Mohon tunggu...
Iqbal Surur
Iqbal Surur Mohon Tunggu... Teknisi - bukan penulis, hanya suka menulis

melihat dari perspektif berbeda

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sebuah Renungan Peran Besar Orangtua sebagai Guru

27 November 2020   21:45 Diperbarui: 27 November 2020   22:03 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi Keluarga (sumber : sdnisrina.com)

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Pertama-tama penulis ingin mengucapkan Selamat Hari Guru Nasional tahun 2020 kepada seluruh insan pendidik dari kalangan manapun  di seluruh pelosok Indonesia, mulai dari sekolah negeri hingga pesantren, dari tingkat pendidikan usia dasar hingga pendidikan tinggi, pendidik berstatus negeri hingga pendidik relawan yang setia memperjuangkan hak-hak anak Indonesia dalam mengenyam pendidikan berkualitas. 

Konon katanya kata "guru" itu dalam bahasa jawa merupakan akronim dari "digugu lan ditiru", yang artinya dipercaya dan diikuti. Kita dapat mengambil makna yang dalam dari filosofi jawa itu, bahwa definisi guru yang selama ini sebagian dari kita kenal mungkin hanya sebatas guru di sekolah formal baik itu negeri atau swasta. 

Namun pada hakikatnya setiap individu manusia memiliki nilai atau "value"guru bagi orang di sekitarnya. Yang membedakan satu dengan yang lainnya hanyalah seberapa luas dan besar "value" guru itu dirasakan oleh orang-orang di sekelilingya.

Pembaca mungkin banyak yang menganggap bahwa artikel ini berbeda dengan yang lain, dimana banyak yang membicarakan masalah guru itu sendiri. Namun penulis di sini ingin melihat perspektif lain dalam memaknai sosok guru. 

Terdapat kisah singkat dimana ada  seorang anak yang kurang beruntung. Setiap harinya ia harus pergi memungut sampah bekas botol plastik untuk kemudian dijual demi menghidupi dirinya sendiri juga adiknya, karena kedua orangtuanya telah meninggal. 

Pada suatu hari sang anak dan adiknya sedang menikmati santapan satu-satunya pada hari itu di teras toko dan kebetulan sedang hujan deras. Tidak lama kemudian ada pengendara motor yang menepi dan berteduh di teras toko itu juga. 

Tampak pengendara motor itu menggigil kedinginan dan agak kelaparan. Sang anak yang dari tadi melihat si pengendara tersebut merasa kasihan dan membagikan sepotong roti miliknya. 

Si pengendara pun berterimakasih kepada sang anak, lalu ia memakan roti tersebut. Namun selang beberapa saat setelah tersenyum, mulai jatuh beberapa tetesan air mata dari si pengendara. 

Ia baru menyadari bahwa yang memberinya roti tadi adalah anak pemulung bersama dengan adik kecilnya. Lantas ia bergegas mengejar sang anak untuk memberikan sebagian uangnya sebagai rasa terimakasih, akan tetapi ia terlambat karena mereka telah pergi dari teras toko itu. Ia pun bertekad untuk menolong orang lain walaupun sesusah apapun keadaannya sesuai yang ia bisa, sebagaimana teladan yang telah diberikan oleh sang anak pemulung.

Dari kisah di atas menggambarkan bagaimana sesosok "guru" itu dapat melekat pada siapa saja, tak terkecuali anak kecil yang sebagian kita anggap sebagai makhluk yang lemah. 

Maka dari itu, penulis hendak mengajak kita semua untuk kembali merenungkan dua sosok manusia yang berperan penting dalam kehidupan, yakni ayah dan ibu dari sisi pendidikan. 

Tentu semua telah sepakat bahwa orangtua memiliki peran besar dalam hal mendidik dan membesarkan serta mengawasi tumbuh kembang anak mereka. Namun pada banyak kasus, seringkali anak tidak mendapatkan perhatian maupun kasih sayang yang cukup baik dari ayah, ibu, bahkan keduanya. 

Terdapat banyak alasan dan latar belakang hal itu terjadi, seperti  orangtua yang bercerai, keadaan ekonomi keluarga, broken home, kurangnya pemahaman orangtua dalam ilmu pendidikan anak, dan sebagainya. 

Permasalahan ini sangatlah kompleks, sehingga penulis mencoba memberikan sebuah kisah nyata dari seseorang untuk menggambarkan bagaimana besarnya peran orangtua dalam pendidikan anak dan menjadi sosok "guru" kehidupan yang sebenarnya.

Sebut saja namanya adalah Agan. Ia telah ditinggalkan oleh ayahnya sejak sekitar umur 2 tahun karena ada konflik dengan ibunya. Kedua orangtuanya bercerai dan mengharuskan sang ibu mencari nafkah untuk membesarkan Agan hingga dewasa. Ibunya harus pergi ke kota besar Jakarta dan terpaksa menitipkan Agan ke rumah kakeknya di sebuah desa yang ada di Jawa Timur. 

Singkat cerita selama kurang lebih 10 tahun Agan tidak banyak bertemu ibunya yang hanya mampu menjenguknya mungkin 6 bulan sekali atau pada hari-hari libur tertentu. Keadaan ini mengharuskan Agan kecil untuk menjalani kehidupan masa kecilnya tanpa adanya arahan dan bimbingan sosok ayah juga ibu secara langsung. 

Ia telah kehilangan sesosok figur "ayah" yang harusnya mengajarinya menjadi anak laki-laki yang memiliki jiwa tanggung jawab, berani, tegas, dan berwibawa. 

Agan kecil seringkali mendapatkan perlakuan tidak baik dari teman-temannya di sekolah, mulai dari kekerasan psikis berupa cacian dan makian bahkan fisik yang hingga kini meninggalkan bekas luka di tangannya. Di sisi lain ia pun lebih memilih untuk diam dan tidak melawan atas perlakuan teman-temannya itu serta tidak menceritakannya ke siapapun. 

Agan kecil pun pernah dimarahi oleh kakek dan nenek yang merawatnya karena ia telah melakukan tindakan "pencurian". Ia mengambil uang yang tidak sedikit dari dompet kakeknya karena disuruh oleh teman mainnya di rumah untuk membeli mobil "Tamiya" yang memang sedang tren saat itu.

Tidak sampai hanya pada  masalah tersebut, Agan dihadapkan lagi pada keadaan dimana ayahnya meminta izin untuk dapat mengajaknya pergi jalan-jalan bersama dengan keluarga ayahnya juga istri baru beserta dua anaknya. 

Tentu dalam batin Agan sendiri mengalami gejolak yang luar biasa, karena ia telah didoktrin oleh ibunya bahwa sang ayah memiliki sifat dan sikap yang buruk karena telah pergi meninggalkan mereka berdua tanpa adanya tanggungjawab untuk memberi nafkah yang cukup. 

Agan kecil pun selalu bimbang dan gelisah bagaimana harusnya ia bersikap dan mengmabil posisi, karena guru di sekolah yang mengetahui kisahnya pun pernah berpesan walaupun sang ayah telah berbuat demikian, namun sampai kapanpun dia adalah ayah kandungnya. Sampai sekitar kelas 3 SD ibunya dapat bekerja di kampung halaman, membuat Agan senang, namun ia juga perlu beradaptasi lagi dalam hal komunikasi dengan ibunya, mengingat ia dengan ibunya jarang sekali bertemu.

Ujian demi ujian kehidupan ia lalui tanpa hadirnya seorang ayah. Sejak kelas 4 SD ia harus pindah sekolah lain di kota yang jaraknya kurang lebih 18 km. Ia terkadang harus naik bis sendiri ketika berangkat maupun pulang sekolah. 

Pernah ia nyaris menjadi korban pencopetan ketika duduk di barisan kursi belakang yang kebetulan waktu itu penumpang bis hanya beberapa orang saja. Hingga tiba masa awal-awal duduk di bangku SMA, pada tengah malam menjelang pagi Agan harus mengantarkan ibunya ke UGD rumah sakit terdekat. Ibunya tiba-tiba saja mengalami masalah ritme jantung, dan mengharuskannya untuk opname di rumah sakit. 

Agan harus berjibaku mengurusi ibunya yang sedang sakit sedangkan di lain sisi dia harus mengikuti pembelajaran di sekolah. Hari demi hari, tahun demi tahun berlalu, kondisi ibu Agan sudah mulai membaik meskipun telah divonis dokter memiliki penyakit kista ginjal, hipertensi, dan gangguan jantung. 

Kini Agan telah mengenyam pendidikan tinggi di salah satu  politeknik negeri terbaik di Indonesia. Namun kembali datang ujian yang terasa berat baginya. Pada semester 4 nenek yang telah mengasuh dirinya sejak kecil, bisa dibilang sebagai pengganti peran ibunya sementara meninggalkan dirinya untuk selamanya.

Agan saat ini merasakan  dirinya tidak memiliki tujuan hidup yang jelas, jati diri yang entah di mana ia harus temukan. Dia tidak memiliki sesosok yang dapat menjadi teladannya dalam menjalani kehidupan. Yang ia lakukan hanya sebatas mengikuti ke mana arah air mengalir, bila berbelok maka ia ikut belok, bila terjun ia pun ikut terjun. 

Agan merasa sangat sendiri mengalami masa-masa ujiannya selama ini, harus menahan perihnya sendiri. Akibatnya ia sering mengalami overthinking terhadap segala hal, khawatir berlebihan, dan takut melangkah lebih jauh.  Ia juga lebih memilih untuk tidak banyak berinteraksi sosial dengan orang lain, lebih suka menyendiri dan berhalusinasi. 

Sering juga ia tidak dapat mengontrol emosinya yang berujung pada marah-marah tidak pada tempatnya. Ia pun telah kehilangan banyak sifat laki-laki pada umumnya seperti pemberani, bertanggungjawab, berwibawa, tegas, dan mengambil keputusan dengan baik. Sehingga ia lebih memilih untuk menghindari masalah daripada menemui masalah karena trauma dan takut atas apa yang telah terjadi padanya. 

Dari  kisah ini tentu banyak sekali hikmah yang dapat kita ambil. Akan tetapi penulis menekankan masalah kehadiran orangtua dalam pendidikan seorang anak sangatlah berpengaruh terhadap prinsip dan jati diri yang terbentuk pada diri anak. 

Kehilangan sosok ibu dan ayah, terutama pada saat masa keemasan (golden age) yaitu saat anak di bawah usia 5 tahun, berdampak negatif pada tumbuh kembang anak. 

Mengutip artikel dari ruangmom.com, golden age adalah periode di mana otak dan fisik anak tengah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Masa emas anak terjadi ketika anak berumur 0-5 tahun. 

Orang tua harus tahu bagaimana memanfaatkan momen ini karena pada masa ini anak sedang kritis-kritisnya. Ini adalah waktu di mana berbagai pondasi perkembangan dan pertumbuhan terbentuk, terutama kecerdasan. 

Di masa balita, anak memperoleh banyak pengalaman baru tentang apapun. Pengalaman ini akan tertanam kuat pada alam bawah sadarnya yang akan diingat sampai dewasa. 

Di periode ini anak juga sedang berada pada tahap pembentukan kepribadian. Oleh karena itu, orang tua harus paham bagaimana cara memperlakukan anak agar tumbuh kembangnya di masa golden age ini berjalan optimal.

Oleh sebab itu, sangat penting bagi kita semua untuk menguatkan kembali peran orangtua sebagai guru ilmu kehidupan bagi anak, selain anak mendapatkan ilmu formal oleh guru di sekolah. 

Bagi orangtua yang masih lengkap dan diberi kesempatan yang cukup untuk membesarkan anak, maka hendaknya benar-benar memahami ilmu mendidik anak, terutama yang adalah bagaimana karakter anak dapat terbentuk sesuai harapan kita. 

Jangan sampai kesibukan bekerja atau  kesibukan-kesibukan lain membuat orangtua lalai dalam memperhatikan anak. Jangan sampai orangtua memiliki mindset bahwa bila anak sudah sekolah di lembaga formal maka orangtua tidak perlu lagi untuk mengajari anak bahkan mengacuhkan perkembangan spiritual dan emosi anak, dan hanya melihat nilai rapor yang hanya menginterpretasikan kemampuan akademis anak. 

Bagi orangtua yang kurang beruntung, entah dari sisi ekonomi maupun kelengkapan orangtua, baik hanya ada ayah ataupun ibu, hendaknya tetap semangat dan tidak menyerah untuk senantiasa memperhatikan tumbuh kembang serta kepribadian anak. Orangtua dapat memberikan perhatian luar biasa kepada sang anak dengan berbagai macam cara, intinya jangan sampai melepas begitu saja anak kepada pengasuhan orang lain.

Memberikan teladan yang baik, menunjukkan sikap yang kita inginkan terbentuk pada anak, sering berdiskusi dengan anak mengenai masalahnya, memberikan reward and challenge agar anak memiliki motivasi kuat dalam bertindak yang baik, menghindari kontak fisik yang berlebihan atau cenderung kasar kepada anak karena dapat menimbulkan trauma baginya, dan masih banyak lagi perang orangtua yang perlu kita pelajari kembali agar kita tidak hanya dikenal anak hanya sebagai pemberi uang saku, akan tetapi benar-benar sebagai orangtua dan guru, patut untuk dihormati, digugu dan ditiru (dipercaya dan diikuti).

Semoga renungan ini bermanfaat bagi kita semua.

Referensi :

https://www.ruangmom.com/golden-age.html

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun