Shabira tak pernah punya tujuan yang jelas. Ketika ditanyai apa cita-citanya, dia akan bilang cita-citanya ada banyak sekali. Penulis, ilustrator, penerjemah, psikolog, dokter, dan programmer.
      Dia tak berjalan seperti pada umumnya orang lain berjalan. Dia benci sekali pada persimpangan yang mengharuskannya hanya memilih satu.
      Shabira ingin seluruh cita-citanya bisa ia raih. Dan unik, bukan, ketika kau mendengar seseorang yang ingin jadi programmer, namun ingin juga jadi dokter, lantas justru mengambil jurusan PGSD karena asumsinya jurusan itu akan memberinya pengetahuan pada banyak bidang ilmu?
      Usai SMA, Shabira ceroboh memutuskan. Dan kerap begitu pada banyak pengambilan keputusan.
      "Dijalani aja, lagi. Satu per satu. Jangan dibawa stres," kata Bayu, sahabatnya sejak SMA.
      Kata-kata andalan itu sudah teramat dihafal oleh Shabira. Bayu sering mengulangnya seolah Shabira budek dan pelupa. Sejak hari-hari mereka di SMA hingga keduanya telah menuntaskan S1-nya.
      "Kata-kata 'jangan dibawa stres' itu malah nambahin stres tau, ini aku lagi pusing banget mau nyari kerja gimana. Kayaknya kalau jadi guru SD aku enggak bisa sabar dan hangat ke murid-murid, deh. Kamu tau, kan, punya bi..."
      "Punya bi ... polar bikin hidup kamu tersiksa, iya, kan?" Bayu menyela perkataan Shabira dari seberang sana sebelum jadi keluhan super panjang. "Punya bipolar bikin kamu sulit melakukan hal-hal yang berhubungan dengan orang lain yang enggak membuatmu nyaman karena kamu juga sulit mengontrol emosi dan mood kamu sendiri. Lalu gimana caranya ngajar anak SD dengan ceria sementara buat nenangin diri kamu aja kamu kewalahan. Lalu kamu bakal bilang kamu impulsif karena ngambil keputusan yang salah dan selalu setengah-setengah,"
      "Hadeh, Bayu, kamu nge-judge aja, kalimat-kalimat kamu rasanya enggak ada empatinya sama sekali," Kalau yang mengatakan semua itu bukan Bayu, dijamin Shabira akan langsung mematikan sambungan telepon dan memblokir semua kontak serta akun media sosialnya. Tapi ujaran panjang sekali itu datang dari seseorang yang menemaninya ujian-ujian susulan ketika SMA. Tiba-tiba dia teringat, satu-satunya siswa yang peduli padanya, yang tanpa ba-bi-bu segera membelikan makan siang saat dirinya sakit, adalah Bayu. Keterangan kehadirannya di rapor pernah menujukkan angka 46 hari karena absen sakit. Selama itu, selama masa pemulihan dan rawat jalan setelah sebelumnya rawat inap di rumah sakit karena bipolar, handphone Shabira penuh dengan notifikasi chat "Apalagi yang bisa kubantu?" dari pemuda itu.
      Lamunan sejenak Shabira buyar ketika di seberang sana Bayu kembali  bicara.
      "Eh, sebelumnya maaf, tapi aku masih pengen kamu tahu satu hal, deh. Bukan sekarang, tapi kita ketemu, yuk. Taman Singha Merjosari, Sabtu sore. Kamu masih Shabira yang suka baca, kan? Besok bawa buku yang terakhir kamu baca, aku juga bakal bawa buku yang terakhir aku baca,"