Menjelang pemilihan umum (pemilu) 2024, sejumlah partai politik sedang melakukan persiapan dan strategi sebagai bentuk persiapan untuk mengikuti pemilu. Tidak hanya dipimpin oleh partai-partai mapan dan mapan seperti PDI-Perjuangan, Golkar atau Partai Demokrat, beberapa partai baru bermunculan untuk memperebutkan kursi panas pada pemilu tahun 2024 mendatang. Keputusan KPU RI Nomor 21 Tahun 2022 Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan tanggal pemungutan suara Pemilu 2024 pada 14 Februari 2024.
Dilansir dari tempo.co (2022) memaparkan sejumlah enam partai politik baru yang telah mendapatkan SK pengesahan badan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM dan siap bertarung di pemilu. Setiap partai politik baru telah menyiapkan strategi politiknya masing-masing, yang tidak lepas dari kekuatan para pendiri dari berbagai latar belakang.
Tantangan besar bagi partai-partai baru dalam pemilu adalah harus berhadapan dengan partai-partai lama yang kerap bertahan dalam pemilu, terbukti dengan keberhasilannya merebut kursi parlemen. Untuk mempersiapkan pertarungan pemilu ini, partai politik harus mencari individu-individu terbaik dengan seleksi kader yang selektif dan transparan. Dalam proses pemilihan caleg, partai politik harus terbuka tentang syarat dan tata cara yang ditentukan secara internal oleh partai politik, yang berguna bagi masyarakat untuk menilai secara langsung potensi daya caleg yang diajukan oleh parpol (Sintani et al. al., 2020). Demokrasi membutuhkan partai politik. Demokrasi modern tidak akan lepas dari bayang-bayang partai politik, karena dalam sistem pemerintahan demokrasi partai politik berperan penting dalam mendorong dan meningkatkan partisipasi aktif warga negara ke dalam ranah politik dan dalam pemilihan pejabat publik (White, 2006 dalam Hanafi, 2018).
Munculnya partai politik baru menimbulkan keresahan yang sangat berpengaruh terhadap tatanan kehidupan politik saat ini. Di sisi lain, parpol pendatang bisa menjadi bumerang bagi masyarakat Indonesia jika jumlah parpol terlalu banyak, yang menandakan gagalnya penyederhanaan jumlah pencalonan pemilu. Seperti diketahui, banyaknya partai politik peserta pemilu sangat mempengaruhi kualitas pemilu sehingga menyulitkan pemilih untuk menentukan pilihan. Secara politis, hal ini akan semakin memperumit perpolitikan nasional, karena jumlah partai politik yang besar menimbulkan masalah teknis dan muatan elektoral yang kompleks.
Partai politik baru yang akan muncul pada pemilihan umum tahun 2024 mendatang pada dasarnya sesuai dengan karakteristik masyarakat Indonesia, karena pada umumnya Indonesia adalah masyarakat yang sangat beragam, mencakup berbagai latar belakang yang berbeda dalam hal bahasa, suku, agama, dan adat istiadat. Keberagaman masyarakat Indonesia menjadi salah satu alasan utama keinginan penyederhanaan jumlah partai politik. Melihat struktur masyarakat Indonesia yang tidak memiliki kesamaan mendasar antara masing-masing golongan, berarti masyarakat tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda (Ramadhan, 2019). Hal ini terjadi karena semakin kecilnya forum masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan/atau keinginan melalui kelompok-kelompok yang memiliki tujuan dan pemikiran yang sama (Rudianto, 2012).
Tantangan Partai politik Baru Menjelang Pemilu 2024
Kehadiran partai baru dalam pemilu 2024 mendatang kemungkinan akan menjadi tahun kerawanan politik. Tahun 2024 akan menjadi perayaan demokrasi yang berpeluang menimbulkan perpecahan di dalam partai politik, terutama di dalam koalisi elit, sekalipun orang dalam tidak menggunakan sistem demokrasi dalam pemilu partai politik. Pemekaran yang terjadi saat ini mirip dengan perpecahan antara Partai Golkar dan PPP yang berujung pada manajemen kembar. Sejarah menunjukkan bahwa fenomena perpecahan bukanlah hal baru di partai politik, sudah terjadi di banyak partai sejak awal reformasi. Ketika ada faksi-faksi di dalam partai, maka akan menimbulkan perselisihan satu sama lain, dan efeknya adalah pengkhianatan di dalam partai, bahkan di antara kader partai atau antara penanggung jawab dan elit partai di dalam elit partai.
Adanya perbedaan dan konflik internal di dalam partai politik mendorong anggota keluar dan memilih menentang, kemudian membentuk partai baru. Grup terpisah menyorot jenis grup catch-all. Partai bergantung pada jumlah individu, sehingga perkembangan organisasi partai politik melibatkan perselisihan partai politik mana yang memiliki pengaruh. Konflik internal partai politik meliputi faktor-faktor yang dipengaruhi oleh kekuatan individu yang berperan penting sebagai penggerak partai politik. Personalisasi partai politik ini secara tidak langsung telah menyesuaikan pengelolaan partai politik ke arah tradisional. Kekuasaan ketua partai politik sangat menentukan bentuk dan isi pemerintahannya. Contoh ilustrasi dari fenomena ini adalah ketika Jusuf Kalla menjadi presiden partai Golkar, dan sebagian besar kerabatnya menduduki posisi strategis di dalam partai.
Menurut teori konflik Dean G. Pruitt & Jeffrey Z. Rubin, yang menjelaskan proses dan urutan peristiwa yang dapat membawa individu, kelompok dan komunitas ke dalam konflik yang mengarah pada eskalasi. Konflik sering meningkat, yang merupakan hasil dari spiral konflik. Masing-masing pihak cenderung semakin terlibat dalam konflik dan dapat menggunakan semua sumber daya yang dibutuhkan untuk menang. Ketika konflik meningkat, isu-isu spesifik cenderung berubah menjadi masalah umum. Hubungan antara kedua belah pihak umumnya memburuk dan memburuk secara signifikan. Beberapa pihak melakukan apa yang menjadi kepentingan terbaik mereka, terlepas dari hasil baik atau buruk dari uang yang diperoleh pihak lain (Pruitt & Rubin, 2004).
Pihak yang mengalami konflik berkepanjangan tidak akan mampu mempertahankan nilai-nilai yang kuat di dalamnya. Nilai disini berarti tujuan dasar atau ideologi partai sebagai sebuah organisasi, bukan hanya tujuan individu, kelompok atau fraksi (Surbakti, 2010). Konflik dalam partai politik dapat melahirkan generasi baru pimpinan partai politik dan mendorong restrukturisasi partai politik. Konflik intrapartai akan memicu munculnya faksi-faksi alternatif yang bertujuan untuk membangun kembali dan mematahkan dominasi beberapa elit partai politik. Untuk meredam konflik, partai akan mencari keseimbangan baru, baik melalui diskusi atau musyawarah di pengadilan partai. Hasil damai dari konflik semacam itu sering mengarah pada pemilihan pemimpin baru yang akan menemukan titik temu untuk menyelesaikan pihak yang berkonflik. Selain itu juga mendorong inovasi dalam sistem kepengurusan partai politik (Budiatri, 2017). Â
Pihak yang mengalami konflik berkepanjangan tidak mampu membayar. Efek lain dari perselisihan internal partai adalah penghentian perekrutan dan pembangunan kembali serta reinkarnasi anggota partai politik. Ketika terjadi konflik internal, pemekaran organisasi partai politik tidak hanya di tingkat kepengurusan nasional tetapi juga di tingkat daerah. Alih-alih berfokus pada perekrutan dan pelatihan ulang, partai secara efektif memecat dan memecat anggota elit politik yang berkuasa yang dianggap memberontak. Perpecahan dalam struktur pemerintahan yang runtuh juga membuat parpol sulit melakukan rekrutmen politik, terutama dalam konteks pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang akan datang (Budiatri, 2017).