Saat itu, istriku yang sedang hamil tua menerobos masuk ke dalam ruangan Balai Adat. Wajahnya pucat, tangannya gemetar memegang sebuah surat. "Uda.. Uda... Â Ini... Ini surat wasiat dari almarhum ayah..."
Segeraku raih kertas kusam itu, dengan tangan gemetar aku membaca surat itu. Ternyata ayah mertuaku, sebelum meninggal, sudah mengetahui semua kebusukan itu. Dan dia punya rencana balas dendam - semua harta yang dia wariskan untuk anakku sudah dia wakafkan ke tiga puluh tujuh masjid. Surat wakafnya baru akan dibuka saat dia genap meninggal tiga tahun - yaitu minggu depan.
"Kalau surat wakaf itu dibuka," istriku terisak, "anak-anak kita akan jadi pengemis. Tapi... kalau tidak... kita makan harta wakaf. Anak dalam kandunganku ini... lahir dalam kutukan..."
Tiba-tiba, salah satu kemenakan perempuanku pingsan. Dia hamil hasil hubungan dengan pria yang ternyata... masih saudara sedarah. Sama sepertiku dan istriku. Lingkaran kutukan ini ternyata sudah menjalar ke generasi berikutnya.
Matahari sore menyusup samar-samar melalui jendela-jendela di Balai Adat, menyinari wajah-wajah pucat yang harus memilih - membongkar kebusukan dan menghancurkan hidup ribuan orang, atau melanjutkan dosa dan menanggung kutukan sampai anak cucu.
Di luar, terdengar sayup-sayup azan Ashar. Semua orang terdiam. Apakah Tuhan ikut andil menoreh dosa-dosa di dalam luka seribu turunan itu? [IM]
-Tamat-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI