***
Di malam sebelum seminar, Rama duduk di depan laptop-nya, memandangi halaman terakhir novelnya yang masih kosong. Dia telah menulis ribuan kata, menciptakan karakter-karakter yang tampak begitu nyata bahkan terkadang dia dapat mendengar suara-suara mereka di dalam kepalanya. Tapi, bagaimana cara mengakhiri cerita tentang keraguan? Bagaimana menutup narasi tentang pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab?
Jemarinya bergerak di atas keyboard, mengetik satu kalimat:
"Mungkin kita tidak perlu takut pada mesin yang bisa menulis seperti manusia, tapi seharusnya takut pada manusia yang mulai berpikir seperti mesin."
Dia berhenti, membiarkan kursor di layar laptopnya berkedip-kedip di layar. Novel itu tidak akan pernah benar-benar selesai, pikirnya. Seperti pertanyaan tentang eksistensi manusia yang akan terus bergema di tengah perkembangan teknologi yang melesat cepat, seperti ragu yang akan selalu menjadi bagian dari proses kreatifitas manusia.
Pagi harinya, saat Rama berdiri di podium seminar, dia memulai pidatonya dengan sebuah pertanyaan sederhana: "Jika suatu hari nanti AI bisa menulis cerita yang tidak bisa dibedakan dari karya manusia, apakah hal itu akan membuat cerita yang kita buat menjadi tidak berharga? Atau justru malah sebaliknya?"
Ruangan itu hening. Di antara ratusan wajah yang menatapnya, dia bisa melihat Dinda, Kinanti, dan Bagas tersenyum. Jasmine duduk di barisan paling belakang, tangannya sibuk mencatat. Dan di sudut ruangan, seorang mahasiswa mengangkat tangan, siap mengajukan pertanyaan yang mungkin tidak akan pernah dapat terjawab dengan pasti.
Rama tersenyum. Dia telah belajar bahwa sebenarnya tulisan yang indah itu tidak pernah ada, yang ada hanya keberanian untuk terus bertanya. Meyakini bahwa sebenarnya eksistensi manusia tidak perlu diukur dari kesempurnaan, namun dari keberaniannya untuk tetap berkarya di tengah-tengah badai keraguan terhadap mesin kecerdasan.
***
Di laptopnya yang terbuka, kursor itu masih berkedip-kedip di sebuah lembar dari novel yang belum selesai, menunggu kata-kata berikutnya, menunggu pertanyaan-pertanyaan baru yang akan selalu datang, seperti ombak yang tidak pernah lelah mencium pantai.
Dia tidak lagi peduli terhadap apa pun yang akan dikatakan orang. Dia menulis hanya untuk dirinya sendiri, hanya untuk pembaca yang masih percaya pada kekuatan kata-kata yang lahir dari kegelisahan, dari palung terdalam jiwa manusia. Karena pada akhirnya, keindahan sejati terletak pada ketidaksempurnaan, pada jejak-jejak kemanusiaan yang tertinggal dalam setiap karya.