Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sutarman Digigit Ikan Hiu

16 Juli 2024   22:58 Diperbarui: 17 Juli 2024   07:30 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar oleh ROMAN ODINTSOV dari pexel.com 

Di ujung bumi Sulawesi Selatan, tersembunyi sebuah taman laut bernama Taka Bonerate, tempat di mana keajaiban laut menunggu untuk disibak. Terumbu karang yang memancarkan warna-warni dalam harmoni yang memukau, begitu memikat hati.

Sutarman terseret oleh badai yang membuatnya terdampar di bibir pantai itu. Di depannya terbentang laut yang biru jernih, mengundangnya untuk menyelami kedalamannya.

Pasir putih yang lembut menyambut langkahnya, membelai kakinya dengan sentuhan hangat. Angin laut berbisik, menceritakan kisah-kisah yang telah berlalu, membawa aroma garam yang segar.

Dia melangkah perlahan menuju desiran ombak, membiarkan tubuhnya diselimuti kesejukan laut. Di kejauhan, bayangan hitam kecil berenang mendekat. Bayi hiu. Dia datang dengan rasa ingin tahu, dengan gerakan anggun yang memecah permukaan air.

Tidak ada rasa takut, hanya kekaguman dengan rasa syukur yang memenuhi hati Sutarman. Bayi hiu itu, dengan keindahan dan kelembutan gemulai kisahnya, mengundang Sutarman untuk bergabung dalam tarian laut bersamanya.

Sutarman merasakan detik-detik yang berharga, saat dia dan bayi hiu berbagi ruang dan waktu.

Mereka berenang bersama, Sutarman menjadi bagian dari dunianya. Setiap gerakan menggoreskan kenangan, setiap percikan air yang mereka ciptakan, menjadi puisi. Di tengah jernihnya air bersama langit senja yang menyusup ke dalam laut, Sutarman menemukan kenyamanan.

Bercerita bersama bayi hiu di Takabonerate menggugah jiwa Sutarman, hingga akhirnya dia menyadari bahwa di tempat itu menjadi batas antara mimpi dan kenyataan yang samar. Sutarman hanyut dalam keajaiban jagat raya, sebuah dunia di mana keberanian, keindahan, dan cinta bersatu dalam harmoni yang sempurna.

Sebelum Sutarman menceburkan kakinya ke dalam air laut yang jernih itu, pernah ada seorang penjelajah yang bermain bersama bayi hiu itu, laki-laki itu datang bersama dengan kejahanaman niatnya terhadap kehidupan laut yang berimbas pada biota hiu.

Laki-laki penjelajah itu singgah di pulau Tinabo, sebuah pulau kecil tak berpenghuni yang terletak di gugusan sub Kepulauan Takabonerate, Kepulauan Selayar, perairan Laut Flores. Pulau itu dikelilingi oleh perairan biru yang tenang dengan terumbu karang yang memancarkan pesona alami, pulau itu menawarkan ketenangan yang tidak ditemukan di tempat lain.

Di pulau itu, kesunyian bukanlah sesuatu yang menakutkan, tetapi menjadi melodi alam yang menenangkan jiwa, di mana angin laut berbisik lembut, membawa aroma asin yang segar, sementara ombak kecil mencium pantai dengan ritme yang konstan. Tanpa hiruk-pikuk kehidupan manusia, Tinabo terbiasa dengan kesunyian, menyimpan cerita-cerita yang belum terjamah.

Pulau itu menjadi tempat persembunyian yang sempurna bagi mereka yang berlari dari keramaian dunia. Di antara pasir putih yang lembut dan air laut yang jernih, Tinabo menyambut setiap pengunjung dengan ketenangan, mengundang mereka untuk merenung lalu merasakan harmoni bersama sarwa.

Dia merusak Tinabo, bahkan bayi hiu tidak lagi muncul. kini cerita itu telah berubah, entah dengan alasan apa, dia merusak Tinabo.

Kehancuran itu merambat seperti luka yang sulit untuk disembuhkan, merusak ekosistem yang dulu subur, tenang dan damai. Terumbu karang yang dulu memancarkan warna-warni kini pudar, terselimuti debu kehancuran. Pasir putih yang dulu lembut kini bercampur dengan serpihan kepedihan.

Bayi hiu yang dulu berenang dengan anggun di perairan Tinabo kini tidak lagi muncul. Kehadiran mereka yang dulu menghidupkan laut kini tinggal kenangan yang memudar.

Pulau itu, yang dulu menenangkan, kini terasa menyesakkan, membawa kehancuran yang tidak dapat dielakkan. Angin laut berbisik sedih, membawa aroma yang dulu segar kini penuh dengan kesedihan.

Kerusakan itu bukan sekadar perubahan fisik; ia menjadi pengingat kenangan pahit bahwa alam yang rapuh itu membutuhkan perlindungan dan juga cinta. Di tengah kehancurannya, pulau itu tetap berdiri, menunggu waktu untuk menyembuhkan luka-lukanya, berharap suatu hari nanti akan datang keindahan bersama kedamaian.

