Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seonggok Bangkai Dari Surga

21 Juli 2024   15:15 Diperbarui: 21 Juli 2024   15:20 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar oleh Meruyert Gonullu dari pexel.com

TERIAKKAN seorang bayi yang baru saja menghirup udara dunia yang sesak dengan bau rongsokan ideologi, loakan itu bergelimpangan bagai kotoran, berbalut kain kafan pemberian Tuhan.

"Tuan, tolong selamatkan bayi saya!" pinta seorang wanita bermata sipit berkulit kulit kuning dengan tetesan air mata, tubuhnya lemah karna baru saja bertarung melawan takdir, antara dia yang harus meregang nyawa atau buah hatinya yang tidak bernyawa.

Laki-laki yang berpakaian seperti priyayi itu tidak bersuara, bola matanya sedang mengamati setiap inci angota tubuh bayi dengan terperinci, bagai singa yang mengintai rusa di Sabana.

"Bayi perempuan!" Mata laki-laki itu memerah, menyembul urat-urat sebesar cacing tanah di kepalanya, "Buang!" perintahnya sambil memekik.

"Tuan, tolong jangan buang anak saya..." Dengan isak tangis, wanita itu segera bersimpuh meskipun di kedua kakinya masih bercucuran cairan berwarna merah pekat yang menetes-netes di antara pahanya yang mulus.

"Bersihkan, aku tahu harus dibawa kemana bayi perempuan itu." Perintahnya pada dua orang wanita tua yang membantu persalinan wanita bermata sipit itu.

"Tuan... Tuan... Tolong... Tuan..." ucapnya sambil bergelayut di kaki kiri laki-laki itu.

Sorot mata kejam laki-laki itu menusuk tajam ke dalam bola mata Djumirah, tatapan yang sangat menyayat hati, netra busuk itu seolah berbicara tentang nasib anaknya yang masih berlumuran lendir-lendir berwarna merah. Laki-laki itu segera membuang tatapannya, menendang Djumirah jauh-jauh dari kakinya.

"Tuan..." Djumirah hanya bisa menagis, tubuhnya tersungkur lemah.

Djumirah tidak pernah berfikir hidupnya menjadi seperti ini. Semuanya terjadi begitu cepat, politik ideologi dunia membuat hidupnya terbuang seperti sampah, para penguasa mengubah kutub pemikiran yang berimbas pada dirinya beserta keluarganya.

Djumirah Jagadhita memang bukan pribumi asli, mata sipit dan kulit kuningnya buah hasil kawin silang antara Adipati dengan gadis keturunan Cina yang dipinangnya secara diam-diam. Gadis Cina yang berhasil memikat hati Adipati itu hanyalah seorang pedagang, bukan bangsawan.

Setelah Djumirah lahir, mereka berdua diasingkan ke Blora oleh Adipati. Djumirah dibesarkan oleh ibunya dengan kondisi yang serba kekurangan, Adipati tidak menghidupinya. Mei Lian Hua tidak menyerah, dia sudah menjadi seorang ibu, yang ada di dalam pikirannya hanyalah membesarkan buah hatinya dengan penuh kasih sayang.

Djumirah tumbuh menjadi gadis yang cantik, perpaduan ayah dan ibunya membuat wajah Djumirah terlihat berbeda dari gadis-gadis desa di Blora, tempat Djumirah besar dan tumbuh.

Takdirnya berubah semenjak Jepang mengaku sebagai saudara tua, mereka berhasil membuat gadis-gadis Blora buta hatinya. Dai Nippon juga berhasil merebut hati rakyat pribumi dengan melakukan penyiksaan terhadap Belanda beserta antek-anteknya yang menuhankan feodalisme demi harta dan tahta.

Djumirah beserta Ibunya bahagia ketika mendengar kekuasan Adipati lengser di tangan seorang pemuda Nippon, Agitho Hiroyuki juga berhasil meluluhkan hati Djumirah. Mereka pun menikah.

Kasih sayang berbumbu cinta dari pemuda Nippon tidak lama dia rasakan, cintanya berubah menjadi neraka, kasih sayangnya berbuah duka. Djumirah dijadikan mesin pemuas nafsu para tentara Jepang oleh suaminya sendiri.

Karena Djumirah tidak dapat memberikan buah hati setelah hampir setahun menikah dengannya, Agitho kesal. Padahal, di hari yang naas itu, saat Djumirah dijemput oleh tentara-tentara Nippon dia tengah berbadan dua, sedang hamil muda.

Di antara kasih sayang dan benci, terdapat garis tipis yang terkadang begitu samar. Rasa sayang yang dalam bisa berubah menjadi kebencian yang kejam, seperti pergantian musim yang penuh misteri.

Hati manusia memang sungguh sangat kusut, mereka dengan mudah menyimpan sejuta perasaan yang dapat bergeser secara tiba-tiba dari cinta yang tulus menjadi benci yang membara.  

Entah mengapa Tuhan meng-install aplikasi kasih sayang di hati manusia. Mungkin karena cinta dan kasih sayang merupakan energi yang menggerakkan kehidupan, menghubungkan satu jiwa dengan yang lainnya.

Atau, mungkin juga kasih sayang dapat memberikan makna pada setiap tawa, tangis, dan perjuangan yang dihadapi manusia. Apakah manusia belajar untuk peduli, berbagi, dan memahami satu sama lain? Seperti matahari yang menyinari bumi, kasih sayang menerangi setiap sudut hati, membawa kehangatan dan harapan di tengah kegelapan?

Tidak bagi Djumirah. Hari-harinya kelam semenjak dia di jebloskan ke dalam kamar sempit. Pria-pria Nipon itu memukulnya apa bila dia menolak untuk ditiduri. Penyiksaan itu berhenti sejak perutnya bertambah buncit, dia diperlakukan berbeda, meskipun tetap seperti neraka.

Hari itu, seorang pria asli pribumi yang pernah dekat denganya berhasil membesakan Djumirah beserta gadis-gadis desa lainnya dari komplek lendir laki-laki Nippon. Beberapa pasukan Nippon pun meregang nyawa ketika sedang bergumul mesra.

Sebagian lagi, tergeletak seperti cicak, padahal mereka baru saja melepas penat setelah bertarung berburu nafsu di dalam sarung.

Tugimin, pemuda yang dulu pernah menaruh hati pada Djumirah merasa iba melihat kondisinya yang benar-benar kacau. Cintanya masih hadir meskipun Djumirah bukan lagi primadona di kampungnya. Tugimin masih menyimpan api asmara yang masih berkobar di dadanya.

Dengan lembut Tugimin menuntunnya menjauh dari lokalisasi prostitusi yang perlahan-lahan dimakan si jago merah. Perut Djumirah sudah semakin besar, mungkin tiga bulan lagi bayi yang dikandungnya akan menghirup udara dunia yang sumpek.

Djumirah benar-benar di rawat dengan penuh kasih sayang oleh Tugimin. Setiap hari Djumirah hanya bisa menangis meratapi hidupnya. Ibunya ditelan peluru Nippon ketika hendak membela Djumirah yang sedang ditarik paksa oleh tentara Jepang saat itu.

Agitho pun kabarnya sudah bersatu dengan tanah ketika terjadi perlawanan senjata dari tentara PETA. Djumirah hanya punya Tugimin yang merawatnya dengan penuh kasih sayang. Namun, Djumirah masih trauma, setiap malam dia mengigau, teriak-teriak ketakutan.

Sekuat tenaga Tugimin berusaha mengobati luka yang menganga lebar di hatinya. Kasih sayang saja tidak cukup, butuh pengertian, butuh pengorbanan, dan butuh kesabaran yang tiada henti.

Tugimin tahu, hati yang terluka itu perlu waktu untuk bisa pulih, seperti bunga yang layu perlu air untuk kembali mekar. Tugimin mengumpulkan kekuatan dari dalam dirinya, berharap suatu hari nanti luka itu akan sembuh dengan sempurna.

Tugimin sadar bahwa cinta sejati adalah perjalanan panjang yang dipenuhi liku-liku, namun ia tetap melangkah dengan keyakinan bahwa pada akhirnya, cinta akan menyembuhkan segalanya.

"Tugimin... itu... bayiku dibawa pergi..." Teriak Djumirah, ketika Tugimin masuk ke dalam bilik sempit itu.

 "Tenang Djum," Tugimin segera memapah Djumirah yang masih terbujur lemah di lantai tanah naik ke atas dipan, wanita paruh baya yang tadi menolongnya melahirkan saja tidak peduli padanya, mereka hanya menuruti perintah laki-laki berpakaian priyayi itu.

Mungkin saja, dua orang wanita tua itu takut. "Tugimin... anak aku... itu..." Tangan Djumirah nampak seperti sedang meraih-raih bayinya yang menjauh darinya perlahan namun pasti.

Bayi yang masih merah tanpa dosa itu membutuhkan ibunya, dia meronta-ronta dengan tangisan yang memilukan, isakannya menggema di bilik yang sunyi, menggoreskan luka di hati siapa saja yang mendengarnya.

Tanpa kehangatan pelukan ibunya, bayi itu terombang-ambing dalam kesepian yang kelam, matanya yang kecil menatap dunia dengan kebingungan dan kesedihan. Di tengah kegelisahan yang tidak dapat terucap, bayi itu harus berjuang, meski dunia terasa begitu dingin dan asing tanpa cinta seorang ibu.

***

"Bangsa ini sudah tidak lagi sama seperti dulu," ucapku parau, "tapi, langitnya masih tetap sama." Aku menundukkan kepala setelah melihat awan-awan yang berbaris indah di langit sore.

"Oma..." suara gadis cantik yang persis di hadapanku, memercikkan api semangat untuk mengangkat kepalaku yang sangat berat rasanya. "Kita pulang ya," ucapnya lembut. Gadis itu menatapku dengan matanya yang cantik sekali meskipun sipit tanpa kelopak, seperti bintang yang bersinar lembut di tengah malam.

Aku tidak ingin pulang sebenarnya, aku masih ingin berbicara dengan tulang-benulang berbungkus kafan di dalam tanah itu, meskipun aku tahu dia tidak akan menimpalinya, biarlah aku saja yang bercerita.

Lidahku pun canggung rasanya, apakah aku harus berdoa dengan menyebutmu ibu? Masih pantaskah aku menjadi anakmu? Seharusnya aku tidak perlu mencari-carimu, jauh-jauh dari negeri Sakura, hanya untuk menemukan seonggok bangkai dari surga.

Atau mungkin aku sebaiknya mengakhiri hidupku di tanah ini saja, agar aku dapat merasakan kasih sayang dari ibu kandungku meskipun tubuhnya sudah habis dimakan cacing. Bagaimana rasanya dicintai dengan sepenuh hati? 

Sepertinya, aku sudah siap untuk menemui bangkai itu, rasanya, umurku hanya tinggal menghitung hari, aku akan bercerita betapa pilunya aku tanpa kasih sayangmu, ibu.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun