Pertanyaanya, ketika kita sudah terlanjur masuk ke dalam market norm, apakah mungkin hubungan itu kembali kepada social norm?
Jawabannya, cukup sulit.
Masuk ke market norm sangat mudah. Kembali pada social norm hampir mustahil. Anda mungkin pernah terjebak dalam situasi tersebut. Tak terkecuali saya, baru-baru ini.
Sedikit bercerita, saya dan tim tengah mengerjakan suatu projek riset mengenai kepemimpinan di masa krisis untuk sebuah badan negara. Projek ini melibatkan kurang lebih sepuluh orang dengan role yang berbeda-beda. Beberapa di antaranya adalah penulis.
Sebagai penulis, saya mengerti beban kerja menulis berbeda ketimbang pekerjaan lainnya. Butuh fokus, perhatian ekstra, dan sanggup bekerja dalam tekanan meski deadline sudah di depan mata.
Untuk itu, sebagai project manager, saya cukup memberikan kelonggaran waktu pada tim penulis untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Beragam cara dilakukan dan fasilitas diberikan agar tim penulis bisa menyelesaikan draf tepat waktu. Check point dua kali seminggu. Koordinasi pada klien hampir setiap hari. Beberapa pekerjaan lain terkait proses pembuatan buku, seperti layout, proofread, hingga persiapan terbit pun paralel dilakukan.
Waktu berlalu dan deadline sudah di depan mata. Akhirnya, untuk meminimalisasi risiko atas keterlambatan delivery dan dengan harapan dapat memacu kerja tim, saya memberlakukan denda harian jika pekerjaan melewati tengat waktu.
Hingga, saya menyadari, kesalahan fatal telah terjadi.
Denda Membawa Petaka
Dalam paper klasiknya yang berjudul 'A Fine is a Price,' Uri Gneezy dan Aldo Rustichini membuktikan hal ini.Â
Mereka mengumpulkan data dari banyak tempat penitipan anak (day care). Temuannya adalah banyak orangtua yang terlambat menjemput anak-anaknya. Setengah jam, satu jam, bahkan lebih.