Mohon tunggu...
M. Iqbal
M. Iqbal Mohon Tunggu... Penulis - Part Time Writer and Blogger

Pengamat dan pelempar opini dalam sudut pandang berbeda. Bisa ditemui di http://www.lupadaratan.com/ segala kritik dan saran bisa disampaikan di m.iqball@outlook.com. Terima kasih atas kunjungannya.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Apa Jadinya Bila Internet di Indonesia Dibatasi?

28 Mei 2019   16:02 Diperbarui: 28 Mei 2019   16:27 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Minggu lalu jadi minggu yang tak terlupakan oleh semua pihak, mulai dari kerusuhan yang merenggut korban jiwa hingga pembatasan layanan platform sosial media. Platform kenamaan seperti Facebook, WhatsApp, dan Instagram. Keputusan itu bulat diambil oleh pemerintah di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebagai motor penggerak utama.

Alasan keputusan tersebut diambil adalah karena menghindari peredaran hoaks baik dalam berupa konten teks, gambar hingga video. Hingga kondisi benar-benar kondusif setelah huru-hara yang terjadi beberapa hari silam. Dampaknya sangat terasa karena ketiga platform tersebut sangat akrab dengan masyarakat Indonesia.

Bisa dibayangkan bagaimana resahnya sang ibu saat ia tidak mendapat balasan chat anaknya di rantau sana atau para istri yang menunggu kabar suaminya pulang. Sosial media bak penyambung lidah dan penyambung rindu buat kebanyakan orang, ada juga penghubung rezeki buat para konten kreator yang menunggu balasan klien.

Mengalami gangguan server atau jaringan dibatasi, jelas banyak pihak yang dirugikan di jagat digital. Apalagi dengan tidak masuk akal seperti ada pihak yang dianggap pemerintah menyebarkan berita hoaks hingga aksi yang tidak dibenarkan secara hukum.

Satu sisi baik karena bisa menekan penyebaran tersebut tapi di sisi lainnya mampu menghambat komunikasi hingga menghambat roda ekonomi. Efeknya bersifat domino karena di era Industri 4.0, peran digital dan sosial media jadi tonggak perubahan besar.

Pemblokiran dan pembatasan bukan hal baru di jagat internet

Mari kita putar kembali beberapa tahun lalu saat sejumlah platform menjadi korban pemblokiran. Alasannya karena ditemukan mengandung konten pornografi dan tidak senonoh yang bisa merusak generasi muda hingga faktor lainnya. Alhasil nama seperti Vimeo, Reddit hingga Tumblr (kini sudah dibuka blokirnya) harus rela tidak bisa diakses secara normal setelah pemblokiran tersebut.

Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah menurut saya sangat protektif terhadap platform yang dinilai berpotensi mengandung konten hoaks. Memang niatan pemerintah sangat bagus khususnya memerangi hoaks dan memprovokasi masyarakat, meskipun terkesan berlebihan dan tak masuk akal.

Hanya karena sebuah media mengandung konten pornografi, semua postingan baik lainnya dianggap sama. Ibarat gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga. Bisa saja akan banyak konten kreator yang harus kehilangan wadah berkreasi karena media yang ia gunakan tidak bisa lagi diakses secara normal.

Di jajaran platform ada nama Reddit dan Vimeo yang pernah menjadi korban pemblokiran oleh pemerintah beberapa tahun silam. Situs tersebut dianggap pernah menampilkan konten berbau pornografi dan pemerintah melalui Kominfo mengambil tindakan tegas dengan memblokirnya. Padahal semua platform di internet punya konten pornografi yang bisa diakses siapa saja.

Memblokir sebuah media bukan cara bijak mengambil langkah, tapi mendidik bagaimana user di platform tersebut menggunakan media tersebut dengan bijak.

Memang saat ini pemerintah sudah menyaring sejumlah konten yang mengandung pornografi, perjudian, hingga hoaks dengan membeli mesin filter khusus. Tetap saja konten itu bisa ditemukan dan diakses dengan mudah. Ini semua bukan salah platformnya, tapi salah penggunanya yang tidak tepat menggunakannya. Tujuan semua platform baik, tapi selalu ada celah buat melawan hukum di dalamnya.

Para konten kreator yang bermain di media tersebut jelas gigit jari, konten yang menarik dan informatif sepi pengunjung. Pemblokiran membuat viewer dari tanah air jadi sedikit.  Memang banyak cara mengakali dengan menggunakan Virtual Private Network (VPN) hingga mengubah kode DNS (Domain Name System). Hanya saja, media atau platform yang digunakan para konten kreator di sana harus kehilangan pengunjung dari tanah air.

Namun tetap saja itu ilegal, bagi pengguna internet pemula seakan kehilangan media sosial tepat ia berselancar atau bahkan berkarya di platform tersebut. Para investor dan konten kreator harus mundur berkarya di platform tersebut karena sudah pasti tidak menguntungkan lagi. Meskipun bisa diakali, akan banyak yang tidak tahu mengaksesnya hingga mereka malas atau tak mau repot datang ke sana harus mengganti DNS atau menggunakan VPN.

Seberapa besar Pangsa Pengguna Facebook-WhatsApp- Instagram di Indonesia?

Saat ini ketiga platform tersebut jadi media sosial yang paling besar digunakan di dunia termasuk di Indonesia. Kini mereka menjadi satu direksi setelah akuisisi yang dilakukan oleh Facebook beberapa tahun lalu. Kedua platform tersebut seakan jadi lumbung uang buat Facebook sendiri, mengingat kini pengguna Facebook turun jauh dan bahkan kalah dengan platform akuisisi miliknya.

Dimulai dari Instagram di tahun 2012 yang kala itu dianggap sangat fenomena dan menjadi pesaing Flickr punya Microsoft. Dana sebesar US$ 1 Miliar jadi mahar yang dibayarkan Facebook pada akuisisi tersebut. Si Founder Instagram, Kevin Systrom dan koleganya Mike Krieger mendadak jadi milyuner setelah akuisisi tersebut. Kini Instagram jadi media paling tinggi pertumbuhan penggunanya.

Tak berhenti di situ, Facebook kemudian mengakuisisi salah satu Instan Messaging besar yang sedang tumbuh, WhatsApp dengan harga menggiurkan yaitu US$ 14 Miliar. Jan Koum kecipratan hasil akuisis tersebut dan kini tidak berada lagi di direksi WhatsApp sama dengan Kevin Systrom. Kekuasaan penuh mentok dipegang oleh Facebook oleh CEO-nya Mark Zuckerberg.

Alhasil bisa dilihat kini semua fitur yang dimiliki ketiganya sangat identik, hanya berbeda dari tampilan warna saja. Bahkan di masa depan akan menawarkan koneksi lintas platform. Efeknya juga menghampiri, ketiganya akan sering mengalami masalah yang identik, Seperti salah satunya layanannya tumbang (down) baik itu gangguan server global atau lokal, ketiganya akan tumbang dalam waktu bersamaan.

Salah satu yang mengganggu adalah Facebook tunduk pada pemerintah di sebuah negara termasuk pemerintah Indonesia. Sehingga akses layanan bisa kapan saja bisa dibatasi, bahkan obrolan privasi antar pengguna. Bagi saya tak salah, karena setiap platform harus mengikuti aturan main sebuah negara termasuk membeberkan data privasi pengguna yang dianggap mengancam. Tapi tidak harus mengorbankan dan bahkan mencurigai semua orang, karena semua manusia punya batas privasinya termasuk di dunia maya.

Mungkin kita pernah mendengar kasus Cambridge Analytica yang mengguncang negeri Paman Sam beberapa tahun lalu. Inilah awal noda hitam bahkan Facebook tidak lihat menjaga data penggunanya. Skandal bocornya data pengguna Facebook berawal dari bocornya aplikasi pihak ketiga yang sering berseliweran di Timeline Anda. Semua itu berawal di tahun 2014, seorang peneliti bernama Aleksandr Kogan membuat aplikasi bernama This is My Digital Life. Aplikasi seperti kuis-kuis Facebook ini tidak hanya mengambil data 270 ribu data penggunanya saja, akan tetapi mengambil data teman-teman si pengguna tanpa perlu meminta izin.

Inilah yang menjadi alasan bocornya 50 juta pengguna Facebook dan 1,26% datang dari Indonesia. Data yang bocor sebanyak itu kemudian digunakan oleh Cambridge Analytica untuk membantu kampanye Donald Trump. Tujuan utamanya menyebarkan konten-konten yang tepat kepada penduduk USA dan global sesuai data pribadi yang mereka dapatkan. Supaya nantinya mereka memberikan hak pilih Trump di tahun 2016 silam. Hasilnya Trump menang secara mengejutkan dan mengalahkan kandidat tunggal Partai Demokrat, Hillary Clinton.

Analogi sederhananya seperti ini..

Seseorang pria rahasia mengagumi seorang wanita di dunia maya berawal dari begitu cantiknya wanita tersebut. Alhasil ia berupa sekuat tenaga mencari tahu informasi si wanita serta segala tindak tanduknya di dunia maya. Mulai dari temannya, percakapannya, hobi, dan kegemarannya. Mungkin si wanita tidak sadar bahwa di luar sana ada orang yang mencuri fotonya, mengoleksi videonya, lokasi nongkrongnya hingga mengetahui alamat rumahnya.

Hingga akhirnya si lelaki misterius bisa mengirim bunga atau makanan kesukaannya supaya si wanita bisa tertarik dengannya. Hingga akhirnya ia mengajak kopi darat sebagai bukti cinta. Jelas ini sesuatu yang sangat risih dan mengganggu bagi seorang wanita. Orang asing yang tiba-tiba datang, tahu segalanya dan seakan mengganggu privasi. Memang bisa jadi lelaki misterius itu mencinta secara tulus, tetapi ini sudah melanggar batas privasi di dunia maya.

Hampir sama dengan kasus Cambridge Anaytica, bisa saja banyak pengguna Facebook yang digunakan datanya mendukung Trump. Namun cara yang mereka gunakan salah karena melanggar privasi pengguna. Korban akan terganggu dari awalnya suka malah menjadi benci karena aksi menguntit yang terlewat batas.

Akibat kasus lawas tersebut, Facebook kehilangan kepercayaan dan belum lagi Facebook dan WhatsApp dianggap sebagai media yang paling sering digunakan menyebarkan hoaks. Pelarangan di sejumlah negara jadi alasan termasuk pembatasan karena proses penyebarannya menggunakan media sangat cepat.

Mengapa hanya WhatsApp, Facebook, dan Instagram saja?

Ada banyak aplikasi dan mengapa hanya menitik berat ketiga platform tersebut? Alasan utama karena literasi digital dari masyarakat yang sangat rendah dan kaitannya dengan kemampuan baca masyarakat kita. Jadi semakin mendukung karena ketiga platform ini punya penyebaran yang sangat cepat, tanpa saring sebelum sharing berakibat konten hoaks berkembang dengan cepat.

Pengguna yang punya literasi rendah sangat berpengaruh apalagi kondisi genting kemarin, hanya dari sebuah postingan yang hanya dibaca judul, screen shot gambar, atau video. Tanpa berpikir panjang apakah ini benar atau tidak, bahkan layak dikonsumsi oleh orang lain. Alhasil hoaks berkembang dengan cepat dan bisa memancing kekhawatiran hingga pecahnya huru-hara

Kemudian karena algoritma Facebook yang buruk, kini mereka mencoba memperbaikinya. Kasus kebocoran data hingga media penyebar hoaks sering dialamatkan pada Facebook. Kini mereka mulai berbenah dengan memperbaiki algoritma, meskipun masih setengah matang dan butuh banyak pengujian.

Instagram juga pun mengacu pada algoritma yang digunakan Facebook yang rentan menyebarkan hoaks. Akibat itulah, pemerintah mengambil langkah tegas dengan membatasi Facebook dan platform yang berada di bawahnya (WhatsApp dan Instagram). Dibandingkan membiarkan dan punya dampak yang sangat luas.

Apalagi berdasarkan data dari WeAreSocial, WhatsApp, Facebook, dan Instagram jadi media paling sering digunakan di Indonesia masing-masing di posisi, 2, 3, dan 4. Hanya kalah dari Youtube saja di posisi puncak. Itu wajar banyak yang kelabakan karena ketiga media ini yang paling sering dibuka saat proses online.

Untuk peluang bisnis pun seperti itu, saat ini sudah ada 130 juta pengguna tanah air yang terpapar akses internet dan sebagian besar terganggu karena pembatasan tersebut. Bahkan dari setiap pengguna, minimal punya satu aplikasi yang dibatasi oleh pemerintah tersebut. Kegiatan yang dilakukan pun beragam, mulai dari 96% mengirim pesan, 95% menonton video, 83% bermain game hingga 61% untuk aplikasi mobile banking.

 Ada aspek bisnis dan ekonomi yang terganggu, terlepas lebih banyak aspek komunikasi dan hiburan. Mungkin saja, aspek hiburan bisa berkurang karena pembatasan tersebut. Namun itu jadi kendala besar kalau itu sudah berhubungan dengan komunikasi dan transaksi.

Baiknya, hanya ketiga platform tersebut yang mengalami pembatasan, sedangkan akses bisnis berita hingga hiburan tidak (salah satunya Youtube). Jadi tidak terlalu dipusingkan, alih-alih bisa mengurangi toxic dari sosial media dan berita hoaks yang mempermainkan emosi serta pikiran.

Mengapa YouTube dan Twitter tidak dibatasi?

Sebagai platform berbagi video terbesar di dunia, YouTube dianggap bisa menyebarkan video dengan cepat dan ditonton dengan penonton yang relatif besar. Apalagi kini ia menjadi platform paling banyak diakses pengguna di Indonesia.

Tapi ia punya algoritma yang berbeda dengan Facebook dan mengacu pada algoritma Google. Selain itu, setiap video yang melanggar dan punya tingkat kekerasan akan langsung di Take Down oleh pihak Google. Jadi tidak sampai viral dan bahkan ditonton oleh jutaan orang.

Sekarang bagaimana dengan Twitter, Trending Topic-nya jadi santapan renyah di sana dan paling update. Mengapa pemerintah tidak membatasinya atau bahkan memblokir sejenak?

Alasan menurut saya beragam, mulai dari Twitter yang tidak bekerja sama dengan pemerintah Indonesia hingga jumlah penggunanya yang tak sebesar Trio Skuad Milik Facebook, yaitu diperingkat 6. Umumnya pengguna yang ada di Twitter berusia lebih dewasa dan punya kemampuan literasi yang sedikit lebih tinggi.

Menurut data WeareSocial, pengguna Twitter Indonesia yang aktif hanya ada di angka 6,43 juta. Tidak sebesar platform lainnya. Otomatis pemerintah menanggap penyebaran berita hoaks antar pengguna tidak terlalu masif dan berbahaya. Apalagi Twitter tidak diakses oleh semua orang dan hanya kalangan tertentu yang masih setia dengan platform tersebut.

Ke depan yang saya baca, Facebook akan menggunakan algoritma baru termasuk menggunakan AIS (Artificial Intelelligence System) berbasis Machine Learning dalam mempelajari kata yang masuk. Bila tidak, siap-siap saja akan banyak pengguna yang beralih ke platform tetangga.

Bagaimana bila akses internet dibatasi dan diatur pemerintah?

Saya mencoba berandai-andai bila Indonesia melakukan pembatasan aplikasi internet dari luar negeri. Ada sejumlah negara yang melakukan cara tersebut, umumnya mereka punya paham sosialis sehingga negara punya peran besar dalam aktivitas warganya. Tiongkok, Korut, Vietnam hingga Kuba melakukan hal seperti itu.

Negara yang paling besar pastinya Tiongkok yang melakukan dan sudah tergolong punya arsitektur teknologi sangat baik, berbeda dengan ketiga negara lainnya. Berbicara mengenai teknologi, Tiongkok sangat maju dan punya segalanya. Mulai dari aplikasi sosial media dan mesin pencari lokal. Urusan perangkat teknologi, mulai dari perangkap elektronik seperti ponsel hingga layanan jaringan mereka punya.

Layanan miliki Google, sosial media kepunyaan Facebook (WhatsApp dan Instagram) bahkan hingga iPhone sangat sulit ditemukan di sana. Layanan yang masyarakat kenal seperti Weibo (menyerupai Facebook), Wechat (menyerupai WhatsApp dan Instagram), Sina Weibo (menyerupai Twitter) hingga QQ. Urusan hiburan dan mesin pencari, sudah ada Youku Tudo (menyerupai Youtube) dan tentu saja Baidu Tieba selaku Google Made in Tiongkok.

Andai saja hal serupa terjadi di Indonesia, pastinya berdampak ekonomi yang sangat besar di awalnya. Selain rugikan para pengguna hingga konten kreator yang bermain di sana, sedangkan penyedia layanan tersebut juga mengalami kerugian. Alasannya karena Indonesia bak lahan basah dari pengguna layanan mereka dan platform luar negeri. Saat itu baru 130 juta pengguna Indonesia yang menggunakan internet, masih ada separuh lainnya belum mendapatkan akses internet secara kontinu.

Sisi lainnya bila internet Indonesia dibatasi dari layanan asing berdampak pada layanan milik anak negeri. Mungkin saja ada anak negeri yang membuat mesin pencari sendiri, instant messaging sendiri hingga layanan musik dan video sendiri khas lokal. Satu keuntungan karena dengan ini banyak pengembang lokal dan startup lokal terbantu dengan lahirnya platform sosial media dan bahkan pencari lokal yang didukung langsung oleh pemerintah. Meskipun di awalnya harus berdarah-darah dan harus mengejar perkembangan platform milik luar negeri.

Bila pengguna masih yang sulit beralih dan senang platform luar, VPN dan DNS jadi pilihan meskipun harus rela mencari jalan jauh buat sebatas akses. Tidak masalah karena kebebasan internet milik semuanya, asalkan tidak melanggar hukum dan punya efek buruk bagi penggunanya.

Pembatasan internet nyata memang mengerikan tapi satu sisi merangsang pemain lokal andai itu benar terjadi. Lagian seruan netizen yang sangat deras terkadang membuat pemerintah menyerah, terbukti pada proses pembatasan internet beberapa hari lalu jadi buktinya.

Akhir kata, pembatasan internet terjadi karena niatan pemerintah fokusnya dalam memerangi hoaks, tidak lebih dari itu. Alasannya karena semuanya dimulai dari bawah yaitu budaya akar rumput dari budaya literasi di jagat digital, budaya kritis dalam menanggapi setiap informasi, budaya berdiskusi dengan pikiran sehat. Bila semuanya sudah tergapai berhasil diterapkan, sudah pasti setiap individu akan skeptis terhadap hoaks yang datang.

Semoga postingan ini menginspirasi kita semua dan silakan komentarnya di kolom komentar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun