Tidak sanggup aku memberitahunya. Tidak sampai hati aku melihatnya hancur, apa lagi mengetahui bahwa suaminya adalah keturunan pembunuh keluarganya. Bahwa anak-anaknya adalah hasil persilangan darah yang seharusnya tidak terjadi.
Sialnya, masalah tidak berhenti di situ. Dari surat-surat yang kutemukan, ternyata kakek buyutku yang bangsat itu punya rencana lebih mengerikan. Dia memastikan keturunan-keturunannya dijodohkan dengan keluarga-keluarga pewaris tanah lain, menciptakan jaring-jaring keji yang membuat kekuasaannya tidak bisa diganggu gugat.
Sekarang, hampir seluruh tanah pusaka di Nagari ini terhubung dengan kekejian itu. Membongkarnya berarti menghancurkan struktur sosial seluruh Nagari. Ribuan orang akan kehilangan hak warisnya. Ratusan pernikahan harus dibatalkan. Mereka akan kehilangan gelar sukunya.
Matahari semakin terik, membakar pikiranku yang semakin kalut. Kulihat anak-anakku bermain di halaman rumah megah hasil perbuatan yang menjijikkan. Mereka sedang tertawa riang, andai saja mereka tahu kalau darah mereka adalah campuran dari dendam dan dusta, apakah mereka masih sanggup untuk tertawa. Andai saja mereka tahu kalau ayahnya harus memilih - membiarkan bangkai ini terus berlanjut, atau harus menghancurkan hidup ribuan orang demi menegakkan kebenaran.
Aku memtuskan untuk mengubur kembali kotak besi sialan itu, bersama dengan harapan-harapan akan kebenaran yang tidak sanggup kubongkar. Mungkin ini karma. Mungkin juga ini kutukan. Mungkin inilah harga yang harus dibayar oleh keturunan penipu - menanggung dosa dalam diam, membawa rahasia yang membusuk sampai mati.
Sore menjelang saat aku berjalan ke Balai Adat. Dalam bahasa Minang, Balai Adat adalah bangunan tempat musyawarah diselenggarakan, dipimpin oleh kepala suku. Tempat untuk melakukan perundingan dalam mengambil keputusan.
Hari ini aku harus memimpin rapat kaum, menentukan jodoh untuk dua kemenakan perempuanku. Lagi-lagi aku harus berpura-pura, menjadi mamak, demi melanggengkan lingkaran kenistaan ini. Karena terkadang, kebenaran bisa lebih menyakitkan dari dusta. Dan dusta yang terlanjur mengakar, mungkin harus dibiarkan tumbuh sampai mati dengan sendirinya.
Aku baru saja hendak menutup rapat kaum ketika Mak Tuo Siti tiba-tiba berdiri, melemparkan setumpuk kertas ke mukaku. "Bajingan! Akhirnya ketemu juga buktinya!"
Jantungku berhenti berdetak. Di hadapan seluruh kaum, wanita tua itu membuka kedok yang selama ini kusembunyikan. Ternyata dia sudah menyelidiki semuanya - dari arsip kolonial Belanda sampai tes DNA yang dia lakukan diam-diam pada seluruh anggota keluarga.
"Kalian lihat ini?!" teriaknya sambil menunjukkan hasil tes. "Kita semua tidak ada hubungan darah dengan kaum Piliang! Kita keturunan Belanda, keturunan penipu! Dan si keparat ini," dia menunjuk mukaku, "sudah tahu semuanya tapi diam saja!"
Ruangan Balai Adat mendadak riuh. Puluhan pasang mata menatapku dengan amarah. Tapi, mereka belum tahu yang terburuk.