Oleh : Ira PranotoÂ
Rintik hujan membasahi pepohonan di luar rumah. Anggrek cattleya menggerak-gerakkan mahkotanya dipermainkan sang bayu. Tetes air hujan menimpa kaca jendela, mengalir perlahan membentuk guratan meliuk.Â
Kusesap kopi hitam dengan sedikit rasa manis. Hangat itu terasa di kerongkongan, mengalir perlahan ke perut. Cukup menghangatkan di kala rinai turun dari singgasananya, sembari membawa hawa dingin.
Memoriku melenggang ke masa empat belas purnama yang lalu.
"Kakak pulang, Dek," pamitnya siang itu.
Aku hanya mengangguk. Entah mengapa, berat rasa hati melepas kepulangannya hari ini.
"Mengapa diam saja?" tanyanya lirih.
"Aku mesti bicara apa, Kak?"
"Seperti biasanya juga tak masalah." Dia tertawa.
"Tak bosan apa mendengar kata yang itu saja?"
"Kakak tak bosan mendengarnya, seperti tak bosannya aku menyesap kopi buatanmu tiap bertandang ke sini."
Kurasakan panas menjalar di pipi. Ah, Kak Rafa selalu saja membuat diriku tersanjung.
***
[Mega, datanglah ke rumah!] Pesan whatsapp dari Mbak Santi-sepupuku.
[Ada apa, Mbak?]
[Sudah datang saja. Nanti kau akan tahu.]
[Sekarang?]
[Ya.]
Walau muncul berbagai pertanyaan di kepala, aku tak bertanya lebih lanjut. Percuma, Mbak Santi tak akan menjawab.
Dengan hati menduga-duga, kunaiki motor menuju ke rumah Mbak Santi. Tak biasanya kakak perempuan Kak Rafa itu memintaku datang.
Begitu sampai, aku langsung diajak Mbak Santi pergi, entah ke mana.
"Kita akan ke mana, Mbak?" tanyaku penasaran.
"Nanti kau akan tahu." Pandangannya fokus ke arah jalan.
Empat puluh menit kemudian, mobil berbelok ke sebuah bangunan tinggi, rumah sakit. Hatiku gelisah. Siapakah yang sakit? Kak Rafakah? Bukankah kemarin dia bertandang ke rumahku dalam keadaan sehat dan segar bugar?
"Mbak Santi." Kusentuh tangannya begitu mobil berhenti.
Pandangannya mengisyaratkan agar aku diam. Terlihat wajah perempuan anggun ini menyiratkan kesedihan yang berusaha ditutupi.
Kuikuti langkahnya, memasuki lift menuju lantai empat. Sampai di depan salah satu kamar rawat inap, di samping pintu masuk tertulis nama lengkap Kak Rafa. Jantungku seakan berhenti berdetak. Ada apa dengan Kak Rafa?
***
Kusesap lagi kopi hitam dengan rasa sedikit manis. Hangatnya sudah berkurang disita suhu dingin. Dengan cara ini aku mengobati kerinduan pada Kak Rafa.
Dia yang kusayang, telah tenang di alam sana. Kecelakaan pada malam hari, saat rintik membasahi bumi. Dalam perjalanan pulang dari majelis taklim, menjadi sebab kembalinya laki-laki tegas itu kepada Tuhannya.
"Kak Rafa, aku rindu," bisikku lirih disertai pandangan mata berkabut.
***
Jepara, 26.12.2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H