"Dik kita jangan ikut orang lain, kita lari ke tempat lebih aman saja. Di belakang rumah sakit ada bukit tempat kita dulu bermain, mungkin aman".
Zahidah mengangguk tanda setuju.
Kutancapkan gas memutari rumah sakit Asy-Syifa. Dalam hatiku aku sudah cukup banyak berlari hari ini, seperti tak sanggup lagi membopong adikku. Aku telah berlari sekitar 1 km. Apa dayaku, tak ada pilihan lain selain terus berlari menyelamatkan diri dan  Zahidaah sembari terus bergumam dan berdoa semoga keluargaku di rumah semua selamat dari amuk besi mesiu ini.
Setelah berlari dengan sepatu yang sudah koyak ini, sekitar 100m jarak dari rumah sakit, terdengarlah suara bom berjatuhan lagi dibelakangku. Kutolehkan mukaku ke belakang sambil memegang erat Zahidaah, tak ku sangka Asy-Syifa yang baru saja ku lewati hampir rata dengan tanah. Zahidaah mulai menangis, ia semakin takut . Keadaan semakin genting. Sambil berkata.
"Dik, saya mohon jangan menangis, kita akan segera mendapat bantuan".
Kuperhatikan ke sekeliling, aku tak menyadari ternyata banyak sekali manusia terkena hantaman perang, mereka sudah mulai gugur satu persatu terkena sambaran bom, peluru, juga puing-puing bangunan.
Darah bersimbah di mana-mana, tangis manusia mengelegar dengan keras ke langit meminta pertolongan dari Yang Maha Kuasa agar sudikiranya mengirimkan menusia utusannya untuk menolong.
Nyaliku makin ciut, Aku terus bergumam dalam tangisku yang mulai menyeruak keluar supaya dikirimkan malaikat penolong untukku dan  Zahidaah, dan lagi abba, amma, dan nenekku yang rempong yang terus membohongiku dengan nasehatnya.
Tak lama kemudian, dalam keadaan kami seperti adegan film Shivaay sampailah kami di bukit Sin. Aku ingat betul taman bermain kami dulu yang layaknya tempat persembunyian, lantas terus aku menuju ke sana.
"Kita istirahat di sini dulu, sudah hampir setengah jam kita berlari".
Aku berkata tanpa memperkirakan dengan pasti waktu tersebut.