Mohon tunggu...
Ira Uly Wijaya
Ira Uly Wijaya Mohon Tunggu... Guru - Penulis

You not alone, Allah be with you

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Zahidaah

13 Maret 2022   14:36 Diperbarui: 16 Maret 2022   17:33 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Semoga di sini lebih aman kak".

" Iya Zahidaah".

Kurebahkan punggungku di atas rumput yang mulai gersang daripada dulu, Zaahidah juga duduk bersandar di pohon. Kuperhatikan warna langit sore itu semakin berubah gelap saja warnanya, tanda hujan akan turun segera, dan kami makin kesorean.

Kami beristirahat beberapa menit entah hampir setengah jam, perasaanku mulai gelisah.

"Suara dentuman senapan dan arak-arakan bom mulai reda dik, kita pulang saja yah".

"Semoga abba, amma, dan nenek selamat di rumah kak".

"Kita berdoa saja".

Mungkin itu kata-kata paling menyakitkan yang pernah aku dengar, jauh lebih pedih daripada mendengar berita kematian kakakku kemarin. Beranjak dari bukit ini kami berdua berjalan turun menuju ke arah rumah. Zahidaah tak lagi kugendong, aku merasa sedikit lelah, kutuntun ia berjalandengan menggenggam tangannya yang mungil. Suara riuh rendah melatarbelakangi perjalanan kami ini, mulai dari sirine ambulan, suara api membakar mobil-mobil, dan  bangunan yang hancur dan retak maupun mayat-mayat yang tergeletak membuat aku semakin sedih dengan peristiwa ini. Persis seperti endingnya film Terminator. Melihat mayat-mayat ini saja sudah bisa dibayangkan kami hidup di negeri perang. Dulu Suriah tidak seperti ini, kami hidup aman tentram dengan segala kecukupan kami, sekarang sangat berbanding terbalik.

Thummm.. Thuumm.. Dentuman keras tiba-tiba nyaring sekali di telinga kami. Tangan Zahidaah yang mungil terlepas dari genggamanku, kami terpisah, terlempar satu sama lainke arah yang berbeda, beberapa orang di sekitarku juga demikian. Lalu hening seketika.

Mataku terpejam, aku tak sanggup bangun, sepertinya tulang kepala dan tangan kiriku retak, darah mengucur. Aku baru ingat tadi aku terhempas ke pagar bangunan yang entah bangunan apa. Aku mencoba berdiri dengan menyingkirkan batu-bata yang menimbun tubuhku. Aku teringat Zahidaah.

Dalam kesakitan yang amat sangat aku mencari Zahidaah, sesekali aku berlari dengan kaki yang pincang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun