"Siapa yang dapat mengetahui pikiran kita, yang kita bagi menjadi mitologi-mitologi kecil kita sendiri? Pikiran, citra, dan gambaran kita terbang dengan bebas. Kuncup hati kita tak dapat digoyahkan oleh apa pun.
      Dunia kecil kita meluas dengan bertambahnya tempat dan orang-orang baru. Ketika kita mengatakan "Aku", kita mengacu pada sesuatu yang sangat unik, berbeda dari orang lain." (hal. 236)
      Shabira tiba di bab tujuh, buku bersampul putih berisikan 471 halaman yang tulisannya kecil-kecil. Saat kuliah dulu, tugas me-review Life Span Development hanya dikerjakannya sekilas --otomatis membacanya tentu juga sekilas. John W. Santrock, nama sang penulis bahkan baru ia dengar di semester pertama, saat kelas mata kuliah Perkembangan Peserta Didik yang menurutnya lumayan sulit alih-alih menarik.
      Jadi malam ini, setelah empat tahun menjalani perkuliahan PGSD yang tak benar-benar dinikmatinya, ia baru membaca kembali Life Span Development dengan 'sedikit' kesungguhan. Atau lebih tepatnya, karena kini Shabira bosan dan tak punya buku bacaan lagi selain buku ini.
       Dia bokek, mana punya uang buat beli buku baru?
      "... Ketika kita mengatakan "Aku", kita mengacu pada sesuatu yang sangat unik, berbeda dari orang lain."
      Shabira tertegun di bagian itu, kalimat pembuka di awal bab tujuh tersebut seolah menamparnya. Meski juga sedikit memberi penghiburan bahwa dirinya normal untuk berbeda. Unik. Walau bagaimana pun, ia menyadari bahwa kadang penyebutan kata 'unik' alih-alih 'berbeda' terasa lebih manusiawi.
      Unik berarti kau autentik.
      Berbeda kerap berarti kau terpinggirkan dari dunia.
      Shabira menganggap dirinya berbeda. Aneh. Pada satu waktu ia akan berbicara panjang lebar dengan tempo yang cepat sekali, lalu ketika lawan bicaranya meresponnya dengan tatapan bingung, mendadak ia menjadi seseorang yang bahkan seperti tak mengenal kosa kata. Shabira diam seperti patung dan berhari-hari setelahnya akan hilang minat untuk bicara. Lalu ketika ada yang membuat hatinya senang---memuji tulisan atau gambar kreasinya indah, ia akan begitu bergairah dan kembali berbicara dengan semangat menggebu-gebu seakan-akan tak ada kejadian apa pun kemarin.
      Gadis itu tahu ia dianggap aneh oleh teman-temannya karena suasana hatinya yang sesaat seperti air beriak dan berisik, lalu sesaat kemudian menjelma air danau yang begitu 'diam'.
      Shabira tak pernah punya tujuan yang jelas. Ketika ditanyai apa cita-citanya, dia akan bilang cita-citanya ada banyak sekali. Penulis, ilustrator, penerjemah, psikolog, dokter, dan programmer.
      Dia tak berjalan seperti pada umumnya orang lain berjalan. Dia benci sekali pada persimpangan yang mengharuskannya hanya memilih satu.
      Shabira ingin seluruh cita-citanya bisa ia raih. Dan unik, bukan, ketika kau mendengar seseorang yang ingin jadi programmer, namun ingin juga jadi dokter, lantas justru mengambil jurusan PGSD karena asumsinya jurusan itu akan memberinya pengetahuan pada banyak bidang ilmu?
      Usai SMA, Shabira ceroboh memutuskan. Dan kerap begitu pada banyak pengambilan keputusan.
      "Dijalani aja, lagi. Satu per satu. Jangan dibawa stres," kata Bayu, sahabatnya sejak SMA.
      Kata-kata andalan itu sudah teramat dihafal oleh Shabira. Bayu sering mengulangnya seolah Shabira budek dan pelupa. Sejak hari-hari mereka di SMA hingga keduanya telah menuntaskan S1-nya.
      "Kata-kata 'jangan dibawa stres' itu malah nambahin stres tau, ini aku lagi pusing banget mau nyari kerja gimana. Kayaknya kalau jadi guru SD aku enggak bisa sabar dan hangat ke murid-murid, deh. Kamu tau, kan, punya bi..."
      "Punya bi ... polar bikin hidup kamu tersiksa, iya, kan?" Bayu menyela perkataan Shabira dari seberang sana sebelum jadi keluhan super panjang. "Punya bipolar bikin kamu sulit melakukan hal-hal yang berhubungan dengan orang lain yang enggak membuatmu nyaman karena kamu juga sulit mengontrol emosi dan mood kamu sendiri. Lalu gimana caranya ngajar anak SD dengan ceria sementara buat nenangin diri kamu aja kamu kewalahan. Lalu kamu bakal bilang kamu impulsif karena ngambil keputusan yang salah dan selalu setengah-setengah,"
      "Hadeh, Bayu, kamu nge-judge aja, kalimat-kalimat kamu rasanya enggak ada empatinya sama sekali," Kalau yang mengatakan semua itu bukan Bayu, dijamin Shabira akan langsung mematikan sambungan telepon dan memblokir semua kontak serta akun media sosialnya. Tapi ujaran panjang sekali itu datang dari seseorang yang menemaninya ujian-ujian susulan ketika SMA. Tiba-tiba dia teringat, satu-satunya siswa yang peduli padanya, yang tanpa ba-bi-bu segera membelikan makan siang saat dirinya sakit, adalah Bayu. Keterangan kehadirannya di rapor pernah menujukkan angka 46 hari karena absen sakit. Selama itu, selama masa pemulihan dan rawat jalan setelah sebelumnya rawat inap di rumah sakit karena bipolar, handphone Shabira penuh dengan notifikasi chat "Apalagi yang bisa kubantu?" dari pemuda itu.
      Lamunan sejenak Shabira buyar ketika di seberang sana Bayu kembali  bicara.
      "Eh, sebelumnya maaf, tapi aku masih pengen kamu tahu satu hal, deh. Bukan sekarang, tapi kita ketemu, yuk. Taman Singha Merjosari, Sabtu sore. Kamu masih Shabira yang suka baca, kan? Besok bawa buku yang terakhir kamu baca, aku juga bakal bawa buku yang terakhir aku baca,"
      "Enggak usah bingung dan tanya kenapa. Kamu tau, kan, Bayu adalah manusia baik hati yang beruntungnya plus misterius, hahaha."
      Entah apa yang ada di pikiran Bayu yang sok-sokan misterius. "Pasti maksudnya mau ngajak baca buku di taman, kan?" Shabira membatin.
      Membaca buku begitu disukainya, tapi masa iya dia bakal bawa Life Span Development, buku teks tentang perkembangan hidup manusia sejak lahir hingga dewasa? Apa ini tak menjadikannya lebih pening dan aneh?
      Sabtu siang Bayu mengirim pesan, memastikan Shabira akan datang sore nanti. Gadis itu menjawab singkat, "Iya datang, tunggu aja."
      Dua jam setelahnya Shabira tiba di taman. Ia duduk di salah satu gazebo, memandangi orang-orang sedang duduk-duduk melepas penat. Di taman ini terdapat pula fasilitas kebugaran dan playground dengan hamparan bak pasir yang terbuka untuk umum. Dua anak kecil yang sepertinya kakak beradik sedang bermain di bak pasir dan terlihat gembira sekali, "Ah, aku ingin kembali jadi anak kecil." batin Shabira sambil menengok sekeliling karena Bayu tak kunjung nampak batang hidungnya.
      Maka Shabira beranjak dari gazebo, berjalan-jalan pelan di taman sambil memantau kalau-kalau ia menemukan Bayu. Ia tiba di samping area bundaran yang luas dan berumput pendek-rapi lantas berhenti sejenak. Bundaran itu dipenuhi sembilan orang muda-mudi --sepertinya, yang terlihat sedang menyiapkan sebuah acara kecil-kecilan.
      Shabira mengamati lebih dekat dan betapa terkejutnya ketika seseorang di sana melambai padanya dan berteriak, "Shabira, sini, mau book date, kan, bareng aku?"
      Astaga Bayu!
      Gadis itu lalu berjalan mendekat dengan kikuk sambil berusaha menahan pipinya untuk tidak bersemu merah sebab si anak muda usil itu menyebutkan 'book date'. Ah, book ... date?
      Jadi dia mengajak aku kencan, kah? Ya ampun, kini Shabira tidak bisa menguasai hati dan degup jantungnya mengingat gadis itu juga punya perasaan yang lebih-dari-sekadar-teman terhadap Bayu.
      Tapi ternyata ini bukan kencan buku berdua, melainkan bersepuluh. Shabira sedikit kecewa sambil mengikuti sesi silent reading selama satu jam. Dibacanya lanjutan bab tujuh buku teksnya dengan malas. Ujung mata Shabira sibuk melirik Bayu yang duduk di hadapannya, dan menyebalkannya lagi tempatnya duduk diapit oleh dua perempuan. Diam-diam Shabira mengamati cover buku Bayu, Kupikir Segalanya Akan Beres Saat Aku Dewasa, Kim Hae N-na ...
      "Oke, teman-teman, sudah satu jam, sekarang kita masuk sharing session, ya. Kita menceritakan dan diskusi tentang buku yang dibaca masing-masing," kata pemuda yang sepertinya adalah ketua acara ini.
      "Silakan, giliran pertama untuk Finita," Shabira tak mengenal siapa pun di acara ini selain Bayu hingga seorang perempuan cantik dengan rambut dikuncir satu ke belakang memulai bicara. Ia menjelaskan dengan lugas dan lancar isi novel Botchan karya Natsume Soseki. Benar-benar memukau, saat ia begitu hafal nama tokoh-tokohnya dan dengan terampil mengisahkan kritik tersirat tentang sistem pendidikan suatu sekolah di Matsuyama, kota terpencil di Pulau Shikoku.
      Setelah lima orang sudah dapat giliran bercerita---yang berarti acara sore ini usai, Bayu mengajak Shabira pulang bersama.
      "Seru, kan, acaranya? Sayang, aku belum dapat giliran. Kamu juga. Mungkin giliran kita pekan depan. Buku yang kubawa berkisah tentang para penyintas mental illness, salah duanya tokoh dengan depresi dan bipolar. Aku keinget kamu pas baca bukunya. Kamu bisa tetap jadi orang baik dan hebat, Ra, walau kamu punya bipolar. Tulisan dan gambar-gambar kamu indah, kamu bisa berkarya jadi penulis sekaligus ilustrator untuk buku kamu sendiri kalau kamu takut buat jadi guru SD,"
      "Btw, tadi Finita keren banget, ya, gimana menurutmu kalau pertemuan besok aku nembak dia?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H