Oleh : Ira PranotoÂ
Rintik hujan membasahi pepohonan di luar rumah. Anggrek cattleya menggerak-gerakkan mahkotanya dipermainkan sang bayu. Tetes air hujan menimpa kaca jendela, mengalir perlahan membentuk guratan meliuk.Â
Kusesap kopi hitam dengan sedikit rasa manis. Hangat itu terasa di kerongkongan, mengalir perlahan ke perut. Cukup menghangatkan di kala rinai turun dari singgasananya, sembari membawa hawa dingin.
Memoriku melenggang ke masa empat belas purnama yang lalu.
"Kakak pulang, Dek," pamitnya siang itu.
Aku hanya mengangguk. Entah mengapa, berat rasa hati melepas kepulangannya hari ini.
"Mengapa diam saja?" tanyanya lirih.
"Aku mesti bicara apa, Kak?"
"Seperti biasanya juga tak masalah." Dia tertawa.
"Tak bosan apa mendengar kata yang itu saja?"