"Kopinya masih sama, tapi ceritanya sudah banyak berubah ya, Mak," kata Rizal sambil membolak-balik halaman koran edisi pagi.
Mak Minah tersenyum, menuang kopi dengan gerakan yang sudah ribuan kali dilakukannya. "Hidup memang begitu, Zal. Yah... mengalir aja kaya kopi yang Mak bikin ini."
Di halaman depan koran itu, tercetak foto pasar mereka, dengan tulisan sebagai Artikel Utama: "Pembangunan Mall Ditunda, Pemkot Janjikan Dialog dengan Pedagang." Bukan kemenangan besar, tapi setidaknya suara mereka mulai didengar.
"Tapi masih banyak yang harus diperjuangkan," Bu Yati menimpali dari balik meja sambil mengunyah pisang goreng. Kini dia tidak sendiri ada beberapa pedagang yang rajin mendampinginya dalam setiap pertemuan. "Mereka bilang kan mau dialog, tapi kita belum tahu dialognya kayak apa, sih?"
Pak Karman yang baru selesai narik angkot dari pagi masuk ke warung kopi dengan wajah lelah, tapi sorot matanya berbinar. "Tadi ada wartawan naik angkot saya. Katanya mau meliput kisah pasar kita untuk koran nasional."
Rizal mengeluarkan buku catatannya yang kini nyaris penuh. Ada banyak cerita yang belum ditulisnya --- tentang Mbok Sarni yang sudah berjualan singkong rebus selama tiga puluh tahun, tentang Mas Agus yang mewarisi kios sembako dari almarhum ayahnya, tentang anak-anak yang bermain laying-layang di antara lapak-lapak yang berjajar pada sore hari.
"Kadang saya berpikir," Rizal memulai, "apa yang akan terjadi ya, dengan tempat ini... Â sepuluh tahun lagi? Dua puluh tahun lagi?"
Mak Minah mengambil gelas-gelas kosong dari meja sebelah. Di luar, langit mulai lelah berpijar, membawa serta angin yang menggoyang spanduk-spanduk pembangunan yang mulai memudar.
"Kamu masih ingat kata-kataku dulu, Zal? Tentang kopi yang mengalir?" Mak Minah berhenti sejenak. "Kopi itu sederhana --- hanya air dan bubuk. Tapi liat bagaimana dia bisa mempertemukan orang, bikin mereka ngobrol, bikin mereka mau dengar suara-suara sumbang."
"Dan menulis," tambah Rizal, menepuk buku catatannya.
"Dan menulis," Mak Minah mengangguk. "Bisa jadi itu juga jadi bagian yang penting --- bukan siapa yang menang atau siapa yang kalah, tapi bagaimana kita tetap di sini, tetap menuang kopi, tetap bercerita, dan tetap mendengarkan."