Pendahuluan
Pertama kalinya sejak pemerintah Indonesia mengumumkan kasus Covid-19 pada 2 Maret 2020, banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat. Kehadiran pandemi Covid-19 tampaknya mempercepat disrupsi. Dahulu, masyarakat selalu dapat memilih berubah atau tidak dan dengan adanya pandemi, masyarakat harus menerima disrupsi, bahkan sekarang gerakannya menjadi lebih agresif. Dengan kata lai, jika anda ingin mempertahankan kesinambungan dalam hidup, seseorang harus melakukan perubahan. Perubahan tatanan sosial, misalnya kerja bisa dimana saja, perkembangan era data besar dari berbagai sumber mendorong perubahan ekonomi dan politik, trend informasi menjadi lebih cepat memberikan akses tidak terbatas, sehingga dalam suatu negara tidak ada batas, tidak ada lagi keterasingan dari daerah yang bisa mengubah budaya. Disrupsi melahirkan model interaksi baru yang lebih inovatif dan masif (Bashori, 2018). Oleh sebab itu, disrupsi ini memberikan dua pilihan penting yang dapat menentukan masa depan yaitu berubah atau punah (Hasan, 2021).
Istilah disrupsi pertama kali dikenal tahun 1995 dan dikemukakan oleh Clayton Cristensen keduanya menerbitkan artikel "Disruptive Technologies" (Clayton, 1997). Artikelnya membahas persaiangan dalam dunia bisnis. Sebagai pencetus teori disrupsi, Clayton ingin memastikan bahwa sistem, institusi, paradigma dan model perusahaan akan terus berubah bentuk dari bentuk yang lama karena bentuk yang barulebih menjanjikan dan memberikan efektivitas, efisiensi dan akurasi. Disrupsi tidak hanya dialami oleh sektor bisnis atau ekonomi, sektor-sektor lain pun perlahan mengalami hal yang sama termasuk dalam politik (Majid, 2020).
Menghadapi era dirupsi yang terjadi saat ini, banyak masalah muncul dibidang politik negara ini. Disrupsi merupakan suatu kondisi di mana terjadinya suatu perubahan secara mendasar yang dapat memunculkan perubahan ya baru. Menurut Rhenald Kasali, Disrupsi dimaknai sebagai sebuah inovasi. Disrupsi mengatasi teknologi lama diciptakan oleh semua fisika dengan teknologi digital menciptakan sesuatu yang lebih modern, efektif dan bermanfaat. Seperti munculnya partai-partai baru yang menghiasi demokrasi dan menambah keberadaan politik yang melekat pada kepribadian politik negara. Adapun istilah disrupsi dalam pemilu merupakan masuknya kecanggihan teknologi dalam dunia pemilu (Bawaslu.go.id, 2019). Menurut Teori Historical Situation, Munculnya partai-partai politik baru merupakan upaya suatu sistem politik untuk mengatasi krisis yang disebabkan oleh transformasi seluruh lapisan masyarakat. Krisis yang dimaksud adalah ketika sistem politik mengalami transisi akibat perubahan masyarakat dari masyarakat dengan struktur tradisional dan sederhana menjadi masyarakat modern yang kompleks.
Kehadiran partai-partai baru kembali berkembang di Indonesia yang akan mengikuti pemilihan umum pada tahun 2024. Terdapat enam partai politik baru yang akan ikut serta dalam pemilihan yang akan diselenggarakan pada tahun 2024, diantaranya adalah Partai Kebangkitan Nasional (PKN), Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), Partai Ummat, Partai Pelita, Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) dan Partai Rakyat sebagai pendatang baru, partai-partai tersebut memiliki strategi maupun pendekatan secara mandiri agar dapat menarik perhatian masyarakat pada saat yang sama mulai berubah dengan tujuan untuk menghilangkan frustasi dan frustasi masyarakat terhadap partai politik yang dipandang korup dan manipulatif. Dengan begitu, partai-partai mudah meraih suara dan kepercayaan massa, tapi tanpa strategi yang tepat, partai-partai hanya akan menjadi proxy dalam pemilu.
Partai baru dapat memenangkan pemilih yang menginginkan sesuatu yang baru di partainya, dan tantangan yang dihadapi partai baru adalah kepemimpinan, yaitu kurangnya orang-orang yang populer dan cakap, kepribadian yang kuat dan membumi, mereka harus mengandalkan kekuatan seperti program partai. Terkait tantangan parpol baru, pada Pileg 2019, empat partai baru, yakni Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Berkarya, Partai Persatuan Indonesia (Perindo), dan Partai Berkarya gagal menunjukkan kualitas. Partai baru tidak bisa bersaing dengan partai lama berdasarkan angka yang diberikan.
Sejak 1995 teori Disrupsi muncul, Pada tahun 2019 sudah 24 tahun sejak era disrupsi, namun fenomena disrupsi belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh parpol baru di Pileg 2019, sehingga strategi politik dinilai kurang optimal. Kesempatan untuk menggunakan media massa atau media sosial sebagai bentuk pelecehan memang bisa menjadi strategi ekspresi diri, namun partai baru cenderung kurang memiliki figur berpengaruh dan karisma yang kuat untuk dapat menarik persetujuan publik. Oleh karena itu, penulis bertujuan untuk membahas politik di Era Disrupsi, mengkaji tantangan dan peluang munculnya partai politik baru yang dihadapi di Era Disrupsi dengan menggunakan teknologi informasi untuk menghadapi persaingan sebelumnya.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah literature review untuk mengumpulkan data. Teknik pengumpulan data menggunakan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan masalah yang diteliti (Sugiyono, 2019). Tinjauan Pustaka adalah subjek penelitian yang diambil dari sejumlah dokumen atau bahan pustaka seperti buku, jurnal ilmiah dan dokumen pendukung penelitian. Penulis menggunakan studi sebelumnya yang relevan dengan artikel ini untuk mengkaji secara kritis apa yang diketahui tentang ide dan temuan ilmiah yang diambil dari berbagai publikasi terkait dengan munculnya partai-partai politik baru yang memanfaatkan masa-masa sulit. Analisis data menggunakan metode critical appraisal yaitu suatu proses analisis penilaian yang melandasi teori dan konsep yang berkaitan dengan persamaan, perbedaan dan kekurangan penilaian yang digunakan sebagai bahan penulisan artikel ini. Selama proses ini, jurnal ditinjau untuk pilih jurnal yang relevan dengan topik, kemudian dianalisis dengan metode critical appraisal untuk mencantumkan penulis jurnal dan tahun publikasi.
Hasil dan PembahasanÂ
Munculnya Partai-partai Baru Jelang Pemilu 2024
Menjelang pemilihan umum (pemilu) 2024, sejumlah partai politik sedang melakukan persiapan dan strategi sebagai bentuk persiapan untuk mengikuti pemilu. Tidak hanya dipimpin oleh partai-partai mapan dan mapan seperti PDI-Perjuangan, Golkar atau Partai Demokrat, beberapa partai baru bermunculan untuk memperebutkan kursi panas pada pemilu tahun 2024 mendatang. Keputusan KPU RI Nomor 21 Tahun 2022 Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan tanggal pemungutan suara Pemilu 2024 pada 14 Februari 2024.
Dilansir dari tempo.co (2022) memaparkan sejumlah enam partai politik baru yang telah mendapatkan SK pengesahan badan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM dan siap bertarung di pemilu. Setiap partai politik baru telah menyiapkan strategi politiknya masing-masing, yang tidak lepas dari kekuatan para pendiri dari berbagai latar belakang.
Tantangan besar bagi partai-partai baru dalam pemilu adalah harus berhadapan dengan partai-partai lama yang kerap bertahan dalam pemilu, terbukti dengan keberhasilannya merebut kursi parlemen. Untuk mempersiapkan pertarungan pemilu ini, partai politik harus mencari individu-individu terbaik dengan seleksi kader yang selektif dan transparan. Dalam proses pemilihan caleg, partai politik harus terbuka tentang syarat dan tata cara yang ditentukan secara internal oleh partai politik, yang berguna bagi masyarakat untuk menilai secara langsung potensi daya caleg yang diajukan oleh parpol (Sintani et al. al., 2020). Demokrasi membutuhkan partai politik. Demokrasi modern tidak akan lepas dari bayang-bayang partai politik, karena dalam sistem pemerintahan demokrasi partai politik berperan penting dalam mendorong dan meningkatkan partisipasi aktif warga negara ke dalam ranah politik dan dalam pemilihan pejabat publik (White, 2006 dalam Hanafi, 2018).
Munculnya partai politik baru menimbulkan keresahan yang sangat berpengaruh terhadap tatanan kehidupan politik saat ini. Di sisi lain, parpol pendatang bisa menjadi bumerang bagi masyarakat Indonesia jika jumlah parpol terlalu banyak, yang menandakan gagalnya penyederhanaan jumlah pencalonan pemilu. Seperti diketahui, banyaknya partai politik peserta pemilu sangat mempengaruhi kualitas pemilu sehingga menyulitkan pemilih untuk menentukan pilihan. Secara politis, hal ini akan semakin memperumit perpolitikan nasional, karena jumlah partai politik yang besar menimbulkan masalah teknis dan muatan elektoral yang kompleks.
Partai politik baru yang akan muncul pada pemilihan umum tahun 2024 mendatang pada dasarnya sesuai dengan karakteristik masyarakat Indonesia, karena pada umumnya Indonesia adalah masyarakat yang sangat beragam, mencakup berbagai latar belakang yang berbeda dalam hal bahasa, suku, agama, dan adat istiadat. Keberagaman masyarakat Indonesia menjadi salah satu alasan utama keinginan penyederhanaan jumlah partai politik. Melihat struktur masyarakat Indonesia yang tidak memiliki kesamaan mendasar antara masing-masing golongan, berarti masyarakat tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda (Ramadhan, 2019). Hal ini terjadi karena semakin kecilnya forum masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan/atau keinginan melalui kelompok-kelompok yang memiliki tujuan dan pemikiran yang sama (Rudianto, 2012).
Tantangan Partai politik Baru Menjelang Pemilu 2024
Kehadiran partai baru dalam pemilu 2024 mendatang kemungkinan akan menjadi tahun kerawanan politik. Tahun 2024 akan menjadi perayaan demokrasi yang berpeluang menimbulkan perpecahan di dalam partai politik, terutama di dalam koalisi elit, sekalipun orang dalam tidak menggunakan sistem demokrasi dalam pemilu partai politik. Pemekaran yang terjadi saat ini mirip dengan perpecahan antara Partai Golkar dan PPP yang berujung pada manajemen kembar. Sejarah menunjukkan bahwa fenomena perpecahan bukanlah hal baru di partai politik, sudah terjadi di banyak partai sejak awal reformasi. Ketika ada faksi-faksi di dalam partai, maka akan menimbulkan perselisihan satu sama lain, dan efeknya adalah pengkhianatan di dalam partai, bahkan di antara kader partai atau antara penanggung jawab dan elit partai di dalam elit partai.
Adanya perbedaan dan konflik internal di dalam partai politik mendorong anggota keluar dan memilih menentang, kemudian membentuk partai baru. Grup terpisah menyorot jenis grup catch-all. Partai bergantung pada jumlah individu, sehingga perkembangan organisasi partai politik melibatkan perselisihan partai politik mana yang memiliki pengaruh. Konflik internal partai politik meliputi faktor-faktor yang dipengaruhi oleh kekuatan individu yang berperan penting sebagai penggerak partai politik. Personalisasi partai politik ini secara tidak langsung telah menyesuaikan pengelolaan partai politik ke arah tradisional. Kekuasaan ketua partai politik sangat menentukan bentuk dan isi pemerintahannya. Contoh ilustrasi dari fenomena ini adalah ketika Jusuf Kalla menjadi presiden partai Golkar, dan sebagian besar kerabatnya menduduki posisi strategis di dalam partai.
Menurut teori konflik Dean G. Pruitt & Jeffrey Z. Rubin, yang menjelaskan proses dan urutan peristiwa yang dapat membawa individu, kelompok dan komunitas ke dalam konflik yang mengarah pada eskalasi. Konflik sering meningkat, yang merupakan hasil dari spiral konflik. Masing-masing pihak cenderung semakin terlibat dalam konflik dan dapat menggunakan semua sumber daya yang dibutuhkan untuk menang. Ketika konflik meningkat, isu-isu spesifik cenderung berubah menjadi masalah umum. Hubungan antara kedua belah pihak umumnya memburuk dan memburuk secara signifikan. Beberapa pihak melakukan apa yang menjadi kepentingan terbaik mereka, terlepas dari hasil baik atau buruk dari uang yang diperoleh pihak lain (Pruitt & Rubin, 2004).
Pihak yang mengalami konflik berkepanjangan tidak akan mampu mempertahankan nilai-nilai yang kuat di dalamnya. Nilai disini berarti tujuan dasar atau ideologi partai sebagai sebuah organisasi, bukan hanya tujuan individu, kelompok atau fraksi (Surbakti, 2010). Konflik dalam partai politik dapat melahirkan generasi baru pimpinan partai politik dan mendorong restrukturisasi partai politik. Konflik intrapartai akan memicu munculnya faksi-faksi alternatif yang bertujuan untuk membangun kembali dan mematahkan dominasi beberapa elit partai politik. Untuk meredam konflik, partai akan mencari keseimbangan baru, baik melalui diskusi atau musyawarah di pengadilan partai. Hasil damai dari konflik semacam itu sering mengarah pada pemilihan pemimpin baru yang akan menemukan titik temu untuk menyelesaikan pihak yang berkonflik. Selain itu juga mendorong inovasi dalam sistem kepengurusan partai politik (Budiatri, 2017). Â
Pihak yang mengalami konflik berkepanjangan tidak mampu membayar. Efek lain dari perselisihan internal partai adalah penghentian perekrutan dan pembangunan kembali serta reinkarnasi anggota partai politik. Ketika terjadi konflik internal, pemekaran organisasi partai politik tidak hanya di tingkat kepengurusan nasional tetapi juga di tingkat daerah. Alih-alih berfokus pada perekrutan dan pelatihan ulang, partai secara efektif memecat dan memecat anggota elit politik yang berkuasa yang dianggap memberontak. Perpecahan dalam struktur pemerintahan yang runtuh juga membuat parpol sulit melakukan rekrutmen politik, terutama dalam konteks pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang akan datang (Budiatri, 2017).
Selain konflik antar partai, perpecahan partai politik tentu akan menjadi tantangan besar. Kehancuran itu akan membelokkan peran partai politik dan wakil rakyat. Mempertimbangkan kasus di Jakarta, Gubernur Anies Baswedan meluncurkan aplikasi "JaKi (Jakarta Kini)" pada Januari 2020. Jaki memperkenalkan fitur untuk menanggapi keluhan warga tentang masalah di Jakarta, yang ditanggapi oleh sistem manajemen kasus Hubungan Masyarakat (CRM) antara Januari hingga Maret 2021, terdapat 6.114 pengaduan dan 98,41% diselesaikan dalam waktu kurang dari tiga hari. Partai politik yang dulunya dianggap sebagai tulang punggung demokrasi, kini seolah hilang karena perubahan dunia, hingga kini kehendak publik dikuasai oleh partai politik, namun revolusi Digitalisasi telah menghilangkan peran partai politik, rakyat dapat menyampaikan pendapatnya secara langsung. aspirasi di jejaring sosial atau aplikasi tertentu.
Disrupsi ruang digital bisa menjadi tantangan sekaligus kekuatan, secara teoritis bagi partai politik untuk menjembatani aspirasi masyarakat, mempertemukan kepentingan publik, fungsi-fungsi tersebut lebih banyak dikuasai oleh para taipan. Hal ini perlu diantisipasi dan dikaji, partai politik perlu merespon tren demokratisasi dan disrupsi digital. Partai politik ke depan tidak bisa lagi bertindak atas nama rakyat atau kelompok tertentu tanpa komunikasi terlebih dahulu, dan partai politik juga tidak bisa mengklaim sebagai penampung kehendak massa jika proses komunikasi dan pertanggungjawaban dengan rakyat belum dilakukan. lengkap. Dengan terobosan ruang digital, membuat proses komunikasi dengan menghadirkan beragam platform dan aplikasi, baik secara teknologi maupun aspirasi masyarakat dapat terukur dan terpantau dengan jelas. Disrupsi harus menjadi kekuatan tekanan baru, bukan tantangan atau bahkan pengalihan peran partai politik.
Penulis melihat enam partai politik baru yang akan bertarung pada pemilu 2024 dengan isu perubahan dan modernisasi dunia. Pertama, Partai Kebangkitan Nusantara akan membangun negara sesuai dengan kemajuan zaman. Kedua, Partai Gelora bertujuan untuk melahirkan pemimpin yang akan menjadikan Indonesia sebagai salah satu dari lima besar kekuatan dunia. Ketiga, pesta ummat sangat terbuka untuk semua orang, terutama kaum milenial. Keempat, Partai Prima adalah partai kerakyatan dan fokus pada perubahan dan kesejahteraan rakyat. Kelima, Partai Rakyat akan berkontribusi menjadikan Indonesia sebagai negara maju dan masuk dalam daftar nominasi empat negara maju di dunia. Keenam, Parti Pelita adalah partai yang berlandaskan Pancasila dan menjunjung tinggi peran pemuda dan perempuan. Dari segi kesamaan visi dan misi parpol baru yaitu dari segi konsep pemekaran itu sendiri merupakan kompetisi dengan parpol baru untuk menguasai suara rakyat pada pemilu pemilu 2024 mendatang, tidak hanya tujuan, visi dan misinya, enam parpol harus mampu mengelola disrupsi dengan menciptakan inovasi yang melayani masyarakat.
Disrupsi Sebagai Peluang Bagi Partai Politik Baru
Dalam menghadapi pertikaian politik, merumuskan strategi politik menjadi kunci penting bagi partai politik, mengingat masyarakat terus mengalami perubahan perilaku politiknya. Era Disrupsi memiliki pengaruh besar terhadap perilaku politik masyarakat karena kondisi lingkungan dan waktu (Tinov & Handoko, 2016). Disruption mengubah pola perilaku masyarakat menjadi pola perilaku serba digital, terutama di era new normal. Pola perilaku masyarakat telah berubah dari cara tradisional dan konvensional menjadi digitalisasi di dunia maya. Bagi yang belum siap menghadapi era disrupsi, akan menghadirkan banyak kejutan dan banyak peluang. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa dinamika politik lokal, regional, nasional dan internasional menjadi terlalu mudah dan murah untuk dicapai. Era ini menandai dimulainya demokratisasi ilmu politik, yang memungkinkan siapa saja mengakses dunia dengan teknologi secara lebih efisien dan efektif (Bashori dalam Hasan, 2021).
The Age of Disruption mendukung digitalisasi di segala bidang kehidupan, terutama sistem politik, dan pada akhirnya melahirkan banyak inovasi digital. Munculnya digitalisasi dalam sistem politik telah menginspirasi banyak aplikasi digital yang inovatif. pengenalan aplikasi serupa di bidang politik. Dalam pandangan Muhyiddin (2020), salah satu dampak dari disrupsi adalah dunia semakin mengecil karena arus teknologi dan informasi bergerak cepat di mana-mana di dunia. Artinya, perkembangan teknologi informasi telah sepenuhnya mengubah struktur sosiologis kehidupan (Ohoitimur, 2018). Hal ini membuka peluang bagi partai politik baru untuk memobilisasi massa karena kampanye digantikan dengan pendidikan politik melalui media sosial. Tidak hanya lebih murah, tetapi juga cakupannya lebih luas dan seragam. Kini, semua orang dapat menikmati Massive Open Online Course (MOOC), sebuah bentuk pembelajaran online inovatif yang dirancang terbuka, terhubung melalui jaringan satu sama lain. Bukan hanya institusi politik yang bisa belajar politik. Ada banyak sumber pendidikan yang berkaitan dengan pengetahuan politik, menggunakan teknologi (Warburn, C., & Covert, 2017).
Munculnya partai politik baru di era disrupsi memaksa partai politik menyesuaikan strategi branding politiknya dengan perkembangan zaman. Partai politik harus memanfaatkan ruang siber secara luas sebagai ajang unjuk gigi partai melalui media sosial. Hal ini dapat menyebabkan perang media sosial antar partai politik, situs media sosial yang berbeda pasti akan memanas dan bergejolak. Pasalnya, media sosial di masa yang penuh gejolak saat ini mulai dimanfaatkan oleh para elite, khususnya partai politik, sebagai sarana komunikasi politik. Informasi bergerak sangat cepat, sehingga memudahkan masyarakat menyerap informasi politik. Kemudahan akses informasi membuat preferensi politik masyarakat dipengaruhi oleh sosial dan media massa yang diminati oleh masing-masing individu. Jejaring sosial selalu dijadikan arena kampanye politik dan branding partai politik dan kandidat (Hasanuddin et al., 2021). Sejak Pemilu 2014 hingga 2019, media selalu berperan penting dalam mengubah perilaku politik dan meningkatkan partisipasi publik. Dibantu dengan adanya pandemi Covid19 yang masuk ke Indonesia, pemerintah menerapkan aturan social dan physical distancing, sekaligus melarang masyarakat untuk beraktivitas di tempat umum. Hal ini menyebabkan aktivitas masyarakat beralih ke media online (media sosial), sehingga pengguna media sosial terus meningkat dari tahun 2014 hingga tahun 2022.
Menurut data dari We Are Social, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai angka tertinggi setiap tahunnya. Tingkat pertumbuhannya berfluktuasi dari tahun 2014 hingga 2022. Jumlah pengguna jejaring sosial meningkat paling tinggi, mencapai 34,2% pada tahun 2017. Namun melambat menjadi 6,3% pada tahun 2021. Pada tahun 2022, jumlah ini akan kembali meningkat menjadi 191 juta (dataindonesia. Id, 2022). Generasi melek sosial saat ini didominasi oleh generasi milenial, sehingga generasi milenial menjadi sasaran empuk untuk memenangkan suara politik pada pemilu 2024. Milenial disebut narasi digital, yakni sudah terbiasa dengan penggunaan teknologi informasi, baik internet maupun jejaring sosial (Pramelani dan Widyastuti, 2021).
Hoax di zaman yang penuh gejolak ini tidak akan mereda, namun tidak menutup kemungkinan penyebaran atau perang hoax akan terus berlanjut hingga pemilu berikutnya. Hoax baru ini akan semakin ramai selama ada persaingan perebutan tahta kekuasaan. Menurut Silverman, hoaks dibuat untuk menarik harapan dan ketakutan masyarakat tanpa dibatasi oleh kenyataan yang sebenarnya, sementara klaim harus dibatasi pada berita apa pun apakah layak untuk dibagikan di domain publik. Temuan Sirverman juga menunjukkan bahwa semakin banyak rumor yang tersebar, semakin bermakna dan dapat mengubah opini dan opini publik, terutama jika hoax tersebut diperlihatkan kepada pihak-pihak yang akan berperang pemilu (Juditha, 2018). Seperti pertarungan partai politik baru dalam pemilu mendatang di tahun 2024.
Penyebaran hoaks terbesar di Indonesia terjadi pada tahun 2016 dan 2017, salah satunya karena Pilkada DKI Jakarta mendapat perhatian publik yang besar. Efek buruk dari prank ini bisa membunuh kepribadian seseorang. Dalam pandangan Bungin (2017), hoaks memiliki umur yang dirasakan lebih pendek daripada komponen sosial media massa dan memiliki kekuatan destruktif yang sporadis, kuat, dan meluas di masyarakat. Hoax merupakan salah satu isu etika media karena merusak citra seseorang atau lawan bicara. Berita hoax tidak hanya dapat merugikan sasaran hoax, tetapi juga menyerang dan merusak tatanan moral masyarakat, bahkan dapat menjadi mesin pembunuh karakter seseorang. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk memprediksi penyebaran hoax agar penyebarannya dapat diminimalisir.
Menurut Pasal 28 Ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, "setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan", Ancamannya bisa terancam hukuman maksimal enam tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar. Selain denda yang dikenakan oleh pemerintah kepada pihak yang menyiarkan lelucon, solusi lain yang juga cocok untuk mengurangi dampak lelucon yaitu pertama hati-hati dengan headline berita atau informasi yang provokatif, karena judul apapun yang memuatnya akan lebih mudah. untuk publik. cepat terprovokasi. Kedua, hati-hati mempertimbangkan sumber informasi. Hal ini penting untuk terus diinformasikan kepada masyarakat agar mereka selalu mengetahui apakah sumber informasi tersebut telah terjadi di masa lalu atau hanya berasal dari sumber yang tidak diketahui asalnya. Ketiga, memverifikasi kebenaran dan keaslian berita, karena berita merupakan informasi yang mengandung informasi yang nyata dan nyata, khalayak ingin melihat berita tersebut dengan kebenaran dan data relevan yang cukup. Keaslian juga penting dalam memilih informasi. Masyarakat jangan mudah tertipu dengan berita yang tidak lain adalah provokasi di media sosial (Juditha, 2018).
Kesimpulan
Munculnya partai politik baru pada Pemilu 2024 merupakan salah satu dampak dari disrupsi tersebut. Gangguan ini dapat menciptakan tantangan dan peluang bagi partai politik baru. Tantangan munculnya partai politik baru adalah konflik internal di dalam partai dapat menyebabkan kader partai membentuk partai baru. Tantangan lainnya adalah disrupsi akan merampas peran parpol jika parpol enggan mengikuti arus disrupsi. Dilihat dari visi dan misi enam parpol baru tersebut, mirip dengan konsep disrupsi, akan terjadi persaingan antar parpol baru untuk memperebutkan suara rakyat pada pemilu tahun 2024 mendatang. Sistem demokrasi internal partai harus ditanamkan agar konflik internal antar anggota partai tidak terulang kembali, selain itu enam partai politik harus mampu mengelola gangguan dengan menciptakan inovasi-inovasi untuk melayani masyarakat. Beberapa peluang disruptif yang akan dimiliki partai politik baru adalah kemampuan memobilisasi massa dalam kampanye menggunakan media sosial yang tidak hanya lebih murah, tetapi juga memiliki jangkauan yang lebih luas dan lebih adil. Atau, disrupsi dapat digunakan oleh partai politik untuk strategi branding. Oleh karena itu, partai politik baru harus mempertimbangkan tantangan dan peluang untuk bersaing dalam pemilihan umum 2024 mendatang dan menggunakannya sebagai strategi pemenangan.
Daftar Pustaka
Arrasuli, B. K. (2019). Demokrasi Internal Partai Proses Pemilihan Ketua Partai Yang Demokratis. Ensiklopedia Social Review, Vol. 1.
Bashori, K. (2018). Pendidikan Politik di Era Disrupsi. Sukma: Jurnal Pendidikan, 287-310.
Bawaslu.go.id. (2019). Afif Ingatkan Pengawas Pemilu Bisa Antisipasi Disrupsi Teknologi. https://www.bawaslu.go.id/id/tag-berita/disrupsi
Budiatri, A. P. (2017). Faksi Dan Konflik Internal Partai-Partai Politik Di Indonesia Era Reformasi. Jurnal Penelitian Politik., Volume 14.
Bungin, B. (2017). Politik Hiperreality dan Communicatioan Jammed. dalam buku Turn Back Hoax Tantangan Literasi Media Digital. Buku Litera dan Aspikom Korwil Jawa Timur.
Clayton, C. (1997). The Innovator' s Dilemma; When New Technologies Cause Great Firms to Fail. President and Fellows of Harvard College.
dataindonesia.id. (2022). Pengguna Media Sosial Di Indonesia capai 191-juta pada 2022. https://dataindonesia.id/digital/detail/pengguna-media-sosial-di-indonesia-capai-191-juta-pada2022
Hasan, H. (2021). Disrupsi Tatanan Sosial, Ekonomi, Politik Serta Budaya Akibatpandemi Covid19. SENABISMA, Volume 6.
Hasanuddin, Rizaldi, A., Auradian Marta, & Ishak. (2021). Kesenjangan Angka Partisipasi Pemilih (PILKADA Riau 2018 dengan PEMILU 2019 di Riau). Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol. 20.
Hasanudin. (2018). Peran Partai Politik dalam Menggerakkan Partisipasi Politik Rakyat. Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol 17.
Juditha, C. (2018). Interaksi Komunikasi Hoax di Media Sosial serta Antisipasinya Hoax Communication Interactivity in Social Media and Anticipation. Jurnal Pekommas, Vol. 3.
Kasali, R. (2017). Disruption: Tak ada yang tak bisa diubah sebelum dihadapi, Motivasi saja tidak cukup. Gramedia Pustaka Utama.
Majid, M. A. (2020). Covid-19 Di Era 4.0, Disrupsi Dalam Disrupsi (Bertahan Di Tengah Pandemi Antara Angguan Dan Inovasi). Journal of Social Science and Education, Volume 1 I.
Marijan, K. (2010). Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Kencana Prenada Media Group.
Muhyiddin. (2020). Covid-19, New Normal dan Perencanaan Pembangunan di Indonesia. The Indonesian. Journal of Development Planning, 240-252.
Ohoitimur, J. (2018). Disrupsi: Tantangan bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Peluang bagi Lembaga Pendidikan Tinggi. Respons: Jurnall Etika Sosial, Vol 23.
Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. (n.d.).
Pramelani, & Widyastuti, T. (2021). Persepsi Milenial terhadap Gaya Kepemimpinan Calon Presiden Tahun 2024. Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol. 20.
Pruitt, G. R. dan J. Z. R. (2004). Teori Konflik Sosial. Pustaka Belajar.
Ramadhan, D. A. (2019). Menuju Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia serta Dampaknya Terhadap Persatuan Bangsa. Adminitrative Law & Governance Journal, Volume 2 I.
Scarrow, S. (2005). Developments in Party Communications, Implementing IntraParty Democracy, National Democratic Institute for International Affairs (NDI, (USA: National Democratic Institute for International Affairs (NDI). Printed by United States.
Siavelis, P. M. (2006). Party and Social Structure", dalam Richard S Katz. dan William Crotty (Eds.), Handbook of Party Politics. Sage Publications.
Sintani, F. A., Tuanaya, W., & Wance, M. (2020). Kaderisasi dan Penetapan Calon Legislatif pada Partai Politik (Studi DPD Partai Nasional Demokrat Seram Bagian Barat 2019). Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol 19.
Sugiyono. (2019). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alpabeta.
Surbakti, R. (2010). Memahami Ilmu Politik. PT. Grasindo Utama.
Tempo.co. (2022). Inilah Profil 6 Partai Baru yang Bakal Berpartisipasi di Pemilu 2024.
Tinov, M. Y. T., & Handoko, T. (2016). Strategi Politik: Preferensi Partai Politik Menghadapi Pemilu di Aras Lokal. Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol 15.
Warburn, C., & Covert, T. (2017). Making Citizen. Palgrave Macmillan.
We   Are      Social. (2022).        Hootsuite        (We      are   Social): Indonesian Digital Report.https://andi.link/hootsuite-we-are-social-indonesian-digital-report-2022/ Â
White, J. K. (2006). What is Political Party dalam Richard S Katz. and William Crotty (Eds.), Handbook of Party Politics. Sage Publications.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H