"Udah berapa kali Emak bilang, potong rambut lu yang kayak preman itu!"
Teriakan Emak masih saja terngiang di telinga Andi. Dia menendang kerikil di trotoar sambil terus berjalan. Sore yang gerah di Tangerang membuatnya tambah kesal. Keringat mengucur dari balik rambutnya yang dicat merah - hasil nebeng cat rambut teman band-nya minggu lalu.
"Buset dah, panas banget," gumamnya sambil menyeka keringat. Tas gitar butut tersampir di bahunya, hasil menabung dari kerja paruh waktu di warnet. Andi baru pulang latihan, lebih tepatnya nongkrong bareng teman-teman punk-nya di kolong jembatan dekat stasiun.
Hp-nya bergetar. Sebuah pesan masuk - dari emak.
"Jangan lupa beli beras 5 kilo. Uangnya pake yang kemaren Emak kasih."
Andi mengusap layar hp-nya yang retak. Uang yang harusnya buat beli senar gitar minggu depan terpaksa untuk membeli beras. Meskipun uang itu adalah pemberian emak. Dia menghela napas panjang.
Setibanya di warung Mpok Minah, dia berpapasan dengan Om Rahmat, tetangga sebelah yang kerja di bank. Seperti biasa, Om Rahmat meliriknya sinis.
"Tuh kan Andi, udah Oom bilang. Rambut kayak gitu mana ada yang mau nerima kerja. Coba kayak Deni tuh, anaknya Bu Ratna. Udah jadi manager bank dia."
Andi cuma tersenyum tipis. Basi. Tiap ketemu pasti ceramah hal yang sama, topik yang sama dan orang yang sama. Kadang dia pengen teriak: emangnya salah kalau gue suka punk? Nilai sekolahnya dulu juga bagus-bagus aja. Band-nya juga mulai dapat job manggung, meski masih di acara-acara kecil. Baru merintis, wajar lah!
"Makasih Om sarannya," jawab Andi sekenanya, sambil menenteng beras yang baru dibeli.