Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Orkestra Jubah Keangkuhan

12 Januari 2025   08:08 Diperbarui: 11 Januari 2025   14:24 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SELALU begitu sejak dulu. Setiap langkahmu penuh dengan keyakinan yang meluap-luap, dunia ini adalah panggung yang diciptakan Tuhan khusus hanya untukmu saja. Aku hanya bisa memandang dari kejauhan, menyaksikan bagaimana kamu menari di atas awan-awan kesombonganmu.

Masih kuingat hari pertama kita bertemu di perpustakaan itu. Kamu duduk di sudut ruangan, dikelilingi tumpukan buku-buku tebal tentang filsafat dan sastra klasik. Matamu berkilat-kilat penuh semangat ketika membahas teori-teori rumit yang sama sekali tidak kupahami. "Kamu harus membaca Nietzsche," katamu dengan nada menggurui. "Dia akan membuka mata kamu tentang eksistensi manusia."

Entah mengapa, aku tertarik dengan cara bicaramu yang penuh percaya diri itu. Mungkin karena aku adalah kebalikan darimu---selalu ragu, selalu mencari-cari pembenaran atas setiap keputusan kecil dalam hidupku. Kamu seperti mercusuar yang bersinar terang di tengah gelapnya keragu-raguanku.

Hari demi hari, aku semakin terpikat. Kita mulai menghabiskan waktu bersama di warung kopi dekat kampus. Lalu, kamu berbicara panjang lebar tentang impianmu menjadi penulis besar, tentang novel-novel yang akan kamu tulis suatu hari nanti. "Aku akan mengubah cara orang memandang sastra Indonesia," ucapmu dengan mata berbinar. "Karyaku akan dibicarakan orang selama berabad-abad."

Aku mengangguk kemudian tersenyum, meski dalam hati, aku bertanya-tanya apakah semua itu hanya omong kosong belaka. Tapi, untuk apa aku meragukan mimpi kamu itu? Aku bukan siapa-siapa. Kamu selalu mendapatkan nilai tertinggi di kelas Pengkajian Naskah Klasik, sementara aku harus berjuang keras hanya untuk mendapat nilai B.

Suatu malam, kamu mengajakku ke atap gedung perpustakaan. Langit Jakarta terhampar luas di hadapan kita, berkilauan dengan cahaya dari ribuan lampu. "Lihat itu," katamu sambil menunjuk ke cakrawala. "Suatu hari nanti, namaku akan bersinar lebih terang dari lampu-lampu itu."

Aku ingin percaya. Sungguh, aku ingin percaya bahwa semua mimpi-mimpi besarmu akan menjadi kenyataan. Tapi kemudian, realita perlahan mulai menunjukkan taringnya.

Naskah novel pertamamu ditolak oleh lima penerbit berbeda. "Mereka tidak mengerti visiku," teriakmu dengan nada getir, "mereka cuma sibuk cari penulis buku-buku populer yang mudah dijual." Tapi, aku sudah membaca naskahmu---sebuah karya yang terlalu ambisius, terlalu rumit, dan terlalu sibuk menunjukkan kepintaranmu hingga melupakan esensi sebuah cerita.

Kamu kemudian mulai mulai menulis artikel-artikel tajam di blog pribadimu, mengkritik keras industri penerbitan Indonesia. Setiap kritikan yang kamu terima malah membuatmu semakin tertutup, semakin yakin bahwa dunialah yang salah, bukan dirimu.

"Mereka semua gak mengerti," celotehmu suatu malam, setelah sekian gelas kopi yang kamu teguk untuk menghilangkan kusutnya pikiranmu karena frustrasi. "Indonesia belum siap dengan karya-karyaku, tulisan-tulisan gilaku. Kayaknya aku terlahir di waktu yang salah."

Aku mulai melihat retakan-retakan dalam topeng kesempurnaanmu. Bagaimana kamu selalu memandang rendah karya orang lain, bagaimana kamu menolak untuk belajar dari kritik yang membangun, bagaimana kamu selalu mencari-cari alasan untuk setiap kegagalan yang kamu hadapi.

Sementara itu, aku diam-diam mulai menulis. Tanpa gembar-gembor, tanpa proklamasi akan mengubah dunia sastra. Aku hanya menulis tentang hal-hal sederhana---tentang pedagang bubur di depan kosku, tentang kucing liar yang selalu mengunjungi kamarku setiap sore, tentang kesepian yang mengendap di sudut-sudut kota Jakarta, semua yang aku nikmati dari sudut pandangku.

Suatu hari, salah satu cerpenku dimuat di sebuah majalah sastra. Kamu membacanya dengan dahi berkerut. "Terlalu sederhana," komentarmu. "Kamukan menulis lebih dalam, dari pada ini. Liat, metafora yang kamu tulis aja sangat dangkal."

Tapi pembaca tidak berpikir demikian. Mereka menemukan kejujuran dalam kesederhanaan tulisanku. Satu cerpen berbuah menjadi tulisan-tulisan lainnya. Dalam setahun, aku sudah memiliki cukup materi untuk sebuah kumpulan cerpen.

Ketika buku pertamaku terbit, kamu mencibir. Aku hanya menerima pesan singkat darimu: "Selamat. Tapi ingat, kesuksesan komersial tidak selalu berarti kualitas sastranya tinggi."

Kini, lima tahun berlalu sejak hari pertama kita bertemu di perpustakaan itu. Aku sudah menerbitkan tiga buku, sementara kamu masih berkutat dengan hal yang sama, sesuatu yang tidak kunjung selesai. Kamu masih menulis artikel-artikel pedas di blogmu, masih mengkritik keras semua yang tidak sesuai dengan standar egomu.

Kadang aku melihatmu di acara-acara sastra, masih dengan gaya bicaramu yang sama---penuh keyakinan, penuh teori, tapi semua itu terasa hampa. Orang-orang di sekitarmu satu per satu menjauh, lelah dengan monolog-monolog panjangmu tentang kejayaan sastra yang kamu impikan tapi tidak pernah kamu wujudkan.

Suatu hari, aku memberanikan diri untuk bicara denganmu. "Mungkin sudah waktunya untukmu berhenti. Berhenti orang yang merasa paling hebat," kataku pelan. "Mungkin sudah waktunya untuk kamu mulai mendengarkan."

Kamu menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan---campuran antara amarah, kesedihan, dan sepertinya ada sedikit penyesalan. Sayangnya, ego telah terlanjur mengakar terlalu dalam. "Kamu ngak mengerti," ucapmu, sebelum berbalik pergi.

Dan mungkin memang aku tidak pernah mengerti. Tidak mengerti bagaimana seseorang bisa begitu yakin dengan kehebatan dirinya hingga lupa bahwa kehebatan sejati justru lahir dari kerendahan hati. Tidak mengerti bagaimana kesombongan bisa membutakan seseorang dari keindahan sederhana yang ada di sekitarnya.

Kini, setiap kali aku menulis, aku selalu teringat padamu. Bukan sebagai inspirasi, tapi sebagai pengingat. Pengingat bahwa kesombongan adalah racun bagi kreativitas, bahwa merasa paling hebat hanya akan membawaku ke jalan buntu yang tidak berujung.

Di malam-malam ketika aku duduk di depan laptop, merangkai kata demi kata dengan keraguan yang masih sering menghantuiku, aku bersyukur, karena aku tidak menjadi sepertimu. Aku bersyukur masih bisa meragukan kemampuanku sendiri, masih bisa belajar dari setiap kritik-kritik yang menusuk telingaku, masih bisa melihat keindahan dalam karya-karya orang lain.

Karena pada akhirnya, menulis bukan untuk berlagak, berkoar-koar menujukkan dirinyalah yang paling hebat. Menulis itu merajut kejujuran, menujukkan keberanian untuk membuka diri dan mengakui ketidaksempurnaan kita. Tentang kerendahan hati untuk terus belajar dan bertumbuh.

Dan kamu, dengan segala kesombonganmu, mungkin tidak akan pernah memahami hal itu.

Sampai suatu hari, sebuah pesan singkat mengubah segalanya.

"Selamat, naskah Anda telah terpilih sebagai pemenang Penghargaan Sastra Kusala 2024."

Aku mengerjapkan mata berkali-kali, memastikan bahwa yang kubaca bukanlah halusinasi. Novel keempatku, yang kutulis dengan keringat dan air mata selama dua tahun terakhir, berhasil memenangkan penghargaan sastra paling bergengsi di Indonesia.

Tapi ada yang aneh. Di antara daftar nama finalis lainnya, kutemukan namamu. Dengan judul yang tidak pernah kudengar sebelumnya: "Senja yang Mengkhianati."

Rasa penasaran membawaku menyelidiki lebih jauh. Betapa terkejutnya aku ketika menemukan bahwa plot utama novel finalismu begitu mirip dengan cerita yang pernah kuceritakan padamu tiga tahun lalu---tentang seorang guru bahasa yang menemukan diary muridnya yang bunuh diri.

"Ini gak mungkin kebetulan, kan?" bisikku pada diri sendiri.

Malam itu juga, kuterima telepon dari editorku. Suaranya gemetar.

"Ada yang perlu kamu tahu," katanya. "Novel yang diajukan teman kamu itu... ada yang bilang itu hasil plagiat dari penulis Filipina yang meninggal tahun lalu. Mereka sedang menyelidikinya."

Dunia seperti berputar. Aku teringat semua ocehanmu tentang kejujuran dalam berkarya, tentang bagaimana kamu mengkritik keras para penulis yang kamu anggap tidak otentik. Bagaimana mungkin kamu bisa melakukan semua hal itu?

Tapi bukti-bukti satu per satu mulai bermunculan. Screenshot-screenshot dari novel berbahasa Inggris yang terbit di Filipina dua tahun lalu. Kemiripan yang terlalu mencolok untuk diabaikan. Dan yang lebih mengejutkan---plot twist tentang guru bahasa itu, yang kamu ambil dari ceritaku, ternyata kamu gunakan untuk menutupi plagiatmu.

Panitia penghargaan memberi waktu tiga hari untuk klarifikasi. Ponselmu tidak aktif. Rumahmu kosong. Kamu menghilang bagai ditelan bumi.

Di tengah kekacauan yang tengah melandamu, sebuah paket tiba di kantorku. Tanpa nama pengirim. Sebuah kotak, di dalamnya, kutemukan sebuah buku catatan lusuh---jurnal lamamu. Halaman-halaman terakhirnya berisi pengakuan yang membuatku merinding:

"Aku lelah berpura-pura. Setiap kata pujian terasa seperti pisau yang menusuku bertubi-tubi. Mereka memujiku, tapi mereka memuja kebohongan. Karya-karya yang selama ini kubanggakan... tidak ada yang benar-benar milikku. Semuanya hasil curian, hasil manipulasi. Bahkan kritik-kritik pedasku pada karya orang lain hanyalah topeng untuk menutupi kebohonganku sendiri."

Tanganku gemetar ketika membaca tulisan itu. Di halaman paling belakang dari buku lusuh milikmu itu, ada sebaris kalimat yang ditulis dengan huruf yang sangat berantakan, tercium aroma putus asa dari rangkaian kata yang ada di halaman terakhir buku yang lusuh itu.

"Maafkan aku. Tapi semuanya sudah terlambat. Selamat tinggal."

-Tamat-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun