Emak menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengiris bawang.
"Andi tau. Emak sama Bapak nggak suka liat Andi kayak gini. Tapi Andi janji, Mak. Andi bakal buktiin kalo musik bukan cuma buat seneng-seneng. Andi udah mulai dapet honor manggung kok, lumayan lah buat bantu-bantu di rumah."
Tiba-tiba semua menjadi hening sejenak. Suara penggorengan yang mendesis jadi terdengar lebih keras.
"Bener ya? Jangan bikin malu." Suara Emak memecah keheningan.
Andi mendongak tak percaya. Senyumnya mengembang. "Serius Mak? Emak mau dateng?"
"Ya... Emak pikir-pikir dulu. Tapi inget, besok potong rambut."
"Mak, pleaseeee... rambutnya jangan. Andi janji bakal lebih rajin bantuin Emak deh."
Emak menggeleng-geleng, tapi ada senyum tipis di sudut bibirnya.
Malam itu, sambil tiduran di kasur butut-nya, Andi memandangi poster-poster band punk di dinding kamarnya. Mungkin benar kata Rio, vokalis band-nya: being punk is not about how you look, it's about how you think and act.
Dia meraih gitar tuanya, memetik pelan lagu yang akan dibawakan besok. Lagu tentang anak muda, pemberontakan, dan pencarian jati diri. Tapi juga tentang keluarga, tentang Emak yang diam-diam selalu menyisihkan lauk lebih untuknya, tentang Bapak yang pura-pura tidur waktu dia pulang larut sehabis manggung.
Mungkin memang butuh waktu untuk orang-orang disekelilingnya mengerti. Tapi setidaknya, hari ini Emak sudah membuka sedikit pintu hatinya. Dan buat Andi, itu adalah setengah jalan pulang.