"Tenang Djum," Tugimin segera memapah Djumirah yang masih terbujur lemah di lantai tanah naik ke atas dipan, wanita paruh baya yang tadi menolongnya melahirkan saja tidak peduli padanya, mereka hanya menuruti perintah laki-laki berpakaian priyayi itu.
Mungkin saja, dua orang wanita tua itu takut. "Tugimin... anak aku... itu..." Tangan Djumirah nampak seperti sedang meraih-raih bayinya yang menjauh darinya perlahan namun pasti.
Bayi yang masih merah tanpa dosa itu membutuhkan ibunya, dia meronta-ronta dengan tangisan yang memilukan, isakannya menggema di bilik yang sunyi, menggoreskan luka di hati siapa saja yang mendengarnya.
Tanpa kehangatan pelukan ibunya, bayi itu terombang-ambing dalam kesepian yang kelam, matanya yang kecil menatap dunia dengan kebingungan dan kesedihan. Di tengah kegelisahan yang tidak dapat terucap, bayi itu harus berjuang, meski dunia terasa begitu dingin dan asing tanpa cinta seorang ibu.
***
"Bangsa ini sudah tidak lagi sama seperti dulu," ucapku parau, "tapi, langitnya masih tetap sama." Aku menundukkan kepala setelah melihat awan-awan yang berbaris indah di langit sore.
"Oma..." suara gadis cantik yang persis di hadapanku, memercikkan api semangat untuk mengangkat kepalaku yang sangat berat rasanya. "Kita pulang ya," ucapnya lembut. Gadis itu menatapku dengan matanya yang cantik sekali meskipun sipit tanpa kelopak, seperti bintang yang bersinar lembut di tengah malam.
Aku tidak ingin pulang sebenarnya, aku masih ingin berbicara dengan tulang-benulang berbungkus kafan di dalam tanah itu, meskipun aku tahu dia tidak akan menimpalinya, biarlah aku saja yang bercerita.
Lidahku pun canggung rasanya, apakah aku harus berdoa dengan menyebutmu ibu? Masih pantaskah aku menjadi anakmu? Seharusnya aku tidak perlu mencari-carimu, jauh-jauh dari negeri Sakura, hanya untuk menemukan seonggok bangkai dari surga.
Atau mungkin aku sebaiknya mengakhiri hidupku di tanah ini saja, agar aku dapat merasakan kasih sayang dari ibu kandungku meskipun tubuhnya sudah habis dimakan cacing. Bagaimana rasanya dicintai dengan sepenuh hati?Â
Sepertinya, aku sudah siap untuk menemui bangkai itu, rasanya, umurku hanya tinggal menghitung hari, aku akan bercerita betapa pilunya aku tanpa kasih sayangmu, ibu.
-Tamat-
Iqbal Muchtar