Cinta pertama, layaknya bisikan angin di penghujung senja, datang tanpa tanda, menyentuh palung jiwa. Dia hadir bagai embun yang menetes di pagi hening, menelusup perlahan ke dalam hati yang masih perawan oleh rasa. Setiap tatap, setiap sentuh, menjadi puisi tanpa notasi, kidung yang tak terdengar, namun gemanya menggaung dalam relung terdalam, mengisi ruang-ruang sunyi yang penuh dengan harapan .
Di hadapannya, dunia tampak lebih cerah, waktu melambat, ada asa menggantung di udara bak aroma yang baru mekar. Cinta pertama bukanlah tentang kesempurnaan, melainkan tentang kebesaran hati yang mampu menerima segala kegamangan berbalut ketidakpastian, karena dia hadir tanpa syarat, murni seperti hujan yang turun di musim kemarau. Meski mungkin kelak dia akan pudar, tapaknya akan selalu tinggal, menyelinap dalam kenangan, menjadi cerita indah yang tak pernah lekang dan terus terbisik di dalam hati.
Hari-hariku terasa seperti putaran piringan hitam, berputar dan berputar dan terus berputar tanpa henti. Bangun, bekerja, makan, tidur, begitu seterusnya. Aku, terjebak dalam rutinitas yang membosankan, tak bernyawa. Â
Hingga suatu hari, dia muncul. Â
Cinta.Â
Tapi, ini bukan cinta yang biasa. Ini adalah cinta yang berbeda. Cinta yang membuatku merasa hidup. Cinta yang membuatku ingin terbang. Â
Cinta yang membuatku ingin menari di bawah hujan. Cinta yang membuatku ingin berteriak ke seluruh penjuru dunia, "Aku mencintainya!"
Apa mungkin cinta hadir setelah berkali-kali patah hati? Â
Aku tidak tahu. Yang aku tahu, jantungku berdebar kencang tiap kali mataku bertemu dengan matanya. Sorot itu dengan mudah mencairkan es yang selama ini membeku di hatiku.Â
Aku ingin tahu lebih banyak tentangnya, siapa dia sebenarnya? laki-laki di balik senyum menawan itu. Meskipun kami sering berjumpa karena mengajar di universitas yang sama, kami jarang bertegur sapa.Â