Tentu dalam batin Agan sendiri mengalami gejolak yang luar biasa, karena ia telah didoktrin oleh ibunya bahwa sang ayah memiliki sifat dan sikap yang buruk karena telah pergi meninggalkan mereka berdua tanpa adanya tanggungjawab untuk memberi nafkah yang cukup.Â
Agan kecil pun selalu bimbang dan gelisah bagaimana harusnya ia bersikap dan mengmabil posisi, karena guru di sekolah yang mengetahui kisahnya pun pernah berpesan walaupun sang ayah telah berbuat demikian, namun sampai kapanpun dia adalah ayah kandungnya. Sampai sekitar kelas 3 SD ibunya dapat bekerja di kampung halaman, membuat Agan senang, namun ia juga perlu beradaptasi lagi dalam hal komunikasi dengan ibunya, mengingat ia dengan ibunya jarang sekali bertemu.
Ujian demi ujian kehidupan ia lalui tanpa hadirnya seorang ayah. Sejak kelas 4 SD ia harus pindah sekolah lain di kota yang jaraknya kurang lebih 18 km. Ia terkadang harus naik bis sendiri ketika berangkat maupun pulang sekolah.Â
Pernah ia nyaris menjadi korban pencopetan ketika duduk di barisan kursi belakang yang kebetulan waktu itu penumpang bis hanya beberapa orang saja. Hingga tiba masa awal-awal duduk di bangku SMA, pada tengah malam menjelang pagi Agan harus mengantarkan ibunya ke UGD rumah sakit terdekat. Ibunya tiba-tiba saja mengalami masalah ritme jantung, dan mengharuskannya untuk opname di rumah sakit.Â
Agan harus berjibaku mengurusi ibunya yang sedang sakit sedangkan di lain sisi dia harus mengikuti pembelajaran di sekolah. Hari demi hari, tahun demi tahun berlalu, kondisi ibu Agan sudah mulai membaik meskipun telah divonis dokter memiliki penyakit kista ginjal, hipertensi, dan gangguan jantung.Â
Kini Agan telah mengenyam pendidikan tinggi di salah satu  politeknik negeri terbaik di Indonesia. Namun kembali datang ujian yang terasa berat baginya. Pada semester 4 nenek yang telah mengasuh dirinya sejak kecil, bisa dibilang sebagai pengganti peran ibunya sementara meninggalkan dirinya untuk selamanya.
Agan saat ini merasakan  dirinya tidak memiliki tujuan hidup yang jelas, jati diri yang entah di mana ia harus temukan. Dia tidak memiliki sesosok yang dapat menjadi teladannya dalam menjalani kehidupan. Yang ia lakukan hanya sebatas mengikuti ke mana arah air mengalir, bila berbelok maka ia ikut belok, bila terjun ia pun ikut terjun.Â
Agan merasa sangat sendiri mengalami masa-masa ujiannya selama ini, harus menahan perihnya sendiri. Akibatnya ia sering mengalami overthinking terhadap segala hal, khawatir berlebihan, dan takut melangkah lebih jauh. Â Ia juga lebih memilih untuk tidak banyak berinteraksi sosial dengan orang lain, lebih suka menyendiri dan berhalusinasi.Â
Sering juga ia tidak dapat mengontrol emosinya yang berujung pada marah-marah tidak pada tempatnya. Ia pun telah kehilangan banyak sifat laki-laki pada umumnya seperti pemberani, bertanggungjawab, berwibawa, tegas, dan mengambil keputusan dengan baik. Sehingga ia lebih memilih untuk menghindari masalah daripada menemui masalah karena trauma dan takut atas apa yang telah terjadi padanya.Â
Dari  kisah ini tentu banyak sekali hikmah yang dapat kita ambil. Akan tetapi penulis menekankan masalah kehadiran orangtua dalam pendidikan seorang anak sangatlah berpengaruh terhadap prinsip dan jati diri yang terbentuk pada diri anak.Â
Kehilangan sosok ibu dan ayah, terutama pada saat masa keemasan (golden age)Â yaitu saat anak di bawah usia 5 tahun, berdampak negatif pada tumbuh kembang anak.Â