Pendahuluan
Pertama kalinya sejak pemerintah Indonesia mengumumkan kasus Covid-19 pada 2 Maret 2020, banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat. Kehadiran pandemi Covid-19 tampaknya mempercepat disrupsi. Dahulu, masyarakat selalu dapat memilih berubah atau tidak dan dengan adanya pandemi, masyarakat harus menerima disrupsi, bahkan sekarang gerakannya menjadi lebih agresif. Dengan kata lai, jika anda ingin mempertahankan kesinambungan dalam hidup, seseorang harus melakukan perubahan. Perubahan tatanan sosial, misalnya kerja bisa dimana saja, perkembangan era data besar dari berbagai sumber mendorong perubahan ekonomi dan politik, trend informasi menjadi lebih cepat memberikan akses tidak terbatas, sehingga dalam suatu negara tidak ada batas, tidak ada lagi keterasingan dari daerah yang bisa mengubah budaya. Disrupsi melahirkan model interaksi baru yang lebih inovatif dan masif (Bashori, 2018). Oleh sebab itu, disrupsi ini memberikan dua pilihan penting yang dapat menentukan masa depan yaitu berubah atau punah (Hasan, 2021).
Istilah disrupsi pertama kali dikenal tahun 1995 dan dikemukakan oleh Clayton Cristensen keduanya menerbitkan artikel "Disruptive Technologies" (Clayton, 1997). Artikelnya membahas persaiangan dalam dunia bisnis. Sebagai pencetus teori disrupsi, Clayton ingin memastikan bahwa sistem, institusi, paradigma dan model perusahaan akan terus berubah bentuk dari bentuk yang lama karena bentuk yang barulebih menjanjikan dan memberikan efektivitas, efisiensi dan akurasi. Disrupsi tidak hanya dialami oleh sektor bisnis atau ekonomi, sektor-sektor lain pun perlahan mengalami hal yang sama termasuk dalam politik (Majid, 2020).
Menghadapi era dirupsi yang terjadi saat ini, banyak masalah muncul dibidang politik negara ini. Disrupsi merupakan suatu kondisi di mana terjadinya suatu perubahan secara mendasar yang dapat memunculkan perubahan ya baru. Menurut Rhenald Kasali, Disrupsi dimaknai sebagai sebuah inovasi. Disrupsi mengatasi teknologi lama diciptakan oleh semua fisika dengan teknologi digital menciptakan sesuatu yang lebih modern, efektif dan bermanfaat. Seperti munculnya partai-partai baru yang menghiasi demokrasi dan menambah keberadaan politik yang melekat pada kepribadian politik negara. Adapun istilah disrupsi dalam pemilu merupakan masuknya kecanggihan teknologi dalam dunia pemilu (Bawaslu.go.id, 2019). Menurut Teori Historical Situation, Munculnya partai-partai politik baru merupakan upaya suatu sistem politik untuk mengatasi krisis yang disebabkan oleh transformasi seluruh lapisan masyarakat. Krisis yang dimaksud adalah ketika sistem politik mengalami transisi akibat perubahan masyarakat dari masyarakat dengan struktur tradisional dan sederhana menjadi masyarakat modern yang kompleks.
Kehadiran partai-partai baru kembali berkembang di Indonesia yang akan mengikuti pemilihan umum pada tahun 2024. Terdapat enam partai politik baru yang akan ikut serta dalam pemilihan yang akan diselenggarakan pada tahun 2024, diantaranya adalah Partai Kebangkitan Nasional (PKN), Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), Partai Ummat, Partai Pelita, Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) dan Partai Rakyat sebagai pendatang baru, partai-partai tersebut memiliki strategi maupun pendekatan secara mandiri agar dapat menarik perhatian masyarakat pada saat yang sama mulai berubah dengan tujuan untuk menghilangkan frustasi dan frustasi masyarakat terhadap partai politik yang dipandang korup dan manipulatif. Dengan begitu, partai-partai mudah meraih suara dan kepercayaan massa, tapi tanpa strategi yang tepat, partai-partai hanya akan menjadi proxy dalam pemilu.
Partai baru dapat memenangkan pemilih yang menginginkan sesuatu yang baru di partainya, dan tantangan yang dihadapi partai baru adalah kepemimpinan, yaitu kurangnya orang-orang yang populer dan cakap, kepribadian yang kuat dan membumi, mereka harus mengandalkan kekuatan seperti program partai. Terkait tantangan parpol baru, pada Pileg 2019, empat partai baru, yakni Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Berkarya, Partai Persatuan Indonesia (Perindo), dan Partai Berkarya gagal menunjukkan kualitas. Partai baru tidak bisa bersaing dengan partai lama berdasarkan angka yang diberikan.
Sejak 1995 teori Disrupsi muncul, Pada tahun 2019 sudah 24 tahun sejak era disrupsi, namun fenomena disrupsi belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh parpol baru di Pileg 2019, sehingga strategi politik dinilai kurang optimal. Kesempatan untuk menggunakan media massa atau media sosial sebagai bentuk pelecehan memang bisa menjadi strategi ekspresi diri, namun partai baru cenderung kurang memiliki figur berpengaruh dan karisma yang kuat untuk dapat menarik persetujuan publik. Oleh karena itu, penulis bertujuan untuk membahas politik di Era Disrupsi, mengkaji tantangan dan peluang munculnya partai politik baru yang dihadapi di Era Disrupsi dengan menggunakan teknologi informasi untuk menghadapi persaingan sebelumnya.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah literature review untuk mengumpulkan data. Teknik pengumpulan data menggunakan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan masalah yang diteliti (Sugiyono, 2019). Tinjauan Pustaka adalah subjek penelitian yang diambil dari sejumlah dokumen atau bahan pustaka seperti buku, jurnal ilmiah dan dokumen pendukung penelitian. Penulis menggunakan studi sebelumnya yang relevan dengan artikel ini untuk mengkaji secara kritis apa yang diketahui tentang ide dan temuan ilmiah yang diambil dari berbagai publikasi terkait dengan munculnya partai-partai politik baru yang memanfaatkan masa-masa sulit. Analisis data menggunakan metode critical appraisal yaitu suatu proses analisis penilaian yang melandasi teori dan konsep yang berkaitan dengan persamaan, perbedaan dan kekurangan penilaian yang digunakan sebagai bahan penulisan artikel ini. Selama proses ini, jurnal ditinjau untuk pilih jurnal yang relevan dengan topik, kemudian dianalisis dengan metode critical appraisal untuk mencantumkan penulis jurnal dan tahun publikasi.
Hasil dan PembahasanÂ
Munculnya Partai-partai Baru Jelang Pemilu 2024