Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suara bagi Mereka yang Terbungkam

14 Januari 2025   13:18 Diperbarui: 16 Januari 2025   06:59 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Life Of Pix: https://www.pexels.com/photo/brass-colored-metal-padlock-with-chain-4291/

Semua mata tertuju pada koran yang dibentangkan Mak Minah. Di halaman lima, tercetak rapi tulisan Rizal, lengkap dengan foto pasar di pagi hari. Pak Tanto yang pertama bereaksi, "Wah, ini bagus banget, Zal. Kayak baca kisah hidup kita sendiri ini."

"Ada yang telepon saya kemarin," Rizal melanjutkan ucapannya. "Dari LSM peduli pasar tradisional. Mereka mau bantu kita, untuk mengajukan kajian ulang rencana pembangunan mall ini."

Bu Yati mengerjapkan mata yang mulai berkaca-kaca. "Maksudmu, masih ada harapan?"

"Selalu ada harapan, Bu," Rizal tersenyum. "Yang penting kita tidak berhenti bersuara. Mungkin tidak semua orang akan mendengar, tapi pasti ada yang peduli, kan?"

Mak Minah mengangguk setuju sambil menuangkan kopi panas ke gelas-gelas yang kosong. "Yang penting jangan pakai kekerasan. Kita bicarakan saja baik-baik, cari jalan tengahnya."

"Besok sore, saya ada pertemuan dengan pihak LSM," Rizal mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya. "Mereka mau dengar langsung cerita dari para pedagang. Bu Yati mau ikut?"

Satu per satu, mereka mengangguk setuju. Bahkan Pak Karman yang biasanya pesimis pun ikut-ikutan antusias. "Zal, saya bisa ikut bantu jemput kalau ada yang mau datang," tawarnya. "Angkot saya kan kosong kalau udah sore."

Di luar, langit sore semakin memerah, cahayanya menantang spanduk-spanduk pembangunan mall yang berkibar ditiup angin. Di dalam warung Mak Minah, sebuah harapan dan keberanian untuk bersuara muncul dari secangkir kopi bersama obrolan sederhana di sore hari.

"Besok saya mau masak pisang goreng yang banyak," kata Mak Minah. "Biar ada yang dimakan sambil rapat."

Rizal tersenyum, menutup buku catatannya perlahan. Mungkin memang benar kata Pak Karman, suara mereka seperti dengung nyamuk. Tapi, bukankah nyamuk, bila berkumpul banyak, bisa membuat orang yang paling keras kepala pun akhirnya mendengar?

Sebulan kemudian, warung Mak Minah masih berdiri kokoh di sudut jalan. Tapi kini ada yang berbeda --- di dindingnya yang mengelupas tertempel kliping-kliping koran, foto-foto pasar, dan selembar kertas berisi jadwal pertemuan rutin pedagang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun