Di malam-malam ketika aku duduk di depan laptop, merangkai kata demi kata dengan keraguan yang masih sering menghantuiku, aku bersyukur, karena aku tidak menjadi sepertimu. Aku bersyukur masih bisa meragukan kemampuanku sendiri, masih bisa belajar dari setiap kritik-kritik yang menusuk telingaku, masih bisa melihat keindahan dalam karya-karya orang lain.
Karena pada akhirnya, menulis bukan untuk berlagak, berkoar-koar menujukkan dirinyalah yang paling hebat. Menulis itu merajut kejujuran, menujukkan keberanian untuk membuka diri dan mengakui ketidaksempurnaan kita. Tentang kerendahan hati untuk terus belajar dan bertumbuh.
Dan kamu, dengan segala kesombonganmu, mungkin tidak akan pernah memahami hal itu.
Sampai suatu hari, sebuah pesan singkat mengubah segalanya.
"Selamat, naskah Anda telah terpilih sebagai pemenang Penghargaan Sastra Kusala 2024."
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, memastikan bahwa yang kubaca bukanlah halusinasi. Novel keempatku, yang kutulis dengan keringat dan air mata selama dua tahun terakhir, berhasil memenangkan penghargaan sastra paling bergengsi di Indonesia.
Tapi ada yang aneh. Di antara daftar nama finalis lainnya, kutemukan namamu. Dengan judul yang tidak pernah kudengar sebelumnya: "Senja yang Mengkhianati."
Rasa penasaran membawaku menyelidiki lebih jauh. Betapa terkejutnya aku ketika menemukan bahwa plot utama novel finalismu begitu mirip dengan cerita yang pernah kuceritakan padamu tiga tahun lalu---tentang seorang guru bahasa yang menemukan diary muridnya yang bunuh diri.
"Ini gak mungkin kebetulan, kan?" bisikku pada diri sendiri.
Malam itu juga, kuterima telepon dari editorku. Suaranya gemetar.
"Ada yang perlu kamu tahu," katanya. "Novel yang diajukan teman kamu itu... ada yang bilang itu hasil plagiat dari penulis Filipina yang meninggal tahun lalu. Mereka sedang menyelidikinya."