Terima Kasih Pak Jakob !
Ternyata begitu besar jejak jasa Pak Jakob Oetama , pendiri Grup Kompas bagi saya, sejak kecil hingga saat ini....
Dan saya ga menyadari hal itu sampai saat kepergian Pak Jakob Oetama untuk selamanya.
Saya memang ga mengenal beliau secara personal, tapi setelah saya renungi , begitu banyak jejak Pak Jakob Oetama mengalir dan membentuk kecintaan saya terhadap dunia buku dan literasi sejak kecil hingga hari ini.
Sejak TK hingga SD , saya rutin membaca majalah Bobo. Awalnya, mendiang ibu saya kerap membelikan majalah itu setelah pulang kerja. . Saat ibu membacakan cerita dan kisah dongeng seperti Oky Nirmala, Pak Janggut dll adalah saat saat yang membahagiakan masa kecil saya .
Setelah bisa membaca sendiri dan mulai berlangganan majalah Bobo, hari Kamis pagi saat loper koran mengantarkan majalah adalah saat yang selalu saya nantikan sebelum berangkat sekolah.
Selain majalah Bobo, saat itu di rumah saya juga berlangganan Majalah Donal Bebek yang cukup banyak membentuk imajinasi saya sejak kecil.
Beranjak ABG, saya mulai melirik majalah lain yaitu Kawanku Still yang singkatan dari Sudah Tidak Ingusan Lagi Di awal 90an, majalah Kawanku belum berfokus sebagai majalah cewek seperti belakangan, tspi lebih banyak ke anak2 ABG secara umum, dan banyak porsi mengulas idola idola ABG saat itu seperti NKOTB, Tommy Page dll.
Saya ingat, di kelas 5 SD saya udh sering membaca majalah Kawanku Still yang saya beli pake uang tabungan sendiri , walaupun di rumah udah berlanggganan dua majalah Bobo dan Donal Bebek.
Setiap minggu, saya rela bersepeda dari rumah sekitar 1 jam bolak balik ke tukang lapak koran terdekat yang menjual majalah Kawanku Still. Momen melihat para idola di majalah Kawanku terbitan terbaru, menjadi kegembiraan tersendiri buat saya yang saat itu merasa sudah tidak ingusan lagi , tapi di rumah masih berlangganan Bobo
Beranjak masuk SMP, seperti kebanyakan ABG cewek saat itu, saya juga mulai berlangganan majalah GADIS , yg tentu saja penerbitnya bukan dari Grup Kompas.
Tapi di saat yg bersamaan, saya juga sering melirik majalah HAI yang sebenernya adalah Majalah Remaja Pria. Liputan2 khas tentang musik dan konser konser yang bikin saya tertarik membaca artikel2 majalah ini.
Saat itu saya mulai mengidolakan banyak grup band luar seperti Bonjovi, Pearl Jam hingga Nirvana karena terpengaruh sobat saya masa SMP Indah Andiyati
Saat Kurt Cobain meninggal, liputan2 majalah HAI yang terus menerus tetang Nirvana makin membuat saya menyukai lagu lagu Nirvana. Puncaknya adalah saat Bonjovi datang konser di tahun 1995, liputan Majalah Hai selalu saya tunggu tunggu sebelum dan sesudah konser.
Konser Bon Jovi di Ancol dalah konser pertama grup band luar negri yang saya hadiri di saat masih kelas 3 SMP setelah menabung uang jajan berbulan bulan , dan menjadi salah satu momen terbaik masa ABG yang saya masih ingat jelas hingga kini.
Masuk SMA, Majalah HAI semakin menjadi acuan bacaan saya yang waktu itu mulai belajar menjadi wartawan sekolah. Suatu ketika saya ditugasi menangani rubrik musik Mading Sekolah.
Dan saya membuat artikel artikel mingguan tentang musik genre alternatif seperti Silverchair, Green Day, dll yang sebenernya saya copas - edit -modif dari artikel artikel yang saya baca dari majalah HAI Ternyata tulisan2 saya di mading itu, banyak dibaca dan disuka kakak kakak senior saya yang lelaki . Sampai sampai saat SMA itu saya pernah dapat julukan "Ira Grunge" ...wkwkwk....
Saat menjadi wartawan sekolah ini saya mulai belajar melakukan liputan termasuk mewawancara artis bareng sobat saya Lia Wahab, lalu membuat reportase tulisan dengan mengikuti gaya tulisan2 di Majalah HAI. Dan dari sinilah saya semakin menemukan kesenangan dari hobi menulis.
Beranjak masuk kuliah di Jatinagor, saya mulai sering baca beragam majalah wanita muda yang bertebaran di pasaran saat itu, namun saya melupakan hobi menulis saya. Tapi saat lulus kuliah dan mulai bekerja sebagai wartawan TV, saya mulai sering tertarik baca Majalah Intisari yang memang isinya adalah lebih banyak tentang ilmu, pengetahuan dan artikel humanis.
Begitu terkesannya dengan Majalah Intisari yang hanya terbit bulanan, saya berpesan ke tukang koran langganan untuk segera sms saya di hari pertama majalah Intisari datang. Karena sering membaca majalah Intisari saya pun punya impian suatu saat tulisan saya bisa ada di Majalah Intisari.
Di tahun 2006, saya berkenalan dengan teman baru, seorang pemuda asal Prancis Ludovic Hubler, yang saat itu sedang berkeliling dunia dengan cara hitchhiking (nebeng transportasi orang lain).
Kisah perjalanan dan perjuangan Ludo yang bertahun tahun "hidup di jalanan" sungguh sangat memikat intelektualitas saya, hingga saya berniat untuk menuangkannya ke dalam sebuah suatu tulisan.
Dalam dua malam saya membuat tulisan tentang Ludo, dan mencoba mengirimkan. tulisan tersebut ke majalah Intisari. Dua minggu kemudian saya dihubungi Mas Cahyo Atau Tjahjo yang menjadi Editor Majalah Intisari saat itu yang mengabarkan naskah tulisan saya akan diterbitkan, dengan beberapa catatan yang harus saya revisi.
Betapa luapan rasa bahagia ketika tulisan pertama saya diterima oleh Majalah bergengsi sekelas Intisari. Begitupun saat edisi Majalah Intisari terbit dengan memuat tulisan pertama saya, saya beneran jingkrak jingkrak melihatnya.
Ya, tulisan saya di majalah Intisari itu adlah tulisan pertama saya yang dipublikasikan. Bagi banyak wartawan TV saat itu, mempunyai tulisan yang dipulblikasikan di media cetak nasional mungkin juga menjadi seperti "pencapaian" tersendiri.
Dan dari artikel pertama saya yang dimuat majalah Intisari berjudul "Keliling Dunia Bermodal Jempol" itu pula yang menjadi momentum bagi saya untuk mantap resign dari pekerjaan di dunia televisi di tahun 2007 untuk mengejar impian saya berikutnya yaitu menjadi Penulis.
Lima tahun sejak memutuskan kerja menjadi "freelancer", saya telah menghasilkan beberapa buku dari berbagai penerbit.. Di kurun waktu tahun 2007 - 2010, saya juga kadang kadang menjadi penulis artikel lepas di beberapa majalah terbitan Grup Kompas Gramedia, dari mulai Majalah Intisari hingga Mind Body Soul.
Tapi saya masih punya impian menghasilkan buku yang diterbitkan Penerbit Gramedia, yang memang menurut saya adalah grup penerbit buku nomer wahid di indonesia. Dan kesempatan itu datang di tahun 2012 saat saya menerbtikan buku ke 13 saya berjudul Normal is Boring yang ternyata bisa menjadi National Best Seller.
Naskah buku Normal is Boring itu sendiri sebenarnya sudah pernah ditolak berkali kali oleh berbagai penerbit lain. Hingga akhirnya naskah buku tersebut dibaca oleh mas J Dwi Helly Purnomo yang saat itu menjadi Editor senior di penerbit buku Gramedia, dan ia melihat potensi pada naskah buku tsb dan juga pada diri saya.
Dua tahun kemudian, saya juga menerbitkan buku berjudul Book "Do What You Love. Love What You Do" yang djuga diterbtikan oleh Penerbit Gramedia.
Terbitnya buku Normal is Boring dan Do What You Love Love What You Do menjadi momentum tersendiri utk saya sbg penulis karena dua buku tsb juga membawa saya kepada begitu banyak kesempatan dan petualangan baru.
Sejak tahun 2015, saya juga aktif menulis di blog Kompasiana yang juga merupakan bagian dari Grup Kompas Gramedia. tidak terhitung begitu banyak kesempatan, pengalaman, dan hal hal baik saya peroleh sejak menjadi blogger di Kompasiana hingga kini.
Sejak ABG hingga kini, berburu buku buku baru di Toko Buku Gramedia selalu menjadi kebahagiaan tersendiri . Dan di rumah saya, Harian Kompas menjadi satu satunya surat kabar terpercaya yang dibaca saya dan keluarga selama puluhan tahun, walaupun saat ini banyak surat kabar lain bertumbangan
Ternyata ada peran begitu besar dari Pak Jakoeb Oetama sebagai pendiri Grup Kompas, yang ikut "membentuk" kecintaan saya pada dunia literasi dari kecil hingga saat ini.
Tanpa jasa Pak Jakob yang mendirikan Grup Kompas Gramedia, saya tak mungkin mengenal Bobo, Kawanku, Hai, Intisari, dan begitu banyak warisan di dunia literasi yang ditinggalkannya. Juga karena peran Pak Jakob melalui karya karyanya , saya belajar untuk memperluas cakrawala, berimajinasi juga terus bermimpi.
Tentu saja, selain karya karya yang diwariskannya, begitu banyak cerita dan kisah tentang teladan kebaikannya semasa hidup. Bagaimana ia "memanusiakan" seluruh para karyawannya dan juga menanamkan nilai jurnalisme dengan hati nurani.
Dari layar Kompas TV saat mengantar kepergian Pak Jakob Oetama, ada dinyanyikan sebuah lagu yang ternyata adalah lagu kesukaan Pak Jakob semasa hidup dengan lirik liriknya yg sangat indah
"Hidup ini adalah kesempatan, Hidup ini untuk melayani Tuhan.
Jangan sia siakan waktu yang Tuhan beri, Hidup ini harus jadi Berkat.
Bila saatnya nanti ku tak berdaya lagi, Hidup ini sudah jadi Berkat"
Sungguh Pak Jakob Oetama, semasa hidupnya telah dan sudah menjadi berkat dan menebar berkat bagi begitu banyak orang.
Di ujung perjalanan kita, , hidup ini memang adalah hanya sepenggal cerita. Cerita tentang yang ditinggalkan dan yang meninggalkan. Dan kepergian Pak Jakob Oetama, begitu banyak meninggalkan cerita cerita yang luar biasa indah.
Selamat Jalan Pak Jakob atas jasa jasa yang begitu besar bagi hidup saya, terima kasih hidup bapak telah menjadi berkat bagi saya dan juga bagi hidup banyak orang.
Tenang tenanglah engkau kini dalam surga yang terindah, karena kepergianmu sungguh meninggalkan kenangan sangat indah di benak banyak orang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H