Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Ketika Rimba Berbisik Lirih

8 Januari 2025   14:29 Diperbarui: 8 Januari 2025   15:28 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Photo by Lukas Hartmann: pexels.com

"Saya anak Pak Ismail," katanya dengan suara bergetar. "Ayah menitipkan ini sebelum beliau pergi."

Sebuah buku harian usang berpindah ke tanganku. Di dalamnya, tertulis kisah-kisah yang tidak pernah terungkap---tentang jaringan rahasia yang lebih besar dari yang kami bayangkan, tentang perjuangan yang melampaui batas negeri, tentang revolusi yang mengubah wajahnya menjadi gerakan pendidikan dan juga pemberdayaan.

"Ayah tidak pernah mati di hutan itu," lanjut pemuda itu. "Beliau melanjutkan perjuangan dengan cara yang berbeda. Setiap sekolah yang berdiri di pedalaman, setiap perpustakaan yang muncul di desa-desa terpencil---itu semua adalah jejak revolusinya."

Air mataku menetes membaca halaman demi halaman. Pak Ismail telah mengubah makna revolusi. Bukan lagi tentang peluru yang mengejar darah, tetapi tentang pencerahan serta pembebasan pikiran. Setiap kata yang diajarkan, setiap buku yang dibagikan, adalah peluru yang tidak terdengar namun lebih tajam dari timah panas.

Di halaman terakhir buku itu, ada sebuah peta. Bukan peta biasa, melainkan jaringan sekolah-sekolah rahasia yang tersebar di seluruh negeri. Di setiap titik, ada nama-nama yang kukenal---mantan pejuang yang kini berjuang dengan pena dan buku.

"Ayah ingin Anda melanjutkan kisah ini," kata pemuda itu. "Bukan untuk ditulis dalam buku sejarah, tapi untuk dihidupkan dalam setiap nafas generasi mendatang."

Malam itu, aku duduk di beranda, menatap rimba yang dulu menjadi saksi perjuangan kami. Suara-suara dari masa lalu berbisik di antara gemerisik daun: suara Pak Ismail yang mengajarkan makna revolusi, suara Abdullah yang mempertanyakan pengkhianatan, suara peluru yang membelah keheningan malam.

Perlahan aku mengerti, revolusi sejatilah yang mengubah cara manusia memandang dunia. Pak Ismail tidak pernah mengkhianati perjuangan---ia justru membawanya ke tempat yang lebih tinggi. Setiap anak yang belajar di sekolah-sekolah rahasianya adalah benih revolusi yang akan tumbuh pada waktunya.

Di kejauhan, kulihat seorang anak membaca buku di bawah pohon. Matanya berbinar penuh semangat, seperti mata kami dulu ketika pertama kali mendengar kata "revolusi" dari bibir Pak Ismail. Dan aku tahu, perjuangan kami tidak pernah sia-sia.

Bayangan di antara rimba itu masih ada, kini dalam wujud yang berbeda. Bukan lagi sosok bersenjata yang bersembunyi di balik pepohonan, namun dalam bentuk pengetahuan yang memberikan kekuatan, dalam bentuk kesadaran yang membebaskan.

Dan mungkin itulah revolusi yang sesungguhnya---yang tidak pernah mati, yang terus bermetamorfosis, yang hidup dalam setiap jiwa yang haus akan kebebasan bersama keadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun