"Dan ini!" Mak Tuo Siti mengeluarkan dokumen lain. "Tanah kita yang di Maninjau... itu tanah wakaf masjid yang dicuri! Pantas saja tiga generasi keluarga kita tidak ada yang bisa naik haji. Kita memakan harta haram!"
Aku mencoba membela diri, "Tapi Mak Tuo... kalau ini dibongkar..."
"DIAM!" bentaknya. "Masih mau kau berkilah? Mau tahu kau rahasia yang lebih busuk? Istri kau itu... dia cucu orang yang dibunuh kakek kita! Dan yang lebih sial lagi... dia itu sebenarnya masih sepupu kau!"
Kali ini seluruh ruangan terkesiap. Ya, Mak Tuo Siti menemukan fakta yang bahkan aku tidak tahu - bahwa kakek buyutku yang Belanda itu ternyata punya anak lain dengan adik dari nenek pewaris asli. Jadi secara teknis, aku dan istriku masih sedarah.
"Bangsat kau!" Salah satu mamak melempar kursi ke arahku. "Sudah merampas harta orang, menikah sesuku pula! Pantas saja anak-anakmu cacat!"
Rahasia terakhir yang paling kusembunyikan akhirnya terbongkar. Tiga dari lima anakku lahir dengan kelainan genetik. Dan bayi dalam kandungan istriku... hasil USG menunjukkan kelainan yang sama.
"Ini belum semuanya!" Mak Tuo Siti mengeluarkan dokumen terakhir. "Kalian ingat bencana longsor yang menewaskan lima puluh orang sepuluh tahun lalu? Itu bukan bencana alam! Itu karena si bajingan ini menambang emas ilegal di tanah adat!"
Ya, satu lagi dosaku terbongkar. Aku menambang emas secara ilegal di tanah yang bahkan bukan milikku secara sah. Tanah yang seharusnya jadi kuburan keramat.
"Kalian mau tahu siapa yang lebih berdosa?" Mak Tuo tersenyum sinis. "Tanya suami-suami kalian... darimana asal uang untuk naik haji mereka itu?"
Semua terdiam. Ya, seluruh kaum sudah terlibat. Semua mamak yang naik haji, semua kemenakan yang kuliah di luar negeri, semua pembangunan rumah gadang... dibiayai dari hasil tambang emas ilegal itu.
"Jadi sekarang..." Mak Tuo menatapku tajam. "Mau dilanjutkan atau tidak pengusutan ini? Kalau diteruskan... seluruh kaum akan masuk penjara. Kalau didiamkan... kutukan ini akan terus sampai seribu turunan."