswa terlalu banyak, yang kesemuanya santri mukim bukanlah santri kalong, namun aura keagamaan begitu kental. Lokasi pesantren menyatu pada lingkungan masyarakat, namun terlihat jelas batasan mana santri dan mana masyarakat pada umumnya di lingkungan ini.
Clifford Geertz pernah membagi golongan masyarakat Jawa menjadi Santri, Abangan, Priyayi. Muslim santri bagi pandangan yang lain-lain merupakan golonan Muslim yang secara keagamaan dan politik agresif, dan kadang-kadang fanatik, atau bahkan bersikap keras di dalam masyarakat Islam Indonesia. Baik sebagai golongan keagamaan maupun politik, bahkan dewasa ini kaum Muslim santri relatif merupakan golongan minoritas, tetapi tetap sebagai orang-orang yang dengan rasa anti-kolonialism serta anti peradaban Barat yang kuat.
Kaum ortodoks atau Muslim santri ini juga disebut ahlu sunnah wa’l-jama’ah, yang berarti, mereka yang tergolong pada sesuatu umat yang memandang hukum Tuhan sebagai yang dipercotohkan di dalam sunnah (kebiasaan-kebiasaan pribadi atau “jalan sehari-hari”) Nabi. Karena Sunnah Nabi itu dicatat di dalam Hadits, atau tradisi, maka mereka juga dinamakan kaum tradisionalis. Hal inilah yang sekilas walaupun para santri ini tinggal di tengah-tengah masyarakat, namun identitas sosial mereka sangat kentara dan menjadi pembatas yang jelas.
Hal yang terlihat lumer di kalangan santri di pesantren ini, tidak terlihat patronase, atau sebuah simbolisme bahwa terdapat seorang kiai yang menjadi patron utama mereka. Bahkan, yang terjadi para santri ini sebagian waktunya dihabiskan di sekolah formal yang memang masih satu yayasan dengan pesantren, dan di waktu yang lain terdapat ustad “kalong” yang mengajar silih berganti. Hal ini berdampak pada kepatuhan dan simbolisme kesakralan sebuah pesantren. Terkadang sebuah pesantren besar dan dikenal karena seorang kiai yang memimpinnya. Kepatuhan yang lemah membuat santri yang seharusnya baru tiga bulan baru diijinkan pulang, terkadang malah seminggu sekali mereka keluar pesantren untuk pulang.
Hal ini akhirnya berdampak pada merebaknya kasus scabies, para santri ini yang telah mengidap scabies saat pulang ke rumah akhirnya si kutu scabies ini berpindah ke rumah masing-masing asal mereka.
Bila kita renungkan pesantren memang dibuat menjadi ajang limitasi membuat jarak dari dunia luar. Pesantren memiliki dunianya sendiri termasuk penyakit kudisan yang berkembang di dalamnya.
Sebenarnya tidak ada hubungan langsung antara penyakit kudisan dengan budaya pesantren. Namun pola budaya berkehidupan di lingkungan pesantren yang membentuk pola hidup tertentu menjadikan pesantren ladang subur untuk mewabahnya scabies. Sebenarnya bila dirunut mendalam penyakit scabies sangat erat hubungannya dengan sanitasi lingkungan dan kesebrsihan diri seseorang. Tidak perlu berhenti dengen memitoskan sebuah penyakit yang seakan-akan susah disembuhkan. Namun, lebih baik mencari titik penyembuhan yang mungkin dikerjakan. Penyakit ini sangat rentan menular dengan tungau yang berkuran sangat kecil mudah sekali beramburan di udara dan menempel di beberapa orang.
Dengan kemampuan bereproduksi dengan bertelur cukup cepat juga menjadi faktor utama tungau ini dengan mudahnya menyerang. Mata rantai perlu diputus dan mitos akan segera punah bila sebuah gerakan pembersihan serentak dilakukan. Todak bisa dilakukan secara parsial hanya beberapa orang, satu saja yang terkena scabies semua orang yang bermukim bersama harus melakukan tindakan penyembuah bersama dan membersihkan lingkungan serentak.
Penyakit ini tidak pandang bulu, apakah dia santri, atau kiai, atau juga di pesantren modern atau tradisional semua bisa tertular. Sebenarnya mudah untuk menggerakkan santri bekerja bersama, karena kiai dalam sebuah pesantren memiliki peranan sentral. Apa saja kata kiai pasti segera dikerjakan para santrinya. Dipandang dari sisi lain misalnya penyakit ini bisa diatasi, akhirnya mitos-mitos yang membentuk “sakral” sebuah pesantren akan turut runtuh pula, apa memang scabies yang turut menyumbang pada sakralnya dunia pesantren memang sengaja dipelihara kelangsungannya.
Namun, apakah di era modern sekarang ini masih mau kalah dengan kudis, kami jelajah mengajar mencoba menelisik lebih dalam perhal scabies. Melalui diskusi dan membuat materi poster pencegahan scabies, dengan metode belajar bersama, akan menciptakan self awarness pada santri untuk mengurangi kejadian scabies di pesantren mereka. anggi septia irawan/peneliti dan founder www.jelajahmengajar.com
[caption caption="belajar berantas scabies"][/caption]
[caption caption="poster scabies karya santri"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H