Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Ketika Rimba Berbisik Lirih

8 Januari 2025   14:29 Diperbarui: 8 Januari 2025   15:28 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Photo by Lukas Hartmann: pexels.com

Peluru mulai berdentangan, berdendang membelah keheningan rimba. Pak Ismail menuntun kami ke sebuah lubang tersembunyi di antara akar pohon, tempat persediaan amunisi, peta, dan sebuah amplop kulit tersimpan.

"Ini bukti-bukti yang selama ini kusimpan," katanya, menyerahkan amplop itu padaku. "Jika aku tidak selamat, kau harus meneruskannya."

Di tengah cahaya matahari yang perlahan memudar, Pak Ismail membuka sebuah terowongan rahasia. "Ada jalan keluar," katanya, "tapi, harus ada yang dikorbankan."

Aku melihat wajah Abdullah memelas, tampaknya dia ingin sekali bertemu adiknya. Baru saja aku akan angkat bicara, "Aku akan tinggal," putusnya, "untuk mengalihkan perhatian mereka."

Dalam hening, kami memahami bahwa pengorbanan adalah bahasa tertinggi dari sebuah revolusi. Abdullah memeluk buku lusuh milik Pak Ismali yang berisi foto Fatimah, air matanya telah berganti dengan tekad yang membara.

"Revolusi tidak akan pernah mati," bisik Pak Ismail, "ia hanya berganti rupa."

Kami pergi, meninggalkan Pak Ismail di antara dentuman peluru yang berbisik diantara dedaunan. Namun kami tahu, dalam setiap langkah kami, dia akan selalu hadir---bayangan di antara rimba yang tidak pernah padam.

***

WAKTU berlalu bagai awan yang berarak-pinak di langit Perak. Lima belas tahun telah lewat sejak malam tanpa pilihan itu. Aku duduk di beranda rumah sederhana di pinggir hutan, menatap rimba yang menyimpan sejuta kisah perjuangan.

Fatimah telah menjadi guru di sebuah sekolah rahasia, mendidik anak-anak tentang sejarah yang tidak tertulis dalam buku-buku sejarah resmi. Abdullah memimpin jaringan bawah tanah yang semakin luas, menggunakan strategi yang dipelajarinya dari Pak Ismail---perlawanan tanpa kekerasan, revolusi yang berselimut kedamaian.

Suatu pagi, ketika embun masih menggantung di dedaunan, seorang pemuda datang ke rumahku. Wajahnya mengingatkanku pada seseorang dari masa lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun