Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suara bagi Mereka yang Terbungkam

14 Januari 2025   13:18 Diperbarui: 16 Januari 2025   06:59 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Life Of Pix: https://www.pexels.com/photo/brass-colored-metal-padlock-with-chain-4291/

AROMA kopi yang menguar  di udara, bercampur dengan asap tipis dari dapur warung kecil Mak Minah. Di sudut warung yang catnya sudah mengelupas, duduk seorang laki-laki dengan kemeja putih yang sudah lusuh dengan celana kain yang sudah tidak lagi berwarna hitam. Namanya Rizal, guru honorer di SD Negeri 3 yang gajinya selalu ingkar janji.

"Seperti biasa ya. Mak," ucapnya sambil mengangguk, dia mengeluarkan dompet kulit yang sudah menipis.

Mak Minah mendelik, tangannya yang keriput dengan cekatan menuang kopi dari panci aluminium yang sudah hitam legam termakan api itu ke dalam gelas kaca bening bermotif bunga-bunga. "Kopi susu satu, sama pisang goreng tiga ya, Zal?"

Warung Mak Minah itu bagikan pentas kecil demokrasi di pinggiran kota ini. Setiap sore, orang-orang berkumpul --- dari tukang becak sampai pegawai kelurahan --- duduk bersama membahas apa saja. Tidak ada sekat, tidak ada batas. Hanya ada suara-suara yang bebas mengalir menembus kepulan asap rokok yang menari-nari bersama uap dari kopi panas.

"Dengar-dengar mau ada pembangunan mall di bekas pasar tradisional ya, Mak?" Rizal menyesap kopinya pelan.

"Iya, Zal. Kemarin udah ada yang survei-survei tuh. Katanya mau 'memodernkan' kota," Mak Minah menghela napas. "Tapi ya begitulah, kita mah para pedagang kecil ini gak pernah ditanya maunya apa."

Dari meja sebelah, Pak Karman ---sopir angkot yang sudah 20 tahun mengenal jalanan kota --- ikut nimbrung. "Namanya juga pembangunan, Min. Kita mah siapa? Orang kecil. Yang penting buat mereka itu kan prosedur udah dijalanin, sosialisasi juga udah, meskipun cuma formalitas doang."

Rizal menatap pisang goreng di piringnya yang mulai mendingin. Di kepalanya berkelebat wajah-wajah muridnya yang sebagian besar anak pedagang pasar. Andi yang ibunya jualan sayur, Siti yang bapaknya tukang daging, Maya yang tiap pagi membantu neneknya menata buah-buahan.

"Tapi, kan... seharusnya kita punya suara?" gumamnya pelan. "Maksud saya, ini kan menyangkut nasib banyak orang."

"Suara?" Pak Karman tertawa getir. "Suara kita ini sama seperti dengung nyamuk, Zal. Ada tapi gak pernah dipeduliin."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun