Tidak bagi Djumirah. Hari-harinya kelam semenjak dia di jebloskan ke dalam kamar sempit. Pria-pria Nipon itu memukulnya apa bila dia menolak untuk ditiduri. Penyiksaan itu berhenti sejak perutnya bertambah buncit, dia diperlakukan berbeda, meskipun tetap seperti neraka.
Hari itu, seorang pria asli pribumi yang pernah dekat denganya berhasil membesakan Djumirah beserta gadis-gadis desa lainnya dari komplek lendir laki-laki Nippon. Beberapa pasukan Nippon pun meregang nyawa ketika sedang bergumul mesra.
Sebagian lagi, tergeletak seperti cicak, padahal mereka baru saja melepas penat setelah bertarung berburu nafsu di dalam sarung.
Tugimin, pemuda yang dulu pernah menaruh hati pada Djumirah merasa iba melihat kondisinya yang benar-benar kacau. Cintanya masih hadir meskipun Djumirah bukan lagi primadona di kampungnya. Tugimin masih menyimpan api asmara yang masih berkobar di dadanya.
Dengan lembut Tugimin menuntunnya menjauh dari lokalisasi prostitusi yang perlahan-lahan dimakan si jago merah. Perut Djumirah sudah semakin besar, mungkin tiga bulan lagi bayi yang dikandungnya akan menghirup udara dunia yang sumpek.
Djumirah benar-benar di rawat dengan penuh kasih sayang oleh Tugimin. Setiap hari Djumirah hanya bisa menangis meratapi hidupnya. Ibunya ditelan peluru Nippon ketika hendak membela Djumirah yang sedang ditarik paksa oleh tentara Jepang saat itu.
Agitho pun kabarnya sudah bersatu dengan tanah ketika terjadi perlawanan senjata dari tentara PETA. Djumirah hanya punya Tugimin yang merawatnya dengan penuh kasih sayang. Namun, Djumirah masih trauma, setiap malam dia mengigau, teriak-teriak ketakutan.
Sekuat tenaga Tugimin berusaha mengobati luka yang menganga lebar di hatinya. Kasih sayang saja tidak cukup, butuh pengertian, butuh pengorbanan, dan butuh kesabaran yang tiada henti.
Tugimin tahu, hati yang terluka itu perlu waktu untuk bisa pulih, seperti bunga yang layu perlu air untuk kembali mekar. Tugimin mengumpulkan kekuatan dari dalam dirinya, berharap suatu hari nanti luka itu akan sembuh dengan sempurna.
Tugimin sadar bahwa cinta sejati adalah perjalanan panjang yang dipenuhi liku-liku, namun ia tetap melangkah dengan keyakinan bahwa pada akhirnya, cinta akan menyembuhkan segalanya.
"Tugimin... itu... bayiku dibawa pergi..." Teriak Djumirah, ketika Tugimin masuk ke dalam bilik sempit itu.