***
Sebulan berlalu sejak kejadian itu. Rama telah kembali ke dalam rutinitas menulisnya, namun ada sesuatu telah berubah. Kejadian kemarin itu telah meninggalkan bekas luka yang tidak tampak oleh mata, sebuah perubahan dalam caranya memandang dunia. Setiap kata yang dia susun membawa beban dari sebuah pembuktian, setiap kalimat yang dia rangkai harus menjadi pesakitan di ruangan pengadilan para pembaca.
"Mas," panggil Dinda di suatu pagi, "ada tawaran menarik nih... dari Universitas Jakarta. Mereka mengundang Mas jadi pembicara dalam seminar 'Kreativitas di Era Digital'."
Rama mengangkat alisnya. "Mereka masih mau denger penulis yang pernah dituduh pake AI?"
"Justru karena itu, Mas!" Dinda tersenyum. "Mereka ingin Mas berbagi pengalaman. Tentang... bagaimana rasanya ketika kreativitas manusia dipertanyakan keasliannya."
Rama kemudian mengangguk. Di tengah kesibukannya untuk persiapan seminar, Rama menerima sebuah email yang mengejutkan. Jasmine, sang blogger yang dulu mempertanyakan keaslian karyanya, mengaku bahwa dia telah menggunakan AI untuk menulis beberapa review buku. "Ironis, bukan?" tulisnya. "Aku yang menuduh kau menggunakan AI, malah terjebak dalam kemudahan yang ditawarkannya."
Pengakuan itu menggelitik pikiran Rama. Dia mendapatkan ide untuk menulis sebuah novel baru, kali ini tentang seorang kritikus seni yang kehilangan kemampuannya untuk membedakan antara karya manusia dan karya AI. Setiap bab yang ditulis membuatnya bergidik merinding, dia membayangkan mungkin suatu hari nanti, AI mampu menulis seindah manusia.Â
Tapi, bagaimana mungkin mesin kecerdasan buatan itu bisa menulis tanpa seorang penulis? Bukankah untuk menjadikannya indah dibutuhkan kejelian mata seorang penulis? Dibutuhkan kepiawaian seorang penulis untuk menjadikan kisahnya menyayat hati? Rama tidak lagi mempertanyakannya, dia mengerti bahwa sebuah karya tetaplah harus melewati tangan dingin sang maestro, apa pun alat yang dipakainya.
"Kau beda sekarang, Ram," komentar Bagas suatu sore. "Tulisan kau… terasa lebih dalam, tampak lebih berani mengakui kelemahan-kelemahan manusia."
Rama menyesap kopinya. "Ya… mungkin karena aku udah gak lagi nulis untuk membuktikan sesuatu. Aku nulis karena ini lah caraku bertanya, caraku untuk meragukan sesuatu, caraku untuk mengatakan kalau aku masih ada."
Sore itu juga, Kinanti, yang baru saja membaca draft novel terbarunya, mengirim pesan singkat: "Ini bukan tentang AI atau manusia lagi, Ram. Ini tentang ketakutan kita akan kesempurnaan."