Aku mulai melihat retakan-retakan dalam topeng kesempurnaanmu. Bagaimana kamu selalu memandang rendah karya orang lain, bagaimana kamu menolak untuk belajar dari kritik yang membangun, bagaimana kamu selalu mencari-cari alasan untuk setiap kegagalan yang kamu hadapi.
Sementara itu, aku diam-diam mulai menulis. Tanpa gembar-gembor, tanpa proklamasi akan mengubah dunia sastra. Aku hanya menulis tentang hal-hal sederhana---tentang pedagang bubur di depan kosku, tentang kucing liar yang selalu mengunjungi kamarku setiap sore, tentang kesepian yang mengendap di sudut-sudut kota Jakarta, semua yang aku nikmati dari sudut pandangku.
Suatu hari, salah satu cerpenku dimuat di sebuah majalah sastra. Kamu membacanya dengan dahi berkerut. "Terlalu sederhana," komentarmu. "Kamukan menulis lebih dalam, dari pada ini. Liat, metafora yang kamu tulis aja sangat dangkal."
Tapi pembaca tidak berpikir demikian. Mereka menemukan kejujuran dalam kesederhanaan tulisanku. Satu cerpen berbuah menjadi tulisan-tulisan lainnya. Dalam setahun, aku sudah memiliki cukup materi untuk sebuah kumpulan cerpen.
Ketika buku pertamaku terbit, kamu mencibir. Aku hanya menerima pesan singkat darimu: "Selamat. Tapi ingat, kesuksesan komersial tidak selalu berarti kualitas sastranya tinggi."
Kini, lima tahun berlalu sejak hari pertama kita bertemu di perpustakaan itu. Aku sudah menerbitkan tiga buku, sementara kamu masih berkutat dengan hal yang sama, sesuatu yang tidak kunjung selesai. Kamu masih menulis artikel-artikel pedas di blogmu, masih mengkritik keras semua yang tidak sesuai dengan standar egomu.
Kadang aku melihatmu di acara-acara sastra, masih dengan gaya bicaramu yang sama---penuh keyakinan, penuh teori, tapi semua itu terasa hampa. Orang-orang di sekitarmu satu per satu menjauh, lelah dengan monolog-monolog panjangmu tentang kejayaan sastra yang kamu impikan tapi tidak pernah kamu wujudkan.
Suatu hari, aku memberanikan diri untuk bicara denganmu. "Mungkin sudah waktunya untukmu berhenti. Berhenti orang yang merasa paling hebat," kataku pelan. "Mungkin sudah waktunya untuk kamu mulai mendengarkan."
Kamu menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan---campuran antara amarah, kesedihan, dan sepertinya ada sedikit penyesalan. Sayangnya, ego telah terlanjur mengakar terlalu dalam. "Kamu ngak mengerti," ucapmu, sebelum berbalik pergi.
Dan mungkin memang aku tidak pernah mengerti. Tidak mengerti bagaimana seseorang bisa begitu yakin dengan kehebatan dirinya hingga lupa bahwa kehebatan sejati justru lahir dari kerendahan hati. Tidak mengerti bagaimana kesombongan bisa membutakan seseorang dari keindahan sederhana yang ada di sekitarnya.
Kini, setiap kali aku menulis, aku selalu teringat padamu. Bukan sebagai inspirasi, tapi sebagai pengingat. Pengingat bahwa kesombongan adalah racun bagi kreativitas, bahwa merasa paling hebat hanya akan membawaku ke jalan buntu yang tidak berujung.