oleh Rifki Setiawan
Nenek 'rempong' itu selalu  berkata "Tuhan ada di mana-mana, Tuhan bersemayam bersama orang-orang baik nan shaleh". Namun naluriku terus meronta, seakan tak percaya pada perkataannya. Di satu sisi itu adalah nenekku sendiri, Haalimah Ziyadaah namanya, berumur 78 tahun, sudah sepantasnya ia kenyang dengan segala pengalaman dan hiruk pikuk dunia ini, mungkin itu yang melandasinya untuk berkata demikian. Pikirku, ia tak mungkin berkata tak jujur kepada cucunya sendiri untuk menghapus keraguanku.
Sore itu suasana sedikit mendung dengan arak-arakan awan, juga beberapa halilintar yang menggelegar di sawang langit Squalbiah. Aku duduk termenung di pintu belakang rumahku,duduk memikirkan benar tidaknya perkataan nenekku. Duduk dengan muram, aku seperti sedang tidak ingin melakukan apa-apa. Langit terus bergemuruh, tiba-tiba Abba memanggilku.
"Mehdi.. Mehdi.. Di mana kamu?" Dengan nada gelisah.
"Aku di sini abba, di pintu belakang."
"Kamu ngapain, cepat sana jemput adikmu di sekolah, sebentar lagi mau hujan!"
"I ii iiya abba."
Aku terus bergegas ke seberang taman Al-Hayyah yang hanya tersisa setengahnya lagi, sementara sisanya sudah porak poranda beberapa hari lalu. Sekitar 70m dari taman, aku berlari untuk supaya adikku tidak ketakutan menunggu jemputan.
"Zahidaah.. Zahidaah.. Ayo kita pulang!"
"Iya.. Aku sudah menunggumu dari tadi."
"Hmm maaf, tadi kakak agak sibuk. Bagaimana belajarmu hari ini?"