"Oke, teman-teman, sudah satu jam, sekarang kita masuk sharing session, ya. Kita menceritakan dan diskusi tentang buku yang dibaca masing-masing," kata pemuda yang sepertinya adalah ketua acara ini.
      "Silakan, giliran pertama untuk Finita," Shabira tak mengenal siapa pun di acara ini selain Bayu hingga seorang perempuan cantik dengan rambut dikuncir satu ke belakang memulai bicara. Ia menjelaskan dengan lugas dan lancar isi novel Botchan karya Natsume Soseki. Benar-benar memukau, saat ia begitu hafal nama tokoh-tokohnya dan dengan terampil mengisahkan kritik tersirat tentang sistem pendidikan suatu sekolah di Matsuyama, kota terpencil di Pulau Shikoku.
      Setelah lima orang sudah dapat giliran bercerita---yang berarti acara sore ini usai, Bayu mengajak Shabira pulang bersama.
      "Seru, kan, acaranya? Sayang, aku belum dapat giliran. Kamu juga. Mungkin giliran kita pekan depan. Buku yang kubawa berkisah tentang para penyintas mental illness, salah duanya tokoh dengan depresi dan bipolar. Aku keinget kamu pas baca bukunya. Kamu bisa tetap jadi orang baik dan hebat, Ra, walau kamu punya bipolar. Tulisan dan gambar-gambar kamu indah, kamu bisa berkarya jadi penulis sekaligus ilustrator untuk buku kamu sendiri kalau kamu takut buat jadi guru SD,"
      "Btw, tadi Finita keren banget, ya, gimana menurutmu kalau pertemuan besok aku nembak dia?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H