Sutarman tidak pernah tahu, dia tidak pernah sadar, ternyata bayi hiu itu senang berbagi cerita bersamanya, mengisahkan betapa hancurnya dia di masa lalu, akibat ulah tangan-tangan jahil yang merusak ekosistem, biota pulau dan laut di ujung bumi Sulawesi Selatan.

Bayi hiu itu menggemaskan, sejak Sutarman menceburkan kakinya ke dalam air laut yang jernih itu, Sutarman baru menyadari betapa cantiknya bayi hiu yang sedang menari bersama gemericik ombak yang berdebur di bawah langit senja.

Bayi hiu itu bercerita tentang masa lalunya yang kelam, hitam, legam termakan api yang menyisakan bongkahan-bongkahan arang. Bersama dendang waktu selama Sutarman menceburkan dirinya di dalam ombak yang mengguratkan kenangan.

Dengan sirip-sirip mungilnya yang berkilauan di bawah cahaya, dia merasakan kebebasan yang tidak terhingga bersama Sutarman. Setiap gerakan terasa seperti tarian yang indah, setiap kibasan sirip membawa sensasi yang menenangkan.

Di dekatnya, Sutarman melayang di dalam air, matanya tertutup, menikmati kedamaian yang hanya bisa ditemukan di bawah permukaan laut.

Kulitnya yang terbiasa dengan sentuhan air laut, kini merasakan sesuatu yang berbeda. Sirip-sirip mungil bayi hiu itu menyentuhnya dengan lembut, seperti belaian yang penuh kasih. Sutarman tersenyum, merasakan hubungan yang dalam dengan makhluk laut kecil ini.

Bayi hiu itu merasakan betapa nyamannya mengibaskan sirip-sirip mungilnya, menyentuh bulu halus yang menutupi kulit Sutarman.

Sentuhan itu bukan hanya fisik, tetapi juga emosi. Ada rasa saling mengerti yang tidak membutuhkan kata-kata. Sutarman dan bayi hiu itu berbagi momen dalam keheningan yang penuh makna. Dalam sunyi itu, keduanya bersenandung bersama, mengikuti irama alam yang tidak kasat mata.

Gelembung udara yang keluar dari paru-paru Sutarman naik perlahan ke permukaan, membunyikan melodi yang harmonis. Bayi hiu itu mengikuti gelembung-gelembung itu dengan penuh rasa ingin tahu. Setiap gelembung adalah sebuah lagu, dan setiap lagu adalah sebuah cerita.

Di dalam air yang biru dan tenang, Sutarman bersama bayi hiu itu menyatu dalam keselarasan alam. Mereka berbagi dunia yang penuh dengan kedamaian dan keindahan. Tidak ada ketakutan, tidak ada kecemasan, hanya ketenangan yang dalam. Di sini, di bawah permukaan laut, mereka menemukan sebuah persahabatan yang tulus dan murni.

Nampak ada sesuatu yang berbeda. Bayi hiu yang tadinya berenang dengan anggun tiba-tiba menunjukkan reaksi yang tidak biasa. Dalam sekejap, gigi-gigi tajamnya menyentuh kulit Sutarman, menancap dalam merobek kulit Sutarman.

Sutarman terkejut ketika kulitnya robek oleh kekuatan alam yang tidak terduga ini. Namun, dia tidak marah. Alih-alih, dia merasa terhubung dengan bayi hiu itu dalam momen yang intens. Tidak ada rasa permusuhan dalam gigitan itu.

Bayi hiu itu, setelah menggigit, segera bergerak menjauh. Sutarman mengamati gerakannya dengan penuh perhatian. Apakah ini bentuk pertahanan? Ataukah hanya sebuah kesalahan yang terjadi di tengah keadaan alam yang terus berubah?

Seketika, Sutarman merasa seperti memahami sebuah pesan yang terkandung dalam gigitan itu. Mungkin ini adalah cara alam memberitahunya bagaimana berinteraksi dengan makhluk lain.

Meskipun penuh keindahan, tetaplah memiliki risiko dan perlu dihormati. Bayi hiu itu tidak bermaksud menyakiti, melainkan mengingatkan akan keterbatasan bersama kompleksitas hubungan antara manusia dan dunia bawah laut.

Sutarman melanjutkan penyelamannya. Dia tidak mengubah pandangannya terhadap laut beserta keajaibannya. Sebaliknya, dia mengambil pelajaran baru dari pengalaman tersebut. Keberadaan bayi hiu yang mengagumkan, berinteraksi, dan menanggapi dunia di sekitarnya membuka mata Sutarman pada keajaiban yang tidak terduga dari kehidupan bawah laut.

Dalam keheningan yang kembali mengelilinginya, Sutarman melanjutkan perjalanannya, menyelami samudra dengan penuh rasa hormat. Dia tahu bahwa meskipun terkadang alam bisa menunjukkan sisi kekuatannya yang tidak terduga, keindahan dan keajaibannya tetap akan selalu menjadi misteri.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun