"Aku akan berjuang, Pak," katanya, Â suaranya bulat penuh tekad, "aku akan berjuang untuk meraih kemerdekaan yang sesungguhnya."Â
"Bagus!," jawab lelaki tua itu, "berikanlah sesuatu yang berharga bagi dirimu dan yang orang lain butuhkan untuk melanjutkan kemerdekaan ini, Nak"Â
***
"BYUUR." Air yang mengguyur tubuhnya membuatnya langsung terbangun. "Woi... gembel jangan tidur di toko orang, udah siang, nih!" teriak pemilik toko.
Ngadimin segera berdiri menjauh dari emperan toko, bajunya basah, kardus alas tidurnya yang baru saja dia dapat semalam juga basah, bahkan hancur tidak lagi dapat dipakai untuk dia tidur nanti malam.
Sejak kapan kota besar membuai gembel dengan kenyamanan, mereka yang sibuk berkelahi dengan waktu demi lembaran-lembaran yang dapat ditukar dengan kenikmatan akan murka melihat wajah-wajah kumal berkeliaran.
"Maaf... maaf. Pak!" ucapnya gugup.Â
"Sana-sana, bikin toko gue bau aja lo!" teriaknya.
Ngadimin mengangguk dengan patuh, lalu bergegas berjalan menjauhi toko. Jantungnya berdegup kencang, takut dan panik bercampur menjadi satu. Dia terus berjalan dengan kepala tertunduk, tidak berani menatap siapapun yang dijumpainya.
Terus melangkahkan kakinya hingga di sudut jalanan yang sepi. Ngadimin mendudukkan dirinya di atas batu, mengeluarkan secuil roti sisa semalam dari saku celana lusuhnya. Perlahan, ia menggigit roti itu, merasakan betapa kering mulutnya.
"Harusnya aku tidak tidur di sana," gumamnya dalam hati, menyesali kecerobohannya. "Sekarang aku tidak punya kardus untuk tidur malam ini."