Peluru mulai berdentangan, berdendang membelah keheningan rimba. Pak Ismail menuntun kami ke sebuah lubang tersembunyi di antara akar pohon, tempat persediaan amunisi, peta, dan sebuah amplop kulit tersimpan.
"Ini bukti-bukti yang selama ini kusimpan," katanya, menyerahkan amplop itu padaku. "Jika aku tidak selamat, kau harus meneruskannya."
Di tengah cahaya matahari yang perlahan memudar, Pak Ismail membuka sebuah terowongan rahasia. "Ada jalan keluar," katanya, "tapi, harus ada yang dikorbankan."
Aku melihat wajah Abdullah memelas, tampaknya dia ingin sekali bertemu adiknya. Baru saja aku akan angkat bicara, "Aku akan tinggal," putusnya, "untuk mengalihkan perhatian mereka."
Dalam hening, kami memahami bahwa pengorbanan adalah bahasa tertinggi dari sebuah revolusi. Abdullah memeluk buku lusuh milik Pak Ismali yang berisi foto Fatimah, air matanya telah berganti dengan tekad yang membara.
"Revolusi tidak akan pernah mati," bisik Pak Ismail, "ia hanya berganti rupa."
Kami pergi, meninggalkan Pak Ismail di antara dentuman peluru yang berbisik diantara dedaunan. Namun kami tahu, dalam setiap langkah kami, dia akan selalu hadir---bayangan di antara rimba yang tidak pernah padam.
***
WAKTU berlalu bagai awan yang berarak-pinak di langit Perak. Lima belas tahun telah lewat sejak malam tanpa pilihan itu. Aku duduk di beranda rumah sederhana di pinggir hutan, menatap rimba yang menyimpan sejuta kisah perjuangan.
Fatimah telah menjadi guru di sebuah sekolah rahasia, mendidik anak-anak tentang sejarah yang tidak tertulis dalam buku-buku sejarah resmi. Abdullah memimpin jaringan bawah tanah yang semakin luas, menggunakan strategi yang dipelajarinya dari Pak Ismail---perlawanan tanpa kekerasan, revolusi yang berselimut kedamaian.
Suatu pagi, ketika embun masih menggantung di dedaunan, seorang pemuda datang ke rumahku. Wajahnya mengingatkanku pada seseorang dari masa lalu.