Aku masih belum tahu jawabannya, aku hanya tahu satu hal --- aku ingin terus mengenal laki-laki ini, dia yang telah menyentuh hatiku dengan cara yang berbeda.
Hari-hari setelah percakapan itu terasa seperti serpihan mimpi yang enggan pudar saat fajar tiba. Kami menyusuri waktu bersama, bercengkerama tentang segala hal yang bisa dituturkan, berbagi cerita lama bersama  mimpi-mimpi yang terpendam di dalam raga.Â
Radit, yang pada mulanya tampak diam, ternyata sama lembut dan romantisnya dengan kisah-kisah dalam buku-buku yang pernah kucintai.Â
Dia bukan hanya pendengar, tapi pelukis tawa dengan lelucon-leluconnya yang jenaka, menggiringku masuk ke dalam dunianya yang penuh warna dengan khayalan tanpa batas.
Di antara percakapan yang semakin akrab, aku mulai membuka lembaran luka yang selama ini kututup rapat, perlahan namun pasti, menceritakan kepedihan masa lalu yang tak pernah kubiarkan tersentuh oleh siapa pun.Â
Mimpi-mimpi yang pernah kulupakan kini kubagikan padanya.Â
Radit mendengarkannya dengan sabar, tidak pernah kutemui pada siapapun di sepanjang hidupku, dunianya terhenti hanya untuk mendengarkan kisahku. Sorot matanya teduh tanpa ada sedikit pun tatap menghakimi.
Aku yakin dia lah cinta pertamaku, meskipun aku takut untuk jatuh cinta lagi..
***
Sore itu, hujan membasahi halte kecil tempat kami berteduh, membungkus kami dalam sunyi. Radit tiba-tiba memecah keheningan, "Nayla, ada sesuatu yang kurasakan di antara kita."Â
Aku menatapnya, terperangkap dalam sorot matanya yang menenangkan. "Aku juga merasakannya, Dit," bisikku pelan, "tapi aku takut."