Mohon tunggu...
Iqbal Tawakal
Iqbal Tawakal Mohon Tunggu... Konsultan - Jakarta

Artikel baru, setiap Rabu dan Sabtu. Lihat artikel lainnya di bit.ly/iqbalkompasiana

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

"A Fine is a Price", Ketika Uang Tak Sepenuhnya Meningkatkan Produktivitas

25 November 2020   10:48 Diperbarui: 26 November 2020   02:51 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Christian Dubovan on Unsplash

 

Di tulisan sebelumnya yang berjudul Uang Memang (Bukan) Segalanya, kita sudah membahas tentang dua dunia yang begitu berbeda. 

Dua dunia yang tak bisa dicampur aduk, karena yang satu fondasi utamanya adalah transaksional (market norm), sementara yang lainnya relasional (social norm).

Selintas, hubungan relasional adalah pola hubungan yang paling pas diterapkan di banyak hal. Terutama yang kaitannya dengan produktivitas. Karena, berdasarkan riset James Heyman dan Dan Ariely, terbukti uang tak semata-mata bisa meningkatkan produktivitas tim dalam bekerja.

Celakanya, seringkali insentif menjadi satu-satunya jalan keluar agar tim menjadi lebih engage, produktif, dan bersemangat.

Dengan kata lain, once the money is involved, perspektif relasional itu runtuh.

Apa maksudnya?

Menjaga Keseimbangan 

Berselancar dalam hubungan transaksional dan relasional memang jadi kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap orang. 

Dalam beberapa kasus kita harus sangat berhati-hati, kapan kita masuk ke market norm dan kapan masuk ke social norm. 

Pasalnya, seringkali market norm bisa lebih dominan ketimbang social norm. 

Pertanyaanya, ketika kita sudah terlanjur masuk ke dalam market norm, apakah mungkin hubungan itu kembali kepada social norm?

Jawabannya, cukup sulit.

Masuk ke market norm sangat mudah. Kembali pada social norm hampir mustahil. Anda mungkin pernah terjebak dalam situasi tersebut. Tak terkecuali saya, baru-baru ini.

Sedikit bercerita, saya dan tim tengah mengerjakan suatu projek riset mengenai kepemimpinan di masa krisis untuk sebuah badan negara. Projek ini melibatkan kurang lebih sepuluh orang dengan role yang berbeda-beda. Beberapa di antaranya adalah penulis.

Sebagai penulis, saya mengerti beban kerja menulis berbeda ketimbang pekerjaan lainnya. Butuh fokus, perhatian ekstra, dan sanggup bekerja dalam tekanan meski deadline sudah di depan mata.

Untuk itu, sebagai project manager, saya cukup memberikan kelonggaran waktu pada tim penulis untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Beragam cara dilakukan dan fasilitas diberikan agar tim penulis bisa menyelesaikan draf tepat waktu. Check point dua kali seminggu. Koordinasi pada klien hampir setiap hari. Beberapa pekerjaan lain terkait proses pembuatan buku, seperti layout, proofread, hingga persiapan terbit pun paralel dilakukan.

Waktu berlalu dan deadline sudah di depan mata. Akhirnya, untuk meminimalisasi risiko atas keterlambatan delivery dan dengan harapan dapat memacu kerja tim, saya memberlakukan denda harian jika pekerjaan melewati tengat waktu.

Hingga, saya menyadari, kesalahan fatal telah terjadi.

Denda Membawa Petaka
Dalam paper klasiknya yang berjudul 'A Fine is a Price,' Uri Gneezy dan Aldo Rustichini membuktikan hal ini. 

Mereka mengumpulkan data dari banyak tempat penitipan anak (day care). Temuannya adalah banyak orangtua yang terlambat menjemput anak-anaknya. Setengah jam, satu jam, bahkan lebih.

Bagi para orangtua yang bekerja, mereka bisa saja menganggap ini hal sepele. Tapi, guru dan pengasuh di Day Care tersebut harus bekerja overtime menunggu para orangtua menjemput anaknya.

Keterlambatan ini hampir terjadi setiap hari. Padahal, ada semacam perjanjian tak tertulis (social contract), di mana seharusnya orangtua mengerti untuk datang tepat waktu, dan harusnya merasa bersalah ketika datang terlambat.

Dalam studi ini, Uri Gneezy dan Aldo Rustichini ingin membuktikan apa penyebab orangtua datang terlambat, seberapa besar intensitasnya, dan bagaimana mengurangi intensitas tersebut.

Mereka memasukkan sampel day care yang diteliti ke dalam dua kategori. Kelompok A tak diberi perlakuan khusus. Kelompok B memberlakukan aturan denda setiap sepuluh menit keterlambatan.

Lalu, apakah apakah orangtua jadi datang tepat waktu?

Nyatanya tidak.

Angka keterlambatan justru malah meningkat setelah day care kelompok B memberlakukan denda. Satu jam, dua jam, hingga empat jam. Ternyata, denda mengubah social contract tadi menjadi market norm. 

Semua berubah menjadi traksaksional. Para orangtua jadi hitung-hitungan, karena merasa sudah bayar denda, mereka berhak untuk terlambat.

Ini bisa saja terjadi karena mungkin dendanya tak seberapa, atau pekerjaan lain yang menyebabkan mereka terlambat memiliki future value yang lebih tinggi ketimbang ongkos denda.

Para orangtua tak lagi merasa bersalah ketika datang terlambat hingga berjam-jam. Social contract kalah oleh market transaction. 

Akhirnya, peneliti mencabut aturan denda di day care kelompok B. Apakah situasi jadi membaik?

Naas, justru lebih buruk.

Bagi para orangtua, penalti karena rasa malu dan denda sudah hilang dari benak mereka. Maka, intensitas keterlambatan mereka makin menjadi.

Ini menunjukkan situasi chaos yang terjadi ketika hubungan relasional dibenturkan dengan hubungan transaksional. Dalam jangka panjang, hubungan ini akan rusak.

Riset membuktikan, uang dapat membuat seseorang menjadi egois dan mementingkan diri sendiri.

Uang, dalam kontek apapun, juga sangat mempengaruhi persepsi, kebiasaan, dan keputusan-keputusan yang kita ambil.

Uang adalah pemisah tegas antara hubungan transaksional dan relasional. Jadi, berhati-hatilah. Terutama jika kita beranggapan, uang (material incentive) adalah satu-satunya hal yang bisa meningkatkan produktivitas tim.

***

Artikel ini adalah bagian dari serial Behavioral Economy. Tulisan baru, setiap Rabu dan Sabtu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun