Mohon tunggu...
Iqdam Albantani
Iqdam Albantani Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Olahraga, Menulis, Travelling, Membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Disrupsi Politik: Tantangan dan Peluang Partai Politik Baru Jelang Pemilu 2024

19 September 2023   08:44 Diperbarui: 19 September 2023   08:50 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain konflik antar partai, perpecahan partai politik tentu akan menjadi tantangan besar. Kehancuran itu akan membelokkan peran partai politik dan wakil rakyat. Mempertimbangkan kasus di Jakarta, Gubernur Anies Baswedan meluncurkan aplikasi "JaKi (Jakarta Kini)" pada Januari 2020. Jaki memperkenalkan fitur untuk menanggapi keluhan warga tentang masalah di Jakarta, yang ditanggapi oleh sistem manajemen kasus Hubungan Masyarakat (CRM) antara Januari hingga Maret 2021, terdapat 6.114 pengaduan dan 98,41% diselesaikan dalam waktu kurang dari tiga hari. Partai politik yang dulunya dianggap sebagai tulang punggung demokrasi, kini seolah hilang karena perubahan dunia, hingga kini kehendak publik dikuasai oleh partai politik, namun revolusi Digitalisasi telah menghilangkan peran partai politik, rakyat dapat menyampaikan pendapatnya secara langsung. aspirasi di jejaring sosial atau aplikasi tertentu.

Disrupsi ruang digital bisa menjadi tantangan sekaligus kekuatan, secara teoritis bagi partai politik untuk menjembatani aspirasi masyarakat, mempertemukan kepentingan publik, fungsi-fungsi tersebut lebih banyak dikuasai oleh para taipan. Hal ini perlu diantisipasi dan dikaji, partai politik perlu merespon tren demokratisasi dan disrupsi digital. Partai politik ke depan tidak bisa lagi bertindak atas nama rakyat atau kelompok tertentu tanpa komunikasi terlebih dahulu, dan partai politik juga tidak bisa mengklaim sebagai penampung kehendak massa jika proses komunikasi dan pertanggungjawaban dengan rakyat belum dilakukan. lengkap. Dengan terobosan ruang digital, membuat proses komunikasi dengan menghadirkan beragam platform dan aplikasi, baik secara teknologi maupun aspirasi masyarakat dapat terukur dan terpantau dengan jelas. Disrupsi harus menjadi kekuatan tekanan baru, bukan tantangan atau bahkan pengalihan peran partai politik.

Penulis melihat enam partai politik baru yang akan bertarung pada pemilu 2024 dengan isu perubahan dan modernisasi dunia. Pertama, Partai Kebangkitan Nusantara akan membangun negara sesuai dengan kemajuan zaman. Kedua, Partai Gelora bertujuan untuk melahirkan pemimpin yang akan menjadikan Indonesia sebagai salah satu dari lima besar kekuatan dunia. Ketiga, pesta ummat sangat terbuka untuk semua orang, terutama kaum milenial. Keempat, Partai Prima adalah partai kerakyatan dan fokus pada perubahan dan kesejahteraan rakyat. Kelima, Partai Rakyat akan berkontribusi menjadikan Indonesia sebagai negara maju dan masuk dalam daftar nominasi empat negara maju di dunia. Keenam, Parti Pelita adalah partai yang berlandaskan Pancasila dan menjunjung tinggi peran pemuda dan perempuan. Dari segi kesamaan visi dan misi parpol baru yaitu dari segi konsep pemekaran itu sendiri merupakan kompetisi dengan parpol baru untuk menguasai suara rakyat pada pemilu pemilu 2024 mendatang, tidak hanya tujuan, visi dan misinya, enam parpol harus mampu mengelola disrupsi dengan menciptakan inovasi yang melayani masyarakat.

Disrupsi Sebagai Peluang Bagi Partai Politik Baru

Dalam menghadapi pertikaian politik, merumuskan strategi politik menjadi kunci penting bagi partai politik, mengingat masyarakat terus mengalami perubahan perilaku politiknya. Era Disrupsi memiliki pengaruh besar terhadap perilaku politik masyarakat karena kondisi lingkungan dan waktu (Tinov & Handoko, 2016). Disruption mengubah pola perilaku masyarakat menjadi pola perilaku serba digital, terutama di era new normal. Pola perilaku masyarakat telah berubah dari cara tradisional dan konvensional menjadi digitalisasi di dunia maya. Bagi yang belum siap menghadapi era disrupsi, akan menghadirkan banyak kejutan dan banyak peluang. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa dinamika politik lokal, regional, nasional dan internasional menjadi terlalu mudah dan murah untuk dicapai. Era ini menandai dimulainya demokratisasi ilmu politik, yang memungkinkan siapa saja mengakses dunia dengan teknologi secara lebih efisien dan efektif (Bashori dalam Hasan, 2021).

The Age of Disruption mendukung digitalisasi di segala bidang kehidupan, terutama sistem politik, dan pada akhirnya melahirkan banyak inovasi digital. Munculnya digitalisasi dalam sistem politik telah menginspirasi banyak aplikasi digital yang inovatif. pengenalan aplikasi serupa di bidang politik. Dalam pandangan Muhyiddin (2020), salah satu dampak dari disrupsi adalah dunia semakin mengecil karena arus teknologi dan informasi bergerak cepat di mana-mana di dunia. Artinya, perkembangan teknologi informasi telah sepenuhnya mengubah struktur sosiologis kehidupan (Ohoitimur, 2018). Hal ini membuka peluang bagi partai politik baru untuk memobilisasi massa karena kampanye digantikan dengan pendidikan politik melalui media sosial. Tidak hanya lebih murah, tetapi juga cakupannya lebih luas dan seragam. Kini, semua orang dapat menikmati Massive Open Online Course (MOOC), sebuah bentuk pembelajaran online inovatif yang dirancang terbuka, terhubung melalui jaringan satu sama lain. Bukan hanya institusi politik yang bisa belajar politik. Ada banyak sumber pendidikan yang berkaitan dengan pengetahuan politik, menggunakan teknologi (Warburn, C., & Covert, 2017).

Munculnya partai politik baru di era disrupsi memaksa partai politik menyesuaikan strategi branding politiknya dengan perkembangan zaman. Partai politik harus memanfaatkan ruang siber secara luas sebagai ajang unjuk gigi partai melalui media sosial. Hal ini dapat menyebabkan perang media sosial antar partai politik, situs media sosial yang berbeda pasti akan memanas dan bergejolak. Pasalnya, media sosial di masa yang penuh gejolak saat ini mulai dimanfaatkan oleh para elite, khususnya partai politik, sebagai sarana komunikasi politik. Informasi bergerak sangat cepat, sehingga memudahkan masyarakat menyerap informasi politik. Kemudahan akses informasi membuat preferensi politik masyarakat dipengaruhi oleh sosial dan media massa yang diminati oleh masing-masing individu. Jejaring sosial selalu dijadikan arena kampanye politik dan branding partai politik dan kandidat (Hasanuddin et al., 2021). Sejak Pemilu 2014 hingga 2019, media selalu berperan penting dalam mengubah perilaku politik dan meningkatkan partisipasi publik. Dibantu dengan adanya pandemi Covid19 yang masuk ke Indonesia, pemerintah menerapkan aturan social dan physical distancing, sekaligus melarang masyarakat untuk beraktivitas di tempat umum. Hal ini menyebabkan aktivitas masyarakat beralih ke media online (media sosial), sehingga pengguna media sosial terus meningkat dari tahun 2014 hingga tahun 2022.

Menurut data dari We Are Social, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai angka tertinggi setiap tahunnya. Tingkat pertumbuhannya berfluktuasi dari tahun 2014 hingga 2022. Jumlah pengguna jejaring sosial meningkat paling tinggi, mencapai 34,2% pada tahun 2017. Namun melambat menjadi 6,3% pada tahun 2021. Pada tahun 2022, jumlah ini akan kembali meningkat menjadi 191 juta (dataindonesia. Id, 2022). Generasi melek sosial saat ini didominasi oleh generasi milenial, sehingga generasi milenial menjadi sasaran empuk untuk memenangkan suara politik pada pemilu 2024. Milenial disebut narasi digital, yakni sudah terbiasa dengan penggunaan teknologi informasi, baik internet maupun jejaring sosial (Pramelani dan Widyastuti, 2021).

Hoax di zaman yang penuh gejolak ini tidak akan mereda, namun tidak menutup kemungkinan penyebaran atau perang hoax akan terus berlanjut hingga pemilu berikutnya. Hoax baru ini akan semakin ramai selama ada persaingan perebutan tahta kekuasaan. Menurut Silverman, hoaks dibuat untuk menarik harapan dan ketakutan masyarakat tanpa dibatasi oleh kenyataan yang sebenarnya, sementara klaim harus dibatasi pada berita apa pun apakah layak untuk dibagikan di domain publik. Temuan Sirverman juga menunjukkan bahwa semakin banyak rumor yang tersebar, semakin bermakna dan dapat mengubah opini dan opini publik, terutama jika hoax tersebut diperlihatkan kepada pihak-pihak yang akan berperang pemilu (Juditha, 2018). Seperti pertarungan partai politik baru dalam pemilu mendatang di tahun 2024.

Penyebaran hoaks terbesar di Indonesia terjadi pada tahun 2016 dan 2017, salah satunya karena Pilkada DKI Jakarta mendapat perhatian publik yang besar. Efek buruk dari prank ini bisa membunuh kepribadian seseorang. Dalam pandangan Bungin (2017), hoaks memiliki umur yang dirasakan lebih pendek daripada komponen sosial media massa dan memiliki kekuatan destruktif yang sporadis, kuat, dan meluas di masyarakat. Hoax merupakan salah satu isu etika media karena merusak citra seseorang atau lawan bicara. Berita hoax tidak hanya dapat merugikan sasaran hoax, tetapi juga menyerang dan merusak tatanan moral masyarakat, bahkan dapat menjadi mesin pembunuh karakter seseorang. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk memprediksi penyebaran hoax agar penyebarannya dapat diminimalisir.

Menurut Pasal 28 Ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, "setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan", Ancamannya bisa terancam hukuman maksimal enam tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar. Selain denda yang dikenakan oleh pemerintah kepada pihak yang menyiarkan lelucon, solusi lain yang juga cocok untuk mengurangi dampak lelucon yaitu pertama hati-hati dengan headline berita atau informasi yang provokatif, karena judul apapun yang memuatnya akan lebih mudah. untuk publik. cepat terprovokasi. Kedua, hati-hati mempertimbangkan sumber informasi. Hal ini penting untuk terus diinformasikan kepada masyarakat agar mereka selalu mengetahui apakah sumber informasi tersebut telah terjadi di masa lalu atau hanya berasal dari sumber yang tidak diketahui asalnya. Ketiga, memverifikasi kebenaran dan keaslian berita, karena berita merupakan informasi yang mengandung informasi yang nyata dan nyata, khalayak ingin melihat berita tersebut dengan kebenaran dan data relevan yang cukup. Keaslian juga penting dalam memilih informasi. Masyarakat jangan mudah tertipu dengan berita yang tidak lain adalah provokasi di media sosial (Juditha, 2018).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